Inspire | Human Stories

Performative Male: Antara Pencitraan dan Evolusi Maskulinitas di Era Media Sosial

Jumat, 15 Aug 2025 16:00 WIB
Performative Male: Antara Pencitraan dan Evolusi Maskulinitas di Era Media Sosial
Ilustrasi seorang performative male. Foto: Unsplash
Jakarta -

Media sosial memang tempatnya istilah baru diciptakan oleh para penggunanya. Kini yang tengah ramai di timeline media sosial adalah performative male, sebutan untuk pria yang menampilkan perilaku tertentu seperti membaca buku feminis di kafe estetik, selfie dengan kucing, hingga caption yang memuji women empowerment.

Istilah ini muncul sebenarnya untuk menamai fenomena beberapa pria berpenampilan lebih rapi dan terkesan berwawasan. Namun sepertinya, sebutan ini juga menjadi sindiran atau candaan oleh netizen. Banyak yang mempertanyakan, apakah ini sekedar pencitraan? Atau sebuah tanda bahwa maskulinitas sedang bergeser menuju tatanan yang lebih terbuka, rapuh, dan otentik?

.Pria berfoto dengan kucing/ Foto: Unsplash

Pencitraan Demi Validasi

Performative male diketahui tercipta untuk mengkategorikan para pria yang berperilaku sesuai standar perempuan saat ini. Misalnya suka minum matcha, menyukai K-Pop, dan standar-standar yang tengah kekinian. Hal ini adalah strategi impression management, yang mana narasi yang dibangun lebih ditujukan kepada audiens spesifik.

Bukan berarti para pria yang mengikuti standar saat ini tidak tulus, tetapi seringkali motif utamanya adalah strategi impression management yaitu cara mengatur kesan agar sesuai dengan preferensi audiens yang dituju. Dalam hal ini, audiens tersebut adalah "pria ideal" yang dibayangkan oleh para perempuan, lengkap dengan karakteristik dan nilai yang ia anggap akan membuatnya tertarik.

Masalahnya muncul ketika citra ini tidak konsisten dengan perilaku nyata. Jika pria hanya tampil empatik atau progresif di media sosial namun privatnya abai atau misoginis besar, kemungkinan perempuan akan mencurigai ketulusan tersebut. Fenomena ini mirip dengan konsep virtue signaling   menunjukkan dukungan terhadap nilai-nilai tertentu demi pengakuan sosial, bukan karena keyakinan yang mendalam.

Bedanya, pada performative male, ada unsur relasi gender yang kental: validasi dari perempuan sering kali menjadi tujuan utamanya. Akibatnya, perilaku ini bisa memicu siklus ketidakpercayaan. Perempuan merasa harus selalu menguji keotentikan perilaku pria, sementara pria yang awalnya melakukan pencitraan demi diterima justru kesulitan membangun hubungan yang tulus karena citra tersebut tidak lahir dari diri yang sesungguhnya.

Evolusi Maskulinitas di Ruang Digital

Tapi tak semua performa itu negative. Dalam beberapa kasus, melakukan sesuatu "karena terlihat baik" bisa menjadi pintu masuk untuk perubahan si pelakunya. Media sosial memberi ruang bagi narasi baru seperti pria yang membaca buku, menangis, berbicara soal kesehatan mental, atau menyuarakan kesetaraan gender. Meski awalnya respons terhadap tren, lama-lama bisa menjadi bagian dari identitas mereka.

Seperti teori Joseph Grenny "Kadang kita berpura-pura, sampai akhirnya kita menjadi." Dengan demikian, performative male bisa menjadi transisi menuju maskulinitas yang lebih sehat dan tervalidasi secara internal. Prinsip ini menjelaskan bagaimana perilaku yang awalnya dilakukan demi penampilan bisa, melalui pengulangan, menjadi refleks yang tulus.

Seorang pria yang awalnya membicarakan isu kesetaraan gender hanya untuk mendapatkan engagement di media sosial, misalnya, bisa terdorong untuk membaca lebih banyak, berdialog lebih dalam, dan benar-benar memahami esensi nilai tersebut. Dari titik itu, performa bukan lagi sekadar strategi pencitraan, melainkan bagian dari dirinya.

Di era digital, media sosial adalah panggung. Siapapun bisa membentuk citra diri. Bagi kaum pria, yang dulu terbatas mengekspresikan emosi, kini bisa mencoba perilaku rentan dan mendapati bahwa seperti itu diterima. Algoritma pun berperan besar, konten maskulin terbuka dengan empati kerap mendapat engagement tinggi dan akan memperkuat kebiasaan tersebut.

.Ilustrasi pria minum matcha/ Foto: Unsplash


Di ruang digital hari ini performa maskulinitas tak lagi hanya diukur dari otot atau dompet tebal, tetapi juga bagaimana seorang pria menampilkan sisi empati dan keterbukannya. Survei yang dilakukan YouGov Bersama The Goat Agency menunjukkan, tujuh dari sepuluh pria muda di rentang usia 18-34 tahun mengaku khawatir terhadap dampak media sosial pada kesehatan mental mereka.

Meski begitu, mayoritas sekitar 66% masih percaya bahwa platform ini bisa menjadi ruang positif. Optimisme ini beriringan dengan bergesernya kriteria figure panutan lebih dari separuh responden menilai kebaikan hati, empati, dan keterbukaan soal kesehatan mental sebagai kualitas utama yang mereka kagumi, jauh mengungguli kekayaan atau ketenaran.

Namun, panggung digital tetap memiliki sisi gelap. Studi dari University College London menemukan bahwa pria yang sering mengunggah di media sosial justru berisiko mengalami penurunan kesehatan mental setahun kemudian, terutama dibandingkan mereka yang lebih banyak mengonsumsi konten secara pasif.

Tekanan untuk tampil sempurna juga meninggalkan jejak pada tubuh dan pikiran survei onlinetherapy.com mencatat bahwa 65% pria merasa media sosial berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Lebih dari separuh mengaku mengalami masalah citra tubuh, dan sebagian besar juga berhadapan dengan depresi serta kesepian.

Hal yang menarik ketika performa maskulin terbuka ini konsisten dan memberi makna, banyak pria justru merasa lebih nyaman dengan versi diri yang rentan itu. Mereka mulai mendiskusikan perasaan, menjaga kesehatan mental, dan menerapkan sikap egaliter di tingkat personal menandakan bahwa transformasi ini bisa nyata bukan sekedar gimmick.

Tentu, tidak semua niatan itu murni. Ada yang tetap sekedar virtue signaling. Namun dengan data dan narasi kuat dari platform digital, publik terutama perempuan semakin bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang sekedar proyek pencitraan. Performative male memang cermin dari dua hal yaitu panggung media sosial yang memungkinkan manipulasi citra, sekaligus ruang ekspresi baru bagi pria yang ingin tampil berbeda. Apakah itu sekedar taktik atau jalan menuju keaslian, tergantung bagaimana niat dan konsistensi dijalankan.

.Ilustrasi pria membaca buku feminisme/ Foto: Unsplash

Bukan masalah jika pria ingin tampil empatik demi menarik, asalkan itu bukan penipuan terhadap diri sendiri. Ada perbedaan tipis namun penting antara pencitraan yang menjadi jembatan menuju perubahan positif dan pencitraan yang sekadar topeng rapuh. Jika langkah awalnya adalah performa-meminjam perilaku, kata-kata, atau sikap yang sedang dianggap menarik-tetapi seiring waktu perilaku itu berkembang menjadi representasi diri yang tulus, maka performative male justru dapat menjadi gerbang menuju konstruksi maskulinitas yang lebih sehat.

Perubahan ini sering kali membutuhkan keberanian untuk melampaui ekspektasi sosial lama yang menuntut laki-laki selalu kuat, tegar, dan emosionalnya tertutup. Dalam prosesnya, mereka belajar bahwa kerentanan bukanlah kelemahan, melainkan bentuk kedewasaan emosional yang justru memperkaya hubungan dengan orang lain.

Mungkin pada akhirnya, baik pria maupun perempuan dapat sepakat bahwa nilai sejati seseorang tidak diukur dari seberapa sempurna ia tampil di depan kamera, melainkan dari siapa dirinya saat tak ada sorotan, tak ada penonton, dan tak ada umpan balik instan dari media sosial. Di titik itulah, performa berhenti menjadi sandiwara dan berubah menjadi cerminan jati diri yang sesungguhnya.


Penulis: Deandra Fadillah


*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS