Demokrasi bukan perihal kotak suara, parlemen atau pemimpin yang telah terpilih. Demokrasi adalah denyut kehidupan rakyat, yang diisi oleh rakyat itu sendiri.
Dalam proses demokrasi di Indonesia, kita kerap melihat mahasiswa, buruh, maupun rakyat sipil sebagai ikon dari gerakan demokrasi; mewujud aksi protes terhadap kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada rakyat. Namun, pada gelombang aksi massa belakangan ini, muncul pula satu wajah segar yang sama lantang menyuarakan protes terhadap pemerintah: Ibu-ibu.
Tangguhnya Kaum Perempuan
Kaum ibu memang terlanjur lekat dengan urusan domestik. Tinggal di rumah, mengurus keluarga, dan seterusnya. Tapi, ketika seluruh elemen masyarakat tumpah ke jalan, nyatanya ibu-ibu, kaum perempuan bukan nada minor. Suara mereka juga mampu menggetarkan ruang kekuasan; menyadarkan berbagai pihak dan menjadi simbol keberanian bagi masyarakat.
28 Agustus 2025 akan menjadi hari yang sakral. Rakyat, pemilik kedaulatan tertinggi negeri ini turun ke jalan, menyuarakan kritik tajam terhadap para anggota DPR, yang tunjangannya, kinerjanya, serta ucapan-ucapannya tidak sama sekali berpihak, apalagi menguntungkan rakyat.
Di tengah gelombang protes ini, seorang ibu berkerudung pink berjuang di garis depan. Namanya Ibu Ana. Sosok pemberani, yang terlibat langsung dengan aparat kepolisian yang bentrok dengan massa.
Dalam aksinya, Ibu Ana tampil tanpa takut membelah hujan gas air mata. Ia menghalau barisan aparat berseragam lengkap dengan sebatang bambu berbendera merah putih.
Momen itu terabadikan sempurna dan menjadi viral di media sosial. Sejumlah media nasional dan internasional bahkan menjadikan foto Ibu Ana sebagai sampul utama. Publik bersepakat, keberaniannya bukanlah aksi spontan, melainkan turut menyimbolkan: peran sentral perempuan dalam aksi di lapangan.
Dalam beberapa aksi massa di Indonesia ke belakang, bukan hanya sekali kaum ibu naik menjadi simbol kekuatan terdepan. Terdahulu, ada pula Ibu Roro Neno, yang menyebut dirinya mewakili Aliansi Emak-emak Indonesia, dan berani menyampaikan orasi di hadapan mahasiswa dan peserta aksi, pada 20 Februari 2025 lalu.
"Wahai rakyat Indonesia dengarkanlah dari Sabang sampai Merauke, dari Papua sampai Pulau Rote, kalian adalah rakyat Indonesia asli. Jangan mau kalian diinjak-injak oleh oligarki. Mereka itu numpang di sini, sementara para pejabat menjadi keset mereka. Jangan kalian gentar dan takut. Maju tak gentar pantang mundur hadapi itu para pejabat yang tidak tahu malu, tidak punya otak," pekik Roro, dalam kesempatan itu.
Kata-kata tersebut jelas menyulut semangat. Memperlihatkan bahwa mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil tidak tanpa dukungan, karena selalu ada para ibu yang akan ikut menopang dan menegaskan bahwa suara rakyat sangat penting untuk didengar.
"Wahai mahasiswa, aku ini ibu kandung mu, emak ini adalah selalu mendoakan kalian agar selalu diridai oleh Allah, selalu sukses dan selalu sehat karena kalian adalah tulang punggung bangsa ini, tanggung jawab ada di pundak kalian semuanya," lantang Roro, dalam aksi Indonesia Gelap, kala itu.
Pentingnya Kehadiran Perempuan
Presensi kaum perempuan, khususnya kaum ibu, di dalam negara demokrasi memanglah vital. Yang paling jelas tergambar dari keberanian Ibu Ana maupun Ibu Roro, misalnya, menunjukkan bahwa kehadiran perempuan dapat meningkatkan moral peserta aksi. Presensi mereka mengegaskan: urusan politik bukan cuma punya para elite, tetapi juga merambah urusan dapur; dari perkara-perkara rumah tangga, harga sembako yang melambung, bahkan masa depan dan pendidikan generasi muda.
Di samping itu, hadirnya perempuan di antara massa aksi juga menampakkan kesetaraan gender di antara rakyat. Jika saja representasi perempuan di dalam parlemen tidak berimbang, didominasi oleh kaum pria, maka kehadiran peremuan di jalan adalah cermin nyata politik rakyat yang lebih inklusif dan tidak pandang gender.
Hadirnya kaum ibu di antara massa aksi juga menampilkan profil ibu—dalam berbagai identitas budaya—yang dianggap sebagai penjaga kehidupan. Ibu adalah sosok yang melahirkan, merawat, dan menjaga kita semua. Dan, ketika kaum ibu telah turun ke jalan, maknanya berhasil melebarkan protes publik, di mana ancaman negara telah benar-benar nyata dan menyerang urusan rumah yang dipagari kasih seorang ibu.
Jika melihat lebih jauh ke belakang, kehadiran kaum ibu di antara gelombang massa aksi juga tampak nyata pada tahun 1998. Masa di mana krisis memaksa rakyat mereformasi pengelolaan negara. Kala itu, banyak ibu-ibu yang ikut serta dengan para mahasiswa dan aktivis, untuk mendesak penghentian kekerasan militer.
Perempuan bahkan membentuk jaringan seperti Suara Ibu Peduli Indonesia yang lahir dari keresahan harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi, dari urusan dapur, suara itu menjelma menjadi kritik terhadap pemerintah Orde Baru.
Dalam sejarah, suara perempuan selalu hadir dalam momentum penting bangsa. Di era kolonial, RA Kartini menulis tentang kesetaraan dan pendidikan kemudian menginspirasi perjuangan perempuan. Di masa pergerakan nasional, Dewi Sartika mendirikan sekolah untuk perempuan, sebuah langkah revolusioner kala itu. Ada juga Cut Nyak Din dan beberapa tokoh perempuan lainnya yang ikut berjuang secara fisik di garis depan.
Artinya, kehadiran para ibu-ibu saat demo serta keberanian untuk melawan, bukan peristiwa tunggal ini adalah mata rantai dari sejarah panjang partisipasi perempuan dalam menjaga demokrasi Indonesia.
Kita sendiri mengenal perjuangan Ibu Sumarsih, ibunda dari Wawan, yang menjadi korban represivitas negara di tahun 1998. Selama 18 tahun ke belakang, Ibu Sumarsih telah setia berdiri di hadapan Istana, menuntut keadilan bagi anak-anak bangsa yang mati di tangan besi negara.
Perempuan dan Kebijakan Publik
Representasi perempuan di ruang politik pratis Indonesia masih sangat timpang jika dibandingkan jumlah laki-laki. Data KPU pada Pemilu 2024 menunjukkan, keterwakilan perempuan di DPR baru mencapai sekitar 22%, jauh dari target kuota 30% yang ada di undang-undang.
Padahal, banyak isu kebijakan yang bersentuhan langsung dengan kehidupan perempuan. Di antaranya:
1. Ekonomi rumah tangga, lonjakan harga bahan pokok seperti beras, minyak goreng dan daging selalu menjadi beban utama bagi ibu-ibu sebagai pengatur keuangan keluarga. Kebijakan stabilitas harga seringkali lebih berpihak pada kepentingan industri atau importir, alih-alih mendengarkan suara perempuan yang merasakan langsung dampaknya di dapur.
2. Kesehatan dan perlindungan sosial, angka kematian ibu melahirkan dan kasus stunting masih tinggi. Tanpa partisipasi perempuan dalam perumusan kebijakan, isu-isu ini sering luput dari prioritas.
3. Kesetaraan kerja, perempuan masih menghadapi diskriminasi di pasar tenaga kerja, dari upah rendah hingga beban ganda antara pekerjaan dan rumah tangga.
Kehadiran perempuan dalam demonstrasi adalah bentuk "koreksi jalanan" terhadap kebijakan yang tidak berpihak. Mereka mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya tentang siapa yang berkuasa namun bagaimana setiap kebijakan bisa menyentuh kehidupan mereka.
Tantangan ke Depan
Hadirnya kaum ibu di garis depan adalah warna dari demokrasi tertinggi, yang seharusnya selalu berada di tangan rakyat. Warna pink dari kerudung Ibu Ana sendiri menjadi latar dan simbol terkini bagi suara rakyat dari berbagai elemen dalam mendesak pemerintah.
Hanya saja, meski keberadaan ibu-ibu di jalanan cukup berhasil menggetarkan perjuangan, masih banyak sekali hambatan yang dialami kaum perempuan saat turun ke jalan. Seperti stigma tak etis dari para elit, intimidasi, represivitas, bahkan kriminalisasi dari aparat. Aktivis perempuan, contohnya, sering dianggap "kurang pantas" atau "tidak sesuai kodrat". Sungguh narasi bernuansa patriarkal yang gemanya harus dihentikan sesegera mungkin.
Untuk mencapai kesetaraan dan menciptakan ruang aman tersebut, maka rakyat, dan terutamanya pemerintah saat ini, wajib menuntaskan beberapa hal. Mulai dari, tidak menawar ulang kuota minimal 30% representasi perempuan di arena politik; menjamin keamanan dan memberi perlindungan terhadap aktivis perempuan di seluruh aksi massa maupun kehidupan sehari-hari; serta menguatkan organisasi-organisasi perempuan.
Suara perempuan adalah nafas demokrasi. Tanpa mereka, demokrasi hanya menjadi arena elit politik. Oleh sebab itu, "The power of ibu-ibu" tidak boleh menjadi sekadar jargon. Dengan segala kedigdayaannya, yang telah kita saksikan hingga hari ini, perjuangan dan keberanian perempuan harus dijamin keberadaannya. Karena demokrasi sejati hanya bisa hidup jika perempuan diberi tempat seluas-luasnya untuk bersuara dan ikut berperan dalam menentukan jalan bangsa ini.
Penulis: Ayyu Puspitta*
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
(ktr/RIA)