Inspire | Human Stories

Jalan Panjang Vandana Shiva dalam Menjaga Bumi dan Merawat Kehidupan

Rabu, 25 Oct 2023 18:30 WIB
Jalan Panjang Vandana Shiva dalam Menjaga Bumi dan Merawat Kehidupan
Foto: CXO Media
Jakarta -

Ada banyak pemikir yang mampu menulis dan menerbitkan puluhan hingga ratusan buku, tapi hanya sedikit yang mampu membuat orang lain mau mendengarkan, apalagi yang mampu mengubah cara pikir banyak orang. Salah satu dari segelintir orang itu adalah Vandana Shiva.

"Manusia yang menjajah bisa mengambil apapun dari mana pun. Tapi, pangan adalah mata uang kehidupan. Pangan memberi hidup untuk penyerbuk, pangan memberi hidup untuk cacing tanah, burung-burung, dan serangga   dan pangan adalah untuk semua," ucap Shiva dalam panel diskusi "Vandana Shiva and 50 years of Environmental Justice" yang digelar Ubud Writers & Readers Festival pada Sabtu (21/10/23).

Selama 50 tahun berkarya sebagai aktivis lingkungan, sosok yang dijuluki "Gandhi of grain" ini tanpa gentar mengkritik perusahaan-perusahaan multinasional yang melakukan rekayasa genetika pangan; seperti Monsanto, Corteva, dan Syngenta. Shiva juga mengkritik Bill Gates yang, melalui yayasannya, mendanai produksi Golden Rice atau beras emas untuk didistribusikan ke negara-negara berkembang seperti Filipina dan Bangladesh demi "membantu jutaan orang menghadapi malnutrisi".

Padahal, menurut Shiva, malnutrisi justru disebabkan oleh hilangnya keanekaragaman hayati akibat monokultur. Dan proyek-proyek seperti ini hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan besar, alih-alih menyejahterakan petani.

Vandana Shiva dan Farwiza Farhan dalam panel Vandana Shiva and 50 Years of Environmental JusticeVandana Shiva dan Farwiza Farhan dalam panel "Vandana Shiva and 50 Years of Environmental Justice"/ Foto: CXO Media

Shiva tidak pernah bercita-cita menjadi aktivis, sebab mimpinya adalah untuk menjadi ilmuwan. Setelah India merdeka pada tahun 1947, kedua orang tua Shiva memutuskan untuk pindah dan tinggal di hutan Himalaya di daerah Dehradun, Uttarakhand. Ayahnya bekerja untuk konservasi hutan, sedangkan ibunya memilih untuk menjadi petani. Namun keinginan untuk menyuarakan isu lingkungan baru muncul ketika Shiva berumur 20an, saat ia hendak pergi ke Kanada demi meraih gelar doktor di bidang fisika.

"Saya tumbuh besar di hutan Himalaya, jadi bagi saya ini adalah rumah. Sebelum berangkat ke Kanada, saya memutuskan untuk berjalan mengitari hutan sejenak, tapi lalu saya menemukan sebagian hutan ini telah habis ditebang. Itu adalah pertama kalinya saya melihat kerusakan alam dan rasanya seperti sebagian diri saya ikut menghilang," ucap Shiva kepada CXO Media.

Setelahnya, Shiva berjanji bahwa setiap kali ia menyempatkan pulang ke India, ia akan ikut menjadi relawan untuk Chipko—sebuah gerakan memeluk pohon yang diinisiasi oleh para perempuan di India demi melawan deforestasi. Komitmen ini bisa terus terjaga dan tumbuh setelah ia melihat bahwa ada banyak yang bisa diraih melalui aktivisme. Buktinya, ia berhasil mendirikan Navdanya, sebuah gerakan yang melibatkan petani di India untuk melestarikan benih dan merawat keanekaragaman hayati.

Menurut Shiva, industri pertanian modern yang berasal dari Barat adalah salah satu akar masalah dari krisis lingkungan. Sebab, meski digadang-gadang sebagai solusi atas krisis pangan, pertanian modern justru menciptakan masalah baru. Penggunaaan kimia, praktik monokultur, dan rekayasa genetika yang menciptakan jenis-jenis tanaman baru nyatanya malah menjadi bencana karena menyebabkan punahnya keanekaragaman hayati.

Selama 50 tahun terakhir, Shiva telah menerbitkan lebih dari 20 buku serta mendapat berbagai penghargaan, salah satunya yaitu Right Livelihood Award. Buku pertama yang ia tulis, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (1988), membahas bagaimana pembangunan berparadigma Barat membuat banyak perempuan di negara dunia ketiga—yang hidup dari dan bersama alam—berakhir terpinggirkan dan dimiskinkan. Buku-buku yang ia tulis selanjutnya juga tak kalah fenomenal, beberapa di antaranya adalah Ecofeminism (1993), Soil Not Oil (2007), dan Oneness VS the 1% (2018).

Untuk seseorang yang dikenal sebagai salah satu figur paling berpengaruh di Asia, Shiva adalah sosok yang sangat membumi. Sejak kecil, orang tuanya selalu mengajarkan untuk hidup sederhana. "Hal terpenting kedua yang diajarkan orang tua saya adalah keberanian. Mereka selalu berkata, 'Tidak ada kekuatan yang lebih besar dari hati nurani. Jalanilah hidup sesuai hati nurani,'" ungkapnya.

Keberanian ini nampak dalam diri Shiva yang tak pernah berhenti berpihak kepada alam, petani, komunitas adat, serta perempuan—yang selama ini terpinggirkan oleh pembangunan. Seringkali, melawan kerusakan lingkungan berarti harus melawan sistem yang dibuat oleh segelintir orang berkuasa dan perusahaan-perusahaan raksasa. Lalu bagaimana kita sebagai individu—yang mungkin merasa kecil dan tak punya harapan—ambil bagian dalam upaya untuk menyelamatkan lingkungan? "Dengan tidak meremehkan hal-hal yang kecil," jawab Shiva.

Shiva menggunakan fungi (jamur) sebagai analogi untuk menggambarkan bagaimana sebuah hal kecil bisa menciptakan dampak yang besar. Meski tersebar di berbagai sudut, jamur adalah organisme yang berukuran kecil dan seringkali tak terlihat. Tapi, jamur membuat tanaman bisa mendapatkan nutrisi dan jamur berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. "Jadilah kecil, namun jangkaulah [seluas-luasnya]. Artinya, mulailah berpikir mengenai kuasa secara horizontal, dan bukan secara vertikal," jelasnya.

Perbincangan singkat dengan Vandana Shiva ditutup dengan pesan yang sederhana namun menggema. Ketika kita berhenti berkompetisi dan mulai bekerjasama, berjejaring, dan saling memberi   baik kepada sesama manusia atau kepada alam, di situlah upaya merawat bumi bisa dilakukan. "Hidup dimulai dari yang kecil, perubahan dimulai dari yang kecil, solidaritas dimulai dari yang kecil," tutupnya.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS