Jumat pagi yang sedang cerah-cerahnya pada pertengahan September menjadi latar belakang dari kebiasaan menikmati lagu sebelum badan ini terlepas dari magnet bernama kasur. "Sabda Alam", "Juwita", hingga "Malam Pertama" secara spontan terpilih untuk dinikmati demi mendapatkan rasa semangat yang fana. Saya terlebih dulu tahu lagu-lagu tersebut diciptakan oleh Chrisye dan Yockie Suryo Prayogo; dua sosok yang sempat menjadi duo maut namun harus bertolak belakang pada kemudian hari.
Stimulasi musik yang sedang saya lumat dalam beberapa minggu terakhir membuat keinginan sejak lama muncul kembali. Dari dulu, ada niat untuk menziarahi makam kedua legenda ini. Mungkin kini saatnya dari hanya harap semata menjadi aksi nyata. Segera informasi lokasi masing-masing makam berhasil didapatkan dengan mudah. Chrisye di TPU Jeruk Purut, sedangkan Yockie di TPU Karet Bivak. Tanggal mereka berpulang coba saya cari; bahkan zodiaknya pun coba dicocokkan. "Mungkin ada yang sama kayak saya, Gemini..." pikir saya saat itu yang ingin mencari kesamaan dari segi selera musik.
Mata ini terlalu berat untuk menyadari informasi-informasi yang terpampang di layar smartphone pagi itu. Tanpa saya sadari pada satu jam setelahnya, ternyata tanggal lahir mereka berdekatan, dan tanggalnya pun hanya berjarak beberapa hari dari rencana kedatangan ke kedua makam!
Yockie lahir pada 14 September 1954, dan Chrisye lahir pada 16 September 1949.
Sepertinya semesta memang mendukung niat saya untuk menghormati karya-karya mereka dengan cara berbeda dari biasanya. Kalau posting lagu-lagu mereka di Instagram Story telah sering dilakukan, kenapa tidak naik ke level selanjutnya? Rasa lelah yang masih mencoba mengganggu semangat telah teredam dengan sendirinya.
Berziarah ke Makam Yockie Suryo Prayogo dan Chrisye
Sepanjang perjalanan menuju ke peraduan terakhir dua legenda ini, album The Greatest Duo - Chrisye & Yockie berputar terus menerus. Muncul pikiran, "Pinter juga Musica Studios sampai bikin kompilasi khusus mereka berdua." Setidaknya cara bisnis mereka bisa membantu saya mendengar lagu mana saja yang memang ada andil dari keduanya, daripada harus mencari satu per satu via Wikipedia.
"Pak, di mana ya makam blok AA 2 bld 45?" tanya saya kepada seorang satpam di depan TPU Karet Bivak. Matahari benar-benar tidak memberikan ruang untuk tenang sejenak. Cukup menusuk hingga keringat membasahi baju. "Bapak keluar dulu terus belok kiri," jawab satpam. Perjalanan ke tujuan ternyata masih jauh dari yang dibayangkan.
Setelah tanya sana-sini sampai ada tiga orang yang membantu, makam yang saya cari akhirnya terlihat. "Oh Yockie yang penyanyi itu," ucap salah satunya. Terlihat batu nisan hitam nan kokoh menuliskan sebuah nama dengan tinta emas, Yockie Suryo Prayogo bin Susanto. Ada tuts piano yang dicetak di bagian bawah nisan sebagai bentuk identitas hidupnya yang serasa menjadi teman paling dekat dan tidak mungkin pernah mengkhianatinya. Lokasi almarhum beristirahat untuk selama-lamanya tepat di sebuah pohon yang tidak terlalu besar dan tinggi tapi cukup membuat sinar matahari tertahan.
Makam Yockie Suryo Prayogo/ Foto: CXO Media/Timotius Manggala Prasetya |
"Jadinya lumayan adem nih om," kata hati saya seakan berbicara dengan Yockie secara langsung. Tidak tahu kenapa kalimat demi kalimat terus hadir lewat gumaman kecil. Ucapan terima kasih atas karya-karyanya; testimoni pribadi kalau masih banyak orang yang mencintainya; sampai kejadian sekitar sepuluh tahun lalu muncul di benak.
Dikenal sebagai jurnalis musik selalu menjadi salah satu impian saya. Apa yang saya inginkan sempat terjadi ketika menjadi anak magang di Rolling Stone Indonesia (RSI) pada akhir 2014. Saat itu RSI sudah dipandang sebagai the temple of music, tidak cuma secara editorial namun juga tempatnya. Di belakang kantor, ada Rolling Stone Cafe yang setiap malamnya diramaikan oleh band yang saya tahu sampai sekelas regular di cafe-cafe Jakarta.
Suatu sore menuju akhir minggu yang ditunggu-tunggu, terdengar suara-suara ajaib dari bawah-kantor yang terletak di lantai paling atas langsung menghadap ke panggung cafe. "Lagi ada yang check sound nih," kata saya. "Eh itu Yockie ya," balas fotografer RSI saat itu. Saya segera berdiri demi melihat sosok legendaris tersebut. Benar saja, badan kurus yang hanya menggunakan kaos dengan rambut yang sudah dikuasai warna putih sedang memainkan keyboard dan synthesizer secara eksperimental.
Saya langsung turun ke bawah untuk melihatnya secara lebih dekat. Percobaan untuk mengabadikannya lewat kamera handphone sama sekali tidak terlewatkan. Sayangnya, pribadi saya yang dulu bukanlah saya yang sekarang. Untuk mengajak kenalan dan sedikit ngobrol dengannya tidak berani dilakukan. Sore itu berjalan tanpa kedekatan yang lebih personal dan berlalu begitu saja.
Tentu sosok yang paling terlihat indie di antara geng legenda musik pada era yang sama ini punya cult yang cukup kuat. Memang pada dasarnya, kita senang dengan sosok sidestream. Itulah mengapa Yockie si 'Musik Saya adalah Saya' tidak akan pernah termakan oleh zaman. Bunganya akan tetap mekar dengan dukungan generasi-generasi selanjutnya yang terus memberikan apresiasi atas tonggak musik yang ditanamkan Yockie.
DARI PUSAT JAKARTA KE SELATAN JAKARTA
Seusai berziarah dari makam Yockie, langkah ini dibawa menuju ke selatan Jakarta, tepatnya TPU Jeruk Purut. Ojek online-MRT-ojek online menjadi transportasi bantuan untuk mencapai sana. Tanpa ada halangan berarti-hanya panas yang masih sama-titik lokasi yang saya ingin segera capai telah terlihat.
Ukuran pemakaman umum ini terasa lebih kecil. Beruntung, lokasi makam Chrisye ternyata sangat dekat dengan pintu utama. Sedikit berputar-putar, namun banyak membaca nama-nama yang lebih dahulu berpulang dari kita; akhirnya teks bertuliskan H. Chrismansyah Rahadi saya temukan.
Secercah senyum tergurat di bibir saya. Almarhum disemayamkan bersamaan dengan sang istri tercinta, Hj. Gusti Firoza Damayanti Noor binti Gusti Rizali Noor. Sempat membaca di internet, almarhumah sudah punya keinginan untuk berada di liang lahat yang sama ketika meninggal nanti. Dan pada akhirnya terjadi pada tahun 2020 silam.
Makam Chrisye dan sang cinta sejatinya/ Foto: CXO Media/Timotius Manggala Prasetya |
Jika kita tidak tahu nama resmi almarhum, mungkin usaha mencari makamnya akan terasa lebih sulit karena Chrisye merupakan nama panggung. 'Ritual' yang sama terjadi pada teriknya hari Jumat siang sambil diiringi sayup-sayup dari masjid sekitar. Didukung suasana yang lebih tenang, saya kembali jongkok sambil berdoa dan mengucapkan rasa syukur kepadanya. Kata demi kata meluncur tanpa ada persiapan sampai terucap kalimat dalam hati, "Terima kasih atas lagu-lagu yang telah menyelamatkan selera musik kami semua."
Tidak ada nada-nada sarkas atau satir yang coba saya sampaikan. Semuanya benar-benar murni dari pengalaman hidup yang tumbuh besar diiringi suara emas Chrisye. Saya rasa kita semua memiliki perjalanan yang sama bersama almarhum; dibedakan oleh lagu-lagu favorit masing-masing pribadi serta generasinya.
Status Chrisye sebagai peringkat ketiga dari daftar 50 Penyanyi Indonesia Terbaik versi RSI masih terus dikumandangkan sampai sekarang-coba baca profilnya di Spotify. Begitu juga dengan pihak Musica Studios tidak henti-hentinya merilis album kompilasi, bahkan versi bahasa Inggris, yang sepertinya masih akan terus digali dari ruang harta karun musik Chrisye. Sempat ada kesan milking yang juga terjadi di ranah hip hop negara Barat ketika banyak rapper yang mangkat pada usia dini. Akan tetapi kita harus paham kalau warisan Chrisye tidak boleh termakan zaman melalui beragam cara yang benar.
Bukti cinta sehidup semati/ Foto: CXO Media/Timotius Manggala Prasetya |
Melihat namanya di batu nisan membuat hadir rasa penasaran terhadap ukiran nama 'Chrisye' demi menunjukkan bahwa di sini tempat peristirahatan terakhir salah satu solois terbaik sepanjang masa beserta cinta sejatinya. Ternyata di balik batu nisan, barulah ada tulisan yang saya maksudkan, "Nah, inilah dia nama yang tidak akan pernah tergerus zaman, sampai kapan pun..."
***
Perjalanan menuju kantor setelahnya membawa kepala ini memikirkan berbagai hal. Tentang bagaimana sebetulnya hubungan Yockie dan Chrisye dalam musik dan di luar musik; cara membuat nama mereka tetap haru membiru; hingga mendiang musisi lain yang sepatutnya bisa diziarahi dalam waktu mendatang.
Ah, itu urusan nanti, bahkan ada yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan. Setidaknya salah satu cara paling tidak lazim untuk dilakukan dalam penghormatan terhadap musik lokal pernah dicoba. Dan dua nama yang selalu menempati playlist Spotify akhirnya pernah saya temui. Semua bagi duo yang diciptakan semesta untuk hidup dalam karya, Yockie Suryo Prayogo dan Chrisye.
(tim/tim)