Inspire | Human Stories

TAKBIR Eps. 3: Masjid Lautze, Jalan Pemantap Hati Menuju Yang Maha Esa

Selasa, 04 Apr 2023 15:09 WIB
TAKBIR Eps. 3: Masjid Lautze, Jalan Pemantap Hati Menuju Yang Maha Esa
Foto: Riz Affrialdi - CXO Media
Jakarta -

Asma-asma Allah menyebar di sekeliling dinding bagian dalam Masjid Lautze, Sawah Besar. Sebagai hiasan, tentu kaligrafi yang sama-sama mengagungkan keindahanNya tersebut sangatlah cantik. Apalagi, terdapat perpaduan ciamik dengan nuansa oriental dan program-program yang berfaedah.

Hanya saja, belum sempurna rasanya bila sekadar memaknai wujud Tuhan sebatas simbol-simbol yang tertera. Sebab jika ditelaah secara lebih mendalam, setidak-tidaknya, setiap yang singgah di Masjid Lautze dapat mencoba untuk melihat-Nya dari sudut-sudut dimensi yang berbeda.

Kunjungan tidak sengaja saya ke Masjid Lautze pada hari Selasa, 28 Maret 2023, atau bertepatan hitungan ke-6 puasa bulan Ramadan 1444 H, berbuah banyak pelajaran berharga. Maksud saya, di samping cuaca sepanjang hari yang teduh dan nyaman, suasana Masjid Lautze yang terbilang istimewa membuat pelaksanaan Rukun Islam ke-4 ini lebih menyenangkan.

.Pajangan Kaligrafi di Dinding Masjid Lautze, Sawah Besar. Foto: CXO Media/Riz Afrialldi

Ibarat sebuah sumur di tengah pada yang kering, Masjid Lautze yang berwarna merah merona pada sisi luar bangunan, merupakan satu-satunya Ruko (rumah toko) di kawasan padat perniagaan dan perkantoran jalan Lautze, Sawah Besar. Bahkan, lebih dari sekadar Masjid yang berlokasi di tengah lalu lalang pekerja, Masjid Lautze juga menjadi pintu sekaligus lentera terang ajaran Islam kepada komunitas Tionghoa yang berada di Indonesia.

Oleh sebab itu, selain menjadi favorit para pegawai untuk beribadah di tengah hari yang sibuk, Masjid yang dikelola Yayasan Haji Karim OEI ini juga menjadi rumah bagai komunitas Tionghoa yang sedang mendalami tapak ke-Islam-an dalam hidupnya. Termasuk, saat menjalani ibadah rutin di bulan Ramadan, seperti Salat Tarawih berjamaah sebanyak 11 rakaat di Masjid Lautze yang digelar setiap Sabtu malam Minggu.

Jembatan Pengait Keyakinan

Terhitung sejak berdiri di muka masjid, nuansa Tionghoa yang dominan akan semakin tampak di Masjid Lautze. Sebuah jawaban yang masuk akal, bagi rasa penasaran soal mengapa Masjid ini berwarna merah mentereng. Masih dari sisi depan, alih-alih memiliki pekarangan dan teras yang luas, Masjid yang menempati dua ruko yang disatukan ini langsung menyuguhkan 4 pintu masjid   yang terbagi dua bilah di masing-masing sisinya.

Sementara itu, persis di tengah empat pintu yang berdiri di kedua sudut, terdapat satu prasasti peresmian Masjid Lautze dari masa lampau. Tertanda tahun 1994, dengan goresan tanda tangan atas nama B.J Habibie, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), sekaligus menjabat Menristek RI pada masa itu.

.Prasasti Peresmian Masjid Lautze. Foto: CXO Media/Riz Afrialldi

Di balik dinding tersebut, ada area wudhu bagi pria yang diapit dua haluan dari pintu masuk menuju ruang salat berjamaah. Sebuah tatanan masjid yang cukup sederhana, dengan kombinasi warna merah-kuning-hijau yang saling berpadu padan, tiga buah pilar sebagai penyangga, juga sekeliling bingkai kaligrafi berbahasa Arab, Mandarin, dan Indonesia.

Secara tidak langsung, goresan-goresan kaligrafi trilingual tersebut juga ikut merepresentasikan bauran jamaah yang hadir di Masjid Lautze. Sebab, jika dicermati lebih jauh, selain didatangi oleh para pekerja dari kawasan perkantoran dan niaga sekitar Lautze, jamaah dominan di Masjid ini berasal dari masyarakat komunitas Tionghoa   plus menarik minat wisatawan.

Pada poin ini, saya betul-betul menyadari bahwasanya Islam merupakan ajaran rahmatan lil 'alamin dan tidak pernah pandang bulu. Ditambah lagi, Masjid Lautze turut aktif membagikan benih-benih kebaikan Islam kepada setiap orang yang memiliki ketertarikan lebih terhadap ajaran Islam.

Terbukti dalam kurun 25 tahun ke belakang, lebih dari 1500 orang, baik dari komunitas Tionghoa atau berasal dari etnis dan wilayah lain, mantap melafalkan dua kalimat syahadah, sebagai wujud keyakinannya terhadap Allah dan Rasul-nya.

Hal yang tidak kalah menarik perhatian adalah sebuah bingkai kaligrafi yang menempel di sudut depan pintu masuk sebelah kiri Masjid Lautze. Kalimatnya bertuliskan, "Allahumma Ya Muqollibal Quluub Tsabit Qalbi Alddinnik". Artinya, "Wahai Dzat yang Berkuasa Membolak-balikan Hati Tetapkan Hatiku dalam Agama (yaitu Islam)".

.Salah satu Kaligrafi di Masjid Lautze. Foto: CXO Media/Riz Afrialldi

Dari kaligrafi tersebut, saya kemudian berkaca pada dinamika kehidupan saat ini yang berjalan begitu cepat. Karena terkadang, manusia dapat mengimankan pekerjaan dunia, seperti tidak melupakan waktu solat di sela kesibukan sembari mencuri-curi kesempatan terlentang di karpet empuk Masjid Lautze; juga bisa mendadak mempekerjakan imannya, selayaknya satu hitungan transaksional yang mengedepankan ego.

Dan, pada akhirnya, semoga hati saya, kamu, kalian, kita semua, tetap berada di jalan yang diridhoiNya. Setapak jalan Islam, yang sarat kebaikan di dalam dalam diri, dan memancarkan pesona ke luar. Persis seperti Masjid Lautze.

Sekilas Sejarah Masjid Lautze

Masjid Lautze berawal dari satu bangunan ruko sewaan. Mulanya tempat ini dipergunakan sebagai tempat peribadatan sekaligus pusat kegiatan dakwah ajaran Islam kepada komunitas Tionghoa oleh Yayasan Haji Karim OEI, yakni pada tahun 1991 silam. Namun, seiring berjalannya waktu dan berdatangannya dukungan, akhirnya Masjid Lautze mulai menempati dua ruko yang disatukan. Tempat itu sepenuhnya menjadi Masjid Lautze di dua lantai bawah, dan kantor operasional Yayasan Haji Karim Oei di dua lantai sisa, sejak tahun 1994.

Nama Haji Karim OEI (Oei Tjeng Hien) sendiri dipilih sebagai nama yayasan karena salah satu pendirinya, yakni sang anak, Alim Karim Oei bersama kolega, hendak memberi penghormatan kepada Oei Tjeng Hien (1906-1988), atas jasa dan kontribusinya kepada Bangsa Indonesia. Oei Tjeng Hien merupakan tokoh perjuangan asal Sumatera Barat, yang turut ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang aktif di berbagai organisasi Islam pada masa silam.

Sementara lain, nama Masjid "Lautze" yang diambil dari nama jalan, lebih dipilih sebagai nama Masjid ini agar tetap berada di koridor awal. Yakni, mengenalkan dan membaurkan Islam di seluruh kalangan, khususnya di komunitas Tionghoa. Mudahnya, ketimbang pusing-pusing memikirkan nama "arabic" yang mungkin saja memberatkan masyarakat Tionghoa untuk belajar di sana, maka nama jalan Lautze yang dianggap lebih netral mantap diplot sebagai yang utama.

Sejak awal berdiri, Masjid Lautze yang dikelola Yayasan Haji Karim OEI telah menghabiskan diri sebagai pintu gerbang Islam kepada masyarakat Tionghoa. Oleh karenanya, setiap orang di luar Islam yang memiliki ketertarikan akan dibimbing sebisa mungkin. Seperti halnya pengenalan esensi-esensi mendasar Islam, proses pembimbingan ibadah hingga saat menjadi mualaf, sampai menyediakan wadah bagi jamaah luas untuk mengkaji nilai-nilai keistimewaan Islam melalui berbagai rangkaian kegiatan.

Masjid Lautze buka setiap hari Senin sampai Jumat, pukul 8 pagi s.d 5 sore. Di bulan Ramadan ini, Masjid kembali buka sepanjang hari Sabtu, hingga menggelar solat tarawih berjamaah. Sedangkan, di luar bulan Ramadan, jadwal akhir pekan Masjid Lautze tersedia di hari Minggu sejak pukul 8 pagi s.d 5 sore, karena terdapat agenda pengajian.

[Gambas:Audio CXO]

(RIA/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS