Di Indonesia, kita mungkin lebih akrab dengan kondisi keluarga yang ideal itu seperti ayah pencari nafkah dan ibu lebih banyak berperan di rumah sebagai ibu rumah tangga. Meskipun zaman semakin maju, masyarakat Indonesia sepertinya masih enggan untuk mengakui bahwa breadwinner atau pencari nafkah utama dalam keluarga bisa diperankan oleh perempuan.
Padahal, data dari Badan Pusat Statistik mencatat jumlah perempuan yang menjadi kepala keluarga tergolong tinggi, bahkan 1 dari 10 kepala keluarga di Indonesia yaitu perempuan. Tanpa disadari, realitas itu pun seringkali tersembunyi di balik norma yang menganggap laki-laki sebagai tumpuan ekonomi dalam keluarga, dan hal tersebut masih terjadi sampai saat ini.
Saya pun teringat dengan pengalaman almarhumah ibu yang menjadi seorang breadwinner selama 35 tahun. Menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga kala itu. Almarhumah ibu mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di salah satu sekolah dasar di Jawa Barat. Dia merantau dari kampung halamannya di Yogyakarta dan menetap di kota rantau sampai pensiun. Tidak pernah pindah sekolah, tidak pernah berganti pekerjaan.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi sekarang, bagaimana mungkin gaji seorang guru PNS bisa mencukupi semua kebutuhan keluarga kala itu? Mulai dari kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan saya, semua itu ditanggung oleh ibu. Apalagi saat itu gaji guru bukanlah sesuatu yang besar.
Faktanya, ibu saya mampu mengelola semuanya. Tidak pernah ada keluhan darinya, meski saya yakin rasa lelah itu pasti ada. Ibu memilih diam dan terus menjalani peran gandanya, sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah utama atau seorang breadwinner perempuan.
Saya yakin ibu hanyalah satu dari jutaan perempuan di Indonesia yang merupakan breadwinner. Namun di negeri ini, ada banyak tantangan dan minimnya perlindungan kepada para perempuan ini.
Breadwinner Perempuan Hadir karena Keterpaksaan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 mencatat bahwa sekitar 14,37% perempuan di Indonesia adalah breadwinner atau pencari nafkah utama keluarga. Angka ini membuktikan bahwa peran perempuan dalam menopang ekonomi rumah tangga bukan hal langka. Mereka bukan sekadar "membantu" penghasilan suami, tetapi justru menjadi tumpuan utama dalam keluarga dalam ekonomi.
Mengutip dari safes.so, istilah Breadwinner Female merupakan perempuan yang menjadi satu-satunya atau sebagian pencari nafkah keluarga, baik karena pilihan atau paksaan, dalam dinamika ini, istri mengambil peran yang secara tradisional atau budaya sering dipegang oleh laki-laki sebagai sumber utama keluarga.
Peran ini bukan sekedar pergeseran fungsi dalam rumah tangga, melainkan mencerminkan perubahan struktur sosial dan ekonomi yang lebih luas. Di tengah meningkatnya angka partisipasi kerja perempuan, migrasi kerja dan tekanan biaya hidup. Fenomena breadwinner perempuan menjadi realitas sosial yang kian penting untuk dikenali, dihargai dan dilindungi.
Banyak dari mereka menjadikan peran ini dikarenakan keadaan. Data dari goodstats.id menyebutkan, 31,18% breadwinner perempuan di Indonesia berstatus janda cerai hidup atau cerai mati. Sebanyak 17,46% lainnya bahkan belum menikah, artinya mereka menopang dari keluarganya sendiri.
Ibu saya sendiri masih memiliki suami saat menjadi seorang breadwinner. Namun karena perbedaan penghasilan yang signifikan, ibulah yang menjadi penopang utama. Inilah bentuk keterpaksaan yang sering tidak terlihat, perempuan yang terpaksa menjadi pencari nafkah utama karena pasangan tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga.
Lebih sulit lagi, bagi mereka yang bekerja tanpa penghasilan tetap, upah buruh perempuan masih jauh tertinggal dari laki-laki. BPS mencatat pada Februari 2024, rata-rata gaji perempuan hanya Rp 2,57 juta perbulan, lebih rendah 28,4% dibandingkan laki-laki yang mencapai Rp3,30 juta.
Menjadi breadwinner bagi perempuan bukanlah pilihan yang lahir dari kemauan, melainkan keadaan. Entah karena kehilangan pasangan atau ketimpangan penghasilan dalam rumah tangga. Seperti pengalaman ibu saya, banyak perempuan memikul beban ekonomi utama karena pasangan tak mampu mencukupi kebutuhan keluarga, sebuah bentuk keterpaksaan yang sering luput dari sorotan namun di sisi lain mereka tetap harus menjalaninya walaupun dalam diam dan tanpa keluhan.
Beban Ganda yang Tak Terbayar
Menjadi breadwinner perempuan bukan hanya perkara mencari uang, mereka juga tetap menjalankan para domestik, mengasuh anak, memasak, hingga menjadi penyangga emosional keluarga. Semua ini dijalani bersamaan, tanpa upah tambahan.
Sayangnya, perlindungan sosial bagi mereka sangat minim, masih dari data BPS 73,42% tidak mendapat perlindungan kecelakaan kerja, beban mereka besar namun negara belum hadir secara penuh untuk menopangnya. Sementara program sosial seperti BPJS, KUR, PKH dan kartu prakerja, memang hadir tetapi efektivitasnya terbatas karena prosedur administratif dan fokus utama seringkali pada kelompok penerima umum, bukan pencari nafkah utama terutama pada perempuan.
Jam kerja yang panjang menjadi salah satu rententan dari beban yang harus ditanggung oleh breadwinner perempuan dengan rata-rata di atas 49 jam perminggu dan beban domestik yang tak kunjung usai bisa berdampak pada kesehatan fisik dan mental. Bahkan beberapa penelitian menunjukkan perempuan yang menjadi pencari nafkah utama berisiko mengalami perceraian dan penurunan kualitas hubungan meningkat.
Ketimpangan peran genderlah yang menjadi akar dari berbagai ketidakadilan ini. Realitas ini menegaskan perlunya pengakuan dan perlindungan bagi perempuan yang menjadi pencari nafkah utama.
Sudah Saatnya Negara Hadir
Perempuan yang menjadi breadwinner seharusnya tidak hanya diakui, tetapi juga dilindungi. Kebijakan negara harus merespons realitas ini, bahwa semakin banyak perempuan yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga bukan sebagai pengecualian, melainkan sebagai kenyataan.
Lalu bagaimana respons kebijakan negara kita dan bagaimana pula dengan negara lain?
Sebagian breadwinner perempuan di Indonesia berada dalam sektor formal dengan presentasi 60,79%; tanpa kontrak kerja 86,67%; dan tanpa serikat pekerja 97,14%; membuat mereka rentan terhadap fluktuasi pendapatan dan risiko kerja. Saat ini, hanya sekitar 26,58% breadwinner perempuan yang terlindungi jaminan kesehatan, 23,06% terlindungi jaminan kecelakaan, serta jaminan kematian hanya menyentuh angka 17,51%.
Padahal di sisi bumi lainnya, seperti Swedia, Jerman dan Jepang, breadwinner perempuan menikmati sistem perlindungan sosial yang komprehensif meliputi cuti penuh bergaji hingga ratusan hari, asuransi kesehatan dan kecelakaan universal, bahkan disediakan fasilitas daycare bagi mereka yang memiliki anak. Hal ini tentunya memberi rasa aman, tetapi juga mendorong partisipasi ekonomi perempuan secara setara.
Namun hal tersebut bukan berarti pemerintah langsung merasa tertinggal dengan negara lain, justru momen ini dapat menjadi refleksi bagi pemerintah untuk memastikan bahwa perempuan tidak "dihukum" secara sosial maupun finansial karena menjadi pencari nafkah utama.
Perlindungan sosial harus diperluas akses terhadap jaminan kesehatan dan cuti berbayar harus diberikan secara adil, serta diskriminasi upah harus dihapuskan. Sudah waktunya kita meninggalkan paradigma lama bahwa pencari utama harus laki-laki, perempuan juga mampu dan bahkan membuktikan selama puluhan tahun seperti ibu saya.
Bukan Sekadar Peran, Tapi Perjuangan
Menjadi breadwinner perempuan bukan sekadar tentang siapa yang membawa uang, tetapi tentang siapa yang menjaga agar hidup keluarga tetap berjalan, meski dalam diam, dalam lelah bahkan dalam keterpaksaan yang sering tak pernah diucapkan.
Pengalaman almarhumah ibu saya adalah satu dari jutaan kisah yang tak terdengar. Di balik angka statistik dan grafik partisipasi kerja, ada perempuan-perempuan yang bangun lebih pagi dan tidur paling akhir. Namun tetap harus mengurus dapur, anak bahkan dirinya sendiri sebagai perempuan.
Saatnya kita menatap kenyataan dengan jujur, bahwa breadwinner perempuan bukan lagi pengecualian, mereka mendapat pengakuan, perlindungan dan keadilan. Sebab mereka bukan hanya ibu atau istri, mereka adalah pahlawan walaupun di tengah sistem yang belum siap berpihak pada mereka.
Tulisan ini adalah bentuk penghormatan saya untuk almarhumah ibu, sekaligus bagi jutaan perempuan lainnya di Indonesia yang memikul beban ganda dalam diam. Mereka bukan hanya ibu atau istri, mereka adalah tulang punggung keluarga, dan mereka layak mendapatkan tempat yang setara di masyarakat maupun negara.
Penulis: Ayu Puspita Lestari
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)