Inspire | Human Stories

Anak Perempuan Tertua: Si Pemimpin yang Tumbuh dari Diskriminasi

Jumat, 22 Mar 2024 17:42 WIB
Anak Perempuan Tertua: Si Pemimpin yang Tumbuh dari Diskriminasi
Foto: Istimewa
Jakarta -

Sebagai anak perempuan pertama dalam keluarga, saya tumbuh menjadi sosok yang lebih mandiri, bertanggung jawab, dan tak ragu untuk menjadi seorang pemimpin ketika dipilih. Namun, karakteristik ini bukan sesuatu yang saya inginkan terjadi-melainkan buah dari tuntutan yang diberikan orang tua kepada saya.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti University of California, Los Angeles, menemukan bahwa dalam beberapa kasus, anak perempuan sulung atau tertua cenderung menjadi dewasa lebih awal, sehingga memungkinkan mereka membantu ibu mereka untuk mengasuh adik-adiknya, sampai membantu pekerjaan rumah.

Diskriminasi Anak Perempuan Tertua

Tak heran kalau anak perempuan tertua sering kali memikul beban dan tanggung jawab rumah tangga yang cukup berat-walau sejak usia muda. Neuropsikolog dan direktur Layanan Psikologi Konsultasi Komprehensif (CCPS) di New York City, Sanam Hafeez, PsyD, mengatakan beberapa anak perempuan dalam posisi ini mungkin akan merasakan perasaan kewalahan, terus-menerus bertanggung jawab terhadap orang lain, dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Namun keuntungannya, ketika si anak perempuan ini telah dewasa, mereka punya peluang yang lebih besar untuk sukses dibandingkan saudara kandungnya dan lebih punya karakteristik kepemimpinan karena terbiasa diandalkan dalam keluarga. Bukan hanya itu, karena dituntut untuk lebih dewasa sejak dini untuk bisa mengurus segala sesuatu dalam keluarga, anak perempuan sulung pun memiliki sifat keibuan yang alami dan rasa tanggung jawab tinggi.

"Urutan kelahiran bisa mempengaruhi ciri-ciri kepribadian, namun bukan faktor penentunya. Perbedaan individu itu sendiri lebih memainkan peranan penting," kata Hafeez.

Lebih Mungkin Mengalami Diskriminasi

Sebagai anak perempuan pertama dalam keluarga, saya pun merasakan apa yang banyak dirasakan anak-anak perempuan pertama seperti saya. Memang benar, sejak kecil saya dituntut untuk lebih mandiri, bertanggung jawab, dan diasah untuk menjadi pemimpin.

Walau ketika dewasa saya merasakan keuntungan dari ajaran orang tua saya yang cukup keras, namun di sisi lain saya juga merasakan diskriminasi dalam keluarga. Misalnya, karena saya adalah kakak dari adik perempuan saya, saya harus mau mengalah demi adik dan mengesampingkan ego. Saya juga diminta untuk menjadi contoh yang baik bagi adik dan harus selalu bisa diandalkan.

Sementara adik saya, tidak pernah dituntut untuk mengambil peran sebagai seorang pemimpin dalam keluarga atau hanya sekadar diberikan tanggung jawab lebih. Sayalah yang sebagai anak perempuan tertua harus punya andil untuk menjaga keluarga. Tidak heran, anak-anak perempuan seperti saya, pada akhirnya membuat sebuah tren TikTok bernama #EldestDaughterSyndrome.

Tren yang diawali oleh kebanyakan remaja perempuan ini mencoba menyuarakan ketidakadilan atas sejumlah kontribusi mereka yang tidak dihargai di keluarga mereka-serta membahas dampak buruknya terhadap kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan mereka.

Walau tidak bisa dimungkiri bahwa perempuan mengalami peningkatan dalam bidang pendidikan dan pekerjaan, mereka masih memikul bagian terbesar dari pekerjaan rumah tangga. Kemajuan menuju kesetaraan gender di tempat kerja memang belum diterjemahkan ke dalam kesetaraan gender di rumah atau lingkungan keluarga.

Penelitian menunjukkan kalau anak-anak perempuan ini memberikan kontribusi penting tetapi sering diremehkan dalam pekerjaan rumah tangga. Hal ini mencerminkan kesenjangan gender di kalangan orang dewasa, anak perempuan berusia antara lima dan 14 tahun menghabiskan 40% lebih banyak waktu untuk pekerjaan rumah tangga dibandingkan anak laki-laki.

Seperti yang kita ketahui, di dunia ini tatanan kekuasaan patriarki sulit dihempas, sehingga anak perempuan tertua sering menjadi korban menanggung beban terberat saudara-saudaranya. Sehingga sindrom ini memang bisa mengganggu kesejahteraan anak perempuan tertua dan "mencuri" masa kecil mereka karena terlalu diburu-buru memikul beban tanggung jawab orang dewasa yang tidak proporsional.

Untuk menyudahi ketidakadilan ini, keluarga memang harus menyadari bahwa beban yang sama juga harus diberikan kepada anak lainnya ketika mendistribusikan tugas dan tanggung jawab rumah tangga. Memang bukan hal mudah, tetapi anggota keluarga khususnya laki-laki, mesti berinisiatif dan meningkatkan kontribusi mereka pada pekerjaan rumah tangga.

Sudah saatnya kita menghentikan narasi pekerjaan rumah adalah sesuatu yang terkait gender dan bersifat feminin. Jadi, anak perempuan tertua maupun anak-anak lainnya dalam keluarga memiliki tanggung jawab yang sama sehingga ketidakadilan dan diskriminasi dalam keluarga bisa dihentikan.

(DIR/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS