Bagi sebagian orang, lari sering dianggap olahraga yang berat, mahal, bahkan hanya untuk mereka yang sudah berpengalaman. Namun, jenama olahraga global, New Balance, terus berupaya mendobrak pandangan itu lewat kampanye bertajuk "Run Your Way", yang mengajak masyarakat menikmati lari sesuai kemampuan dan tujuan masing-masing-sejak 2023 lalu.
Merujuk riset konsumen New Balance: 70% generasi produktif (Gen Z dan Milenial) di seluruh dunia berlari minimal sekali dalam seminggu, meski dengan motivasi berbeda. Sementara itu, sekitar 20% memiliki target latihan spesifik dan 50% lainnya berlari untuk menjaga kesehatan. Angka ini menunjukkan, bahwa lari bukan lagi sekadar olahraga kompetitif, melainkan bagian dari gaya hidup sehari-hari.
"Kami percaya, olahraga lari akan semakin berkembang dan komunitasnya akan terus tumbuh. Tantangannya adalah mengubah mitos dan stereotip yang membuat banyak orang ragu untuk mulai. Lari seharusnya bisa diakses siapa pun dan menjadi pengalaman yang menyenangkan," ujar Martina Harianda Mutis, Sports Brand Marketing General Manager MAP Active.
Melalui kampanye "Run Your Way", New Balance hendak memperluas makna olahraga lari agar manfaatnya bisa kian dirasakan orang banyak. Berikut adalah 4 pandangan dari Daniel Mananta dan dr. Tirta, mengenai empat mitos seputar olahraga lari:
1. "Aku nggak bisa lari."
Setiap orang yang berlari adalah pelari. Tak perlu menempuh jarak jauh atau berlari cepat untuk disebut demikian. Bahkan kini tren seperti stroller run—orang tua yang berlari sambil mendorong kereta bayi—menunjukkan bahwa lari bisa dilakukan siapa pun, di usia dan kondisi apa pun.
"Kalau baru mulai dan tubuh terasa lemas atau pegal, itu wajar. Fokus dulu pada membangun kebiasaan, bukan jarak atau kecepatan," kata Daniel Mananta, public figure, pelari maraton, dan Brand Ambassador New Balance.
2. "Lari itu soal pace."
Banyak orang merasa minder karena pace-nya lambat. Padahal, indikator perkembangan lari tidak hanya soal menit per kilometer, tetapi juga stabilitas detak jantung, kemampuan tubuh menyerap oksigen (VO2 max), jarak, durasi, hingga waktu pemulihan.
"Setiap orang bisa berlari dengan caranya sendiri. Yang penting mulai dan nikmati prosesnya," ujar dr. Tirta, dokter sekaligus pelari maraton.
3. "Lari itu mahal."
Dibandingkan olahraga lain, lari justru membutuhkan perlengkapan paling sederhana. Sepatu lari adalah investasi utama, sementara trek publik tersedia gratis.
"Mahal atau murahnya lari itu tergantung cara kita mengatur prioritas. Kalau kamu butuh motivasi, lebih baik investasikan pada pelatih pribadi ketimbang beli perlengkapan mahal yang jarang dipakai," lanjut Daniel.
4. "Lari itu cuma FOMO."
Meski sebagian orang mulai berlari karena ikut tren, manfaat kesehatannya tetap nyata. Penelitian dari Journal of the American College of Cardiology menunjukkan bahwa berlari seminggu sekali dapat menurunkan risiko penyakit jantung hingga 47%.
"Bahkan lari rekreasional sudah memberi manfaat besar bagi jantung, metabolisme, hingga tulang. Dari FOMO sekali, lama-lama bisa jadi gaya hidup sehat," jelas dr. Tirta.
Lewat Run Your Way, New Balance ingin menghapus tekanan sosial dalam dunia lari—bahwa tidak ada standar tunggal untuk disebut pelari. Yang terpenting bukan seberapa jauh atau cepat seseorang berlari, melainkan bagaimana ia menemukan versi terbaik dirinya di setiap langkah.
(cxo/RIA)