Inspire | Human Stories

Celebrity Worship Syndrome, Kala Kekaguman pada Idola Tak Lagi Wajar

Rabu, 23 Nov 2022 19:10 WIB
Celebrity Worship Syndrome, Kala Kekaguman pada Idola Tak Lagi Wajar
Foto: Getty Images
Jakarta -

Mengidolakan sosok yang membuat kita kagum akan apa yang ia lakukan atau yang mereka ciptakan adalah hal yang wajar. Apalagi apa yang dilakukan mereka bisa menginspirasi kita untuk melakukan hal yang sama dan menebar kebaikan kepada sesama manusia juga makhluk hidup yang ada di dunia ini.

Sebut saja berbagai fandom Kpop yang secara sukarela membuat open donasi untuk membantu para korban bencana yang ada di Indonesia atau membuat gerakan positif untuk kebaikan bumi. Menurut saya, itu merupakan esensi dari mengidolakan seseorang yakni bisa bermanfaat bagi banyak orang. Namun dari banyaknya hal-hal baik bergabung dalam sebuah fandom idola, terselip sisi gelap dari mengidolakan seorang figur publik.

Terlalu terobsesi, membuntuti ke mana pun idola mereka pergi, bahkan melakukan tindakan berbahaya seperti menjadi seorang sasaeng—sebutan fans fanatik yang tak wajar di Korea Selatan—itu sudah masuk ke ranah penyakit psikologis yang kini dikenal sebagai Celebrity Worship Syndrome.

Dikutip dari Psychology Today, Celebrity Worship Syndrome adalah gangguan psikologi yang merasakan keterikatan yang ekstrem pada seorang selebriti. Gangguan ini digambarkan sebagai obsesif-adiktif di mana seseorang ingin selalu terlibat dan terobsesi dengan detail kehidupan pribadi seseorang yang mereka idolakan.

Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh Lynn McCutcheon dan rekan penelitiannya di awal tahun 2000-an. Mereka berpendapat, meskipun normal bagi para remaja tertarik dengan selebriti yang mereka kagumi, namun skala mengidolakan mereka harus berkurang seiring bertambahnya usia.

Namun, karena berkembangnya teknologi informasi, seperti mudahnya mengakses informasi lewat platform media sosial, beberapa orang dewasa pun bisa terjebak dalam gangguan psikologis ini. Menurut peneliti, gangguan ini bersifat disfungsional dan bahkan dalam kasus yang ekstrem bersifat patologis. Seperti halnya hubungan parasosial, sindrom pemujaan selebriti ini bisa dianggap sepihak dan tidak ada timbal balik. Bahkan pola perilakunya sering obsesif, kompulsif, dan adiktif.

Memahami Tingkat Pemujaan pada Selebriti

Dalam studi yang dilakukan pada 2003, tim yang dipimpin oleh McCutcheon dan Maltby mengidentifikasi tiga jenis sikap terhadap selebriti dan tiga profil kesehatan mental yang terkait dengan sikap tersebut. Berikut ulasannya.

1. Entertainment Social

Ini adalah tingkat yang paling rendah dan pada tingkat ini berkaitan dengan sikap di mana individu tertarik pada seorang selebriti karena persepsi kemampuan mereka untuk menghibur dan menjadi fokus sosial percakapan dengan orang lain yang berpikiran sama.

2. Intense-personal

Pada tingkat menengah ini, ciri-cirinya adalah dengan perasaan intens dan obsesif terhadap selebritas, seperti percaya bahwa idola tertentu adalah belahan jiwa mereka. Kelompok ini menunjukkan ciri-ciri kepribadian yang terkait dengan neurotisme, artinya mereka cenderung lebih kaku, moody, dan emosional.

3. Borderline-Pathological

Individu yang terjebak pada tahap ini disebut sebagai Borderline-Pathological. Umumnya mereka memiliki pemikiran dan fantasi ekstrem tentang idola mereka, seperti rela menghabiskan uang puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk membeli barang-barang yang digunakan oleh idola mereka—bahkan barang kecil sekalipun. Peneliti menemukan bahwa pada tingkat ini dikaitkan dengan ciri-ciri psikotisme—menjadi impulsif, antisosial, dan egosentris.

Worship Syndrome dan Kesehatan Mental

Dikutip dari Very Well Mind, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pemujaan selebritas berkorelasi dengan kesehatan mental yang buruk dan perilaku maladaptif, namun tidak jelas apakah masalah kesehatan mental mendahului pemujaan kepada idola atau apakah pemujaan selebriti ini justru penyebab masalah kesehatan mental.

Sebab para pemuja yang notabene lebih banyak dialami oleh remaja perempuan kerap dikaitkan dengan kesehatan psikologis yang buruk seperti kecemasan dan depresi. Sementara tingkat worship syndrome yang paling parah dikaitkan dengan perilaku obsesif-kompulsif.

Jadi, sebenarnya mengidolakan seseorang mungkin akan membuat hidup kita lebih bermakna dan lebih menyenangkan. Namun, saat mengidolakan mereka, kita juga harus paham bahwa mereka juga manusia sama seperti kita, yang punya kehidupan pribadi yang harus tetap dijaga.

Punya angan untuk bisa dekat dengan idola pasti pernah dirasakan sebagian besar dari kita, tapi bukan berarti kamu harus memaksakan kehendak agar idolamu harus selalu memberikan fan service. Yuk, kagumi seseorang secara wajar, dan tetaplah fokus hidup dalam realita.

[Gambas:Audio CXO]

(DIR/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS