Inspire | Human Stories

Flexing di Media Sosial, Kenapa Tidak?

Rabu, 16 Nov 2022 17:00 WIB
Flexing di Media Sosial, Kenapa Tidak?
Foto: Pexels: Cottonbro
Jakarta -

Pasti sudah menjadi hal yang umum kita lihat di media sosial ketika seseorang mengunggah konten-konten flexing pada akun pribadinya. Flexing itu sendiri tidak melulu harus berbentuk materi di mana seseorang memperlihatkan jam tangan mahalnya sambil memegang setir mobil Eropa terkini atau tas mahal dengan kisaran harga puluhan hingga ratusan juta rupiah yang tergeletak di atas meja makan yang menyajikan sederet jenis sashimi di restoran Jepang yang mahal, tetapi segala hal bisa dikatakan sebagai bentuk flexing ketika itu semua memperlihatkan privilese yang dimiliki.

Bentuk-bentuk privilese yang dimiliki setiap orang memang berbeda dan tolok ukurnya pun tergantung dari sudut pandang setiap individu. Ada yang menganggap bahwa memiliki mobil sebagai moda transportasi pribadi adalah sebuah bentuk privilese bagi mereka yang tidak memilikinya, namun bagi orang-orang yang terbiasa mengudara dengan jet pribadi pasti menganggap memiliki mobil bukan suatu hal yang istimewa. Hal ini pun mempengaruhi cara berpikir setiap orang yang mengonsumsi konten flexing di media sosial.

Bagi mereka yang tidak memiliki privilese tertentu, melihat konten media sosial mutual-nya yang memiliki sesuatu yang tidak ia miliki pastilah dianggap sebagai bentuk flexing, meskipun memang pada dasarnya pihak yang mengunggah tidak sama sekali merasa bahwa ia melakukan flexing dengan apa yang dimiliki. Namun, baik itu menurut anggapan orang ataupun tidak, salah nggak sih untuk flexing?

Tidak ada yang salah dengan melakukan flexing di media sosial. Toh, apa yang kita tunjukkan memang betul merupakan hasil jerih payah kita sendiri. Tidak perlu jauh-jauh flexing dengan jet pribadi di media sosial, bagi sebagian orang yang mengunggah foto makan malam bersama keluarga dengan hangat dan sederhana juga merupakan salah satu bentuk flexing karena sukses dalam membagi waktu sibuk untuk keluarga yang belum tentu bisa dilakukan oleh semua orang. Melakukan mirror selfie di tempat gym juga kerap dianggap sebagai sebuah bentuk flexing, padahal memang mungkin saja ia ingin mendokumentasikan progres diet yang dijalani. Jadi memang dasarnya, flexing atau tidak itu tergantung kepada yang mengonsumsi, jika mereka tidak memiliki kemampuan akan hal tersebut tentu pihak yang mengunggah dianggap sedang flexing atau pamer.

Lagipula apabila memang mengunggah suatu konten didasari dengan niat flexing, hal yang satu ini juga tidak ada salahnya, kok. Memamerkan mobil mahal yang akhirnya bisa dibeli karena jerih payah yang ditanggung sebelumnya dengan kerja keras tanpa kenal waktu tentu sah-sah saja. Memangnya kenapa apabila kita ingin memberitahu dunia bahwa kita berhasil mencapai suatu titik dalam kehidupan? Memang pasti ada saja yang nyinyir karena pencapaian kita pribadi, cemoohan seperti "gitu saja pamer" dan "norak banget deh, beginian saja di-upload" hanya sedikit dari banyaknya feedback umum yang didapatkan oleh orang-orang.

Memangnya kenapa, sih, kalau apa yang kita rasa sebagai sebuah pencapaian turut kita rayakan di media sosial, selama tidak merugikan pihak-pihak tertentu? Lagipula baik itu disengaja atau tidak, flexing setiap orang bentuk dan skalanya berbeda-beda, bisa saja secara tidak sadar kamu juga selama ini dianggap flexing oleh banyak orang yang tidak seberuntung kamu. Jadi, terlepas dari anggapan orang-orang kamu bebas mengunggah apapun yang kamu rasa layak untuk diperlihatkan, baik itu adalah sebuah bentuk flexing ataupun tidak.

[Gambas:Audio CXO]

(DIP/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS