Inspire | Human Stories

Bangunin Sahur Diomelin, Nggak Dibangunin Kesiangan

Kamis, 07 Apr 2022 22:00 WIB
Bangunin Sahur Diomelin, Nggak Dibangunin Kesiangan
Foto: detikcom faizalamiruddin
Jakarta -

Sahurrrrr Sahur! Sahurrrrrrrrrrrrrrr.
Ramadan tiba, saatnya berpuasa. Agar sehat dan prima saat beribadah puasa, kaum muslimin dan muslimah dianjurkan untuk bersantap sahur di pagi buta. Hal ini memang cukup penting, mengingat Rasulullah SAW menganjurkan agar umatnya bersantap sahur. Di Indonesia sendiri, prosesi sahur menjadi cukup meriah. Di televisi, para artis kenamaan akan meramaikan acara yang menghibur sementara di pemukiman penduduk, gerobak bedug keliling siap membelah suntuknya malam agar warga tidak sahur kesiangan.

Setiap bulan Ramadan bergulir di Indonesia, ritual membangunkan sahur menjadi salah satu yang paling ditunggu-tunggu oleh anak-anak muda. Mudahnya, kapan lagi berisik di tengah malam dan tidak dilarang? Jelas, jiwa muda menyambut ritual bangunin sahur dengan penuh euforia. Ada yang membekali ritual bedug keliling dengan gerobak berisi bedug yang nyaring. Ada pula yang membangunkan orang melalui sahutan di toa-toa masjid. Namun demikian, 'bangunin sahur' tidak melulu ditanggapi secara positif, bahkan ada pula pihak yang menolak karena sebal dengan bisingnya. Terlepas dari pro kontra yang berkembang, ternyata ritual 'bangunin sahur' ini telah berlangsung sepanjang sejarah.

Sekilas Sejarah Bangunin Sahur
Sedikit mengintip ke belakang, ritual membangunkan orang sahur sudah dilakukan sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Awalnya, mengingatkan orang sahur dilakukan dengan adzan, karena memang pada masa itu, alat kesenian belum terlalu berkembang seperti saat ini. Setelah zaman kenabian, prosesi membangunkan sahur mulai berkembang. Masyarakat jazirah Arab saat itu mulai berkeliling menggunakan lentera dan tetabuhan, sambil mengabarkan bahwa waktu sahur telah tiba.

Di Indonesia sendiri, kegiatan bangunin sahur sudah berlangsung sejak awal Islam tiba. Di kota besar seperti Jakarta, prosesnya disebut ngarak bedug. Ketika budaya Tionghoa mempengaruhi masyarakat, kegiatan membangunkan orang sahur turut diramaikan dengan penggunaan petasan. Selain itu, kegiatan ini juga dihiasi dengan alat musik tradisional yang berbunyi keras seperti kentongan. Tujuannya tetap satu, yaitu membangunkan warga untuk bersantap sahur.

Indonesia memang kaya akan budaya. Di daerah lain, nama kegiatan sejenis ini sedikit berbeda-beda meski keseluruhan agendanya masih serupa. Di Sulawesi, tradisi bedug sahur dinamakan Dengo-dengo. Di tanah Sunda atau sekitar Jawa Barat, masyarakat menyebutnya Ubrug-ubrug. Kemudian, ada juga tradisi sahur unik di beberapa daerah lain, seperti Patrol Canmacanan dari Situbondo, Klotekan dari Yogyakarta, dan Buroq dari Brebes.

Meskipun kegiatan 'bangunin sahur' memiliki serat sejarah yang cukup jelas, keberadaannya saat ini justru sedikit terancam punah. Pasalnya, tidak jarang pihak yang melarang kegiatan keliling kampung saat menjelang sahur. Alasannya, disebut mulai dari mengganggu ketertiban lingkungan, menjadi pemantik perkelahian remaja, dan lain-lain.

Bangunin Sahur di Masa Kini
Di masa ramah teknologi dan serba digital, kegiatan manusia ditunjang hampir sepenuhnya oleh inovasi-inovasi yang ada. Kegiatan berkeliling bangunin sahur misalnya, mulai tergantikan dengan peran Toa Masjid, atau bahkan alarm dari gawai pintar yang dimiliki para penduduk. Walaupun inti pesan dari kegiatan bangunin sahur mulai bisa digantikan oleh teknologi, rasanya tetap ada nuansa Ramadan yang kurang lengkap, apabila absen dengan gemuruh bedug di penjuru gang ketika malam mulai suntuk.

Di zaman sekarang, meski tidak di semua wilayah masih memiliki ritual bangunin sahur yang intens sebagaimana dahulu, keberadaannya masih tidak sulit ditemukan. Hanya saja, intensitas kegiatan bangunin sahur tidak serutin dahulu, dan baru akan ramai bergerak ketika malam sebelum hari libur atau akhir pekan tiba.

Pada perkembangannya, terdapat perubahan bangunin sahur dari masa ke masa. Mulai dari berubahnya alat yang digunakan, perubahan jenis lantunan, hingga gaya dalam berkeliling. Saat ini, di wilayah urban seperti Jakarta, penggunaan bedug mulai digantikan bass drum. Nada yang dilantunkan saat bangunin sahur pun lebih variatif. Biasanya mulai mengikuti chants populer dari klub sepakbola kesayangan.

Selain itu, gaya berkelilingnya tidak lagi menggunakan lentera atau obor, melainkan wajib membawa smartphone, sebagai alat yang akan membuat kegiatan abadi sekaligus bisa dinikmati khalayak lewat media sosial. Oleh karena itu, saat bulan puasa tidak jarang kita melihat video viral berisi sekumpulan remaja yang membangunkan orang sahur dengan teriakan yang menggelakan tawa. Salah satunya bahkan bernada kritik kepada mereka yang selama ini kontra dengan kegiatan bangunin sahur.

Secara garis besar, keberlangsungan bangunin sahur keliling kampung oleh pemuda, ternyata telah ada sejak lama. Meski terus menjadi pro-kontra, sebenarnya, keberadaan mereka bisa juga menjadi wahana kreativitas dan pemberdayaan masyarakat, menjadi kegiatan yang positif dan lebih bermanfaat. Bahkan tercatat, beberapa stasiun televisi dan beberapa instansi pernah membuat program khusus perihal kecakapan kreatif kelompok pembangun sahur di beberapa daerah, yang dilihat dari kekompakan, kreativitas, dan yel-yel yang dilantunkan.

Banyak cara merayakan semarak Ramadan. Satu atau dua hal yang menjadi pro-kontra, selayaknya tidak mengendurkan perasaan antusias kita terhadap bulan yang penuh berkah ini. Seperti halnya, kegiatan bangunin sahur. Kamu boleh saja menjadi tim pro atau kontra, tetapi satu hal yang paling penting, kegiatan tersebut tidak selamanya berfaedah dan bisa saja dipraktikan secara lebih optimal dan efisien, jika terus dikawal dan diberi perhatian bersama-sama. Kalau menurutmu, ada nggak sih manfaat keliling bangunin sahur?

[Gambas:Audio CXO]



(RIA/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS