Stadion penuh, akun-akun bola berseliweran, video reaksi jadi viral. Tim Nasional (Timnas) Indonesia tengah naik daun, dan mendadak semua orang jadi fans. Menariknya, di tengah gegap gempita, ada suara-suara kecil yang merasa terganggu: "Kemarin-kemarin pada ke mana aja?"
Pemandangan stadion yang penuh sesak memang jadi hal biasa belakangan ini. Tiket pertandingan Timnas ludes dalam hitungan jam, hingga antusiasme menggelora di media sosial. Semua orang tampak bersatu di bawah satu warna: merah.
Namun di balik euforia itu, ada perasaan mengganjal dari mereka yang telah lebih dulu berdiri di tribun. Bukan karena tidak ikut senang melihat Timnas Indonesia makin kuat, tetapi karena suasananya kini terasa agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
![]() |
Tribun yang Dulu Sunyi Kini Bersimfoni
Tahun 2018 adalah pertama kali saya menyaksikan langsung Timnas Indonesia di Gelora Bung Karno (GBK), mewujudkan mimpi masa kecil saya sebagai anak desa. Laga kontra Filipina di babak grup Piala AFF menjadi momen spesial itu. Namun, atmosfernya ternyata jauh dari yang saya bayangkan.
Kala itu Luis Milla baru saja didepak dari kursi pelatih sebelum turnamen, dan digantikan sementara oleh Bima Sakti. Namun yang terjadi, skuad Merah Putih gagal total, dan peluang lolos sudah nyaris tertutup sebelum pertandingan tersebut.
Menurut announcer di stadion, hanya sekitar 15 ribu orang hadir dari total kurang lebih 70 ribu kapasitas stadion GBK. Nyanyian pun terdengar sayup, terpencar di antara kursi-kursi yang tak terisi. Saya masing ingat betul duduk di tribun atas (kategori 3), merangkul sahabat saya yang sepanjang laga meneriaki Stefano Lilipaly karena tidak tampil seperti biasanya.
Tak banyak wajah yang tersenyum di sekitar. Rasanya seperti mendukung sesuatu yang sedang sekarat. Benar saja, selain pertandingan berakhir dengan skor 0-0, Indonesia tidak melepaskan tembakan tepat sasaran satupun ke gawang Filipina selama 90 menit. Benar-benar tumpul.
Seusai pertandingan, pemain dan staf keliling stadion untuk berterima kasih kepada penonton. Hanya segelintir yang bertahan, termasuk saya dan sahabat saya yang masih mengoceh tentang pertandingan lain, di mana Thailand membabat habis Singapura 3-0. Hari itu jelas bukan debut "nyetadion" yang menyenangkan bagi saya. Perasaan senang dan hampa menjadi satu.
Beberapa tahun berselang, saya kembali ke GBK untuk menyaksikan pertandingan Timnas Indonesia melawan Filipina lagi. Kali ini kita berlaga di Kualifikasi Piala Dunia 2026. Segalanya berbeda.
Stadion penuh. Lagu kebangsaan dinyanyikan dalam gemuruh. Sorak-sorai menyatu, seolah luka-luka lama telah sembuh. Di bawah arahan Shin Tae-yong (STY), Timnas Indonesia tampil lebih meyakinkan. Hasil akhir pun membuktikannya. Gol dari Thom Haye dan Rizki Ridho membawa Indonesia menang 2-0 dan memastikan lolos ke ronde ketiga kualifikasi.
Kegembiraan saya luapkan melalui video story yang tak terhitung jumlahnya di media sosial saya. Ya, STY adalah sebuah fenomena. Bersamanya, skuad Garuda berhasil menorehkan beberapa sejarah baru.
Pada edisi 2024, untuk pertama kalinya Indonesia melaju ke babak 16 besar Piala Asia. Bahkan tim U-23 dibawanya menembus semifinal Piala Asia U-23 dan nyaris lolos ke Olimpiade pada tahun yang sama.
Sayangnya kebersamaan STY dengan tim asuhannya itu harus berakhir di pertengahan jalan ronde ketiga. Tanpa diduga PSSI memecat pria Korea Selatan itu di tengah momentum semangat Timnas Indonesia yang sedang naik dan baik.
Kendati demikian, show must go on. Patrick Kluivert sebagai juru taktik anyar pada akhirnya tetap sukses membawa skuad Merah Putih melaju ke ronde keempat kualifikasi Piala Dunia 2026, walaupun dengan banyak catatan. Secara matematis, saat ini Indonesia berjarak dua kemenangan saja dari panggung utama yang selama diimpikan.
Segala pencapaian tadi memang belum membawa trofi. Akan tetapi, bagi seorang fans seperti saya, Garuda terlihat seperti sedang menyembuhkan sayapnya untuk bersiap terbang lebih tinggi sesudah babak belur di edisi kualifikasi Piala Dunia sebelumnya.
![]() |
Dua Sisi Dukungan untuk Timnas
Prestasi serta-merta membawa dampak. Fans baru pun berdatangan secara masif, membawa semangat dan cara baru dalam menunjukkan dukungan mereka. Namun mereka yang disebut fans 'fear of missing out' (FOMO), kerap muncul di ruang diskusi di media sosial.
Bergerilya masif di media sosial ikut euforia ketika Timnas Garuda menang, namun absen ketika mereka takluk pada lawannya. Bahkan mungkin mereka belum tentu tahu siapa yang bermain dalam laga itu. Namun, salahkah menjadi seorang fans FOMO?
Tidak semua orang tumbuh bersama tim yang sama sejak awal. Tidak semua pula punya ingatan tentang masa-masa suram Timnas. Jadi, keinginan untuk ikut mendukung dan bersorak merayakan keberhasilan sama sekali tidak salah.
Dalam budaya pop, termasuk olahraga, gelombang pendukung baru adalah konsekuensi dari keberhasilan. Justru yang dibutuhkan adalah ruang belajar tentang bagaimana mencintai dengan cara yang bertanggung jawab.
Untuk itu suporter lama punya peran penting yakni sebagai penjaga semangat dan warisan emosional yang telah dibangun sejak dulu. Dari era kapten Ponaryo Astaman hingga Jay Idzes. Bukan malah menciptakan dinding pembatas antara fans lama dan fans baru.
Tentu selalu ada gesekan dalam setiap fanatisme. Misalnya kita sama-sama geram ketika beberapa fans mengejar pemain sampai ke hotel dan mengganggu istirahat mereka. Beberapa orang juga memperlakukan pemain layaknya figur selebritas di budaya pop lain, yang mungkin tidak familier dalam kebiasaan para suporter lama.
Tapi sekali lagi, ini bukan tentang salah atau benar. Kenyataannya, fanatisme memang punya banyak wajah. Sebagian ingin bernyanyi sepanjang 90 menit, sebagian ingin mendokumentasikan setiap detik. Perbedaan dalam cara mendukung dan mencintai seharusnya tidak jadi alasan untuk membatasi siapa saja yang layak ada di tribun dan mendukung Timnas Indonesia.
Perlu dipahami, bahwa suporter baru mungkin perlu waktu bahwa mendukung bukan hanya soal sorakan ketika menang dan memberikan pujian personal ke pemain favorit mereka, tetapi juga mengenai keteguhan saat terpuruk.
Lalu di sisi lain, suporter lama perlu menyadari bahwa makin banyak yang mencintai skuad Garuda artinya makin besar pula kekuatan kolektif yang bisa dibentuk. Itu adalah sebuah keuntungan. Federasi pun sebaiknya tak pula tutup mata, penjagaan ini bukan hanya tugas para suporter.
Sebagai nahkoda, federasi berperan untuk membuat gelombang ini bukan sekadar euforia sesaat, melainkan momentum untuk membangun sistem dari akar yang kuat. Pada akhirnya, mendukung Timnas Indonesia kecintaan kita bukan tentang siapa yang paling dulu, tetapi siapa yang tetap tinggal, yang mau belajar, dan yang terus bernyanyi, meski suara kita berbeda nada.
Penulis: Bagas Dharma
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)