"Gapapa, ada kakak."
Kalimat sederhana di atas sering jadi solusi akhir di rumah yang penuh kesibukan. Apabila ibu sibuk dengan urusan rumah, ayah dengan pekerjaannya—dan adik kecil yang masih belajar memahami dunia— sosok kakak sulung yang diam-diam memikul banyak hal akan mengatakan kalimat tersebut dengan bijak.
Sebagai anak bungsu, saya tumbuh dengan kehadiran kakak perempuan yang menjadi tempat saya bersandar. Dari hal-hal kecil seperti teman pulang sekolah, hingga rasa aman dalam setiap langkah hidup, saya tahu betul: kakak saya adalah rumah yang paling tenang.
Namun, seiring waktu, saya juga menyadari bahwa di balik ketenangannya, ada beban yang jarang terlihat—bukan hanya dari saya sebagai adiknya, tapi juga dari ibu dan/atau ayah dengan kepentingan dan ekspektasi mereka, bahkan urusan kakak sendiri.
The First Lamb to the Slaughter
"Eldest Daughter", menulis: "Every eldest daughter was the first lamb to the slaughter / So we all dressed up as wolves and we looked fire."
Potongan lirik di atas berasal dari lagu "Eldest Daughter" (The Life of a Showgirl), yang dirilis pada 3 Oktober 2025. "Mbak Taylor" yang juga anak perempuan sulung dalam keluarganya, menggambarkan perasaan menjadi seseorang yang harus tampak kuat, bahkan ketika sebenarnya sedang rapuh.
Ia membahas lebih mengenai peran "kakak perempuan pertama" yang tampak tidak peduli, padahal justru paling peduli.
Apabila ditelaah dalam banyak keluarga, anak perempuan sulung memang sering kali menjadi tulang punggung emosional—sosok yang dianggap matang, tenang, dan selalu tahu arah. Label sosial ini membentuk tekanan tersendiri, baik disadari maupun tidak.
Sindrom Anak Perempuan Sulung
Fenomena yang diilustrasikan Swift dalam "Eldest Daughter" juga dikenali dengan istilah Eldest Daughter Syndrome. Meskipun disebut sindrom, sebenarnya hal ini bukan merupakan diagnosa medis, melainkan melainkan kumpulan karakteristik dan pengalaman yang sering dialami anak perempuan tertua: menjadi high achiever, peacekeeper, hingga "orang tua kedua" bagi adik-adiknya.
Menurut Cleveland Clinic, tekanan ini muncul karena tanggung jawab yang lebih besar, baik secara emosional maupun praktis. Sering kali, masa kecil mereka "direbut" oleh peran dan beban yang seharusnya belum mereka tanggung.
Dalam ranah psikologi, kondisi ini juga disebut sebagai parentification. Yakni, satu keadaan di mana anak (umumnya tertua) mengambil tanggung jawab yang seharusnya menjadi peran orang tua.
Anak tertua, khususnya perempuan, kerap diminta menjaga rumah, mengelola emosi keluarga, dan menjadi panutan bagi adik-adiknya. Akibatnya, mereka belajar menjadi dewasa terlalu cepat.
Sebagai seorang adik, saya sendiri pernah menyadari hal itu tanpa sengaja. Rasa aman saya kerap kali bertumpu pada kakak. Namun, hari demi hari, saya jadi tahu, mungkin ia tidak pernah benar-benar punya ruang untuk merasa aman seperti saya. Ia tumbuh dewasa bukan karena ingin, tapi karena harus.
Sosok Kuat yang Juga Butuh Pelukan
Di masa kini, perempuan punya dorongan kuat untuk mandiri dan berkarier. Namun di sisi lain, norma sosial tetap menempatkan mereka—terutama anak sulung—sebagai penjaga stabilitas keluarga. Mereka dituntut sukses dan mandiri, tapi juga diharapkan selalu hadir secara fisik dan emosional.
"But I'm never gonna let you down, I'm never gonna leave you out," tulis Taylor Swift dalam lagu yang sama.
Sebuah pengingat bahwa di balik ketangguhan seorang kakak perempuan, selalu ada keinginan untuk tetap menjaga, bahkan ketika lelah. Tapi sosok kuat pun berhak merasa lemah, berhak bersandar, dan berhak dipeluk.
Bisa dibilang, "Eldest Daughter" yang ditulis Swift bukan sekadar lagu, tapi juga bentuk terima kasih pada dirinya sendiri - atas perjalanan menjadi "rumah" bagi orang lain tanpa kehilangan arah pulang.
Saya sendiri jadi lebih paham atas kondisi ini. Maksudnya, sebagai seorang adik yang baru saja melihat kakaknya menikah, saya jadi lebih tahu rasanya kehilangan sosok yang selama ini menjadi tempat bersandar. Kini pulang ke rumah pun terasa berbeda.
Akan tetapi, di saat yang sama, saya juga belajar bahwa kakak akhirnya menemukan tempatnya sendiri untuk bersandar dan berhenti berpura-pura kuat.
Untuk semua kakak perempuan sulung di luar sana—yang belajar kuat sebelum siap: kalian adalah pejuang hebat. Dunia mungkin jarang berterima kasih, tapi keluarga, dan mungkin adik kecilmu ini, selalu tahu siapa yang paling banyak berjuang dalam diam.
Penulis: Anastasia Nadila*
(*) Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
(ktr/RIA)