Inspire | Human Stories

TAKBIR Ep. 7: Petuah Prof. Nasaruddin di Ba'da Magrib

Minggu, 09 Apr 2023 15:30 WIB
TAKBIR Ep. 7: Petuah Prof. Nasaruddin di Ba'da Magrib
Foto: CXO Media
Jakarta -

Sebagai bulan yang istimewa, Ramadan datang dengan membawa beribu berkah. Allah SWT bahkan mengganjar umat-Nya yang beramal ibadah dengan sungguh-sungguh melalui pahala yang dilipatgandakan.

Namun, keistimewaan Ramadan yang seharusnya menghadirkan ketenangan dan kenikmatan, tidak melulu bisa diperoleh sepenuhnya. Terkadang, orang-orang menjadi terlampau sibuk mempermasalahkan unsur baik-buruk atau benar-salah saat menjalani puasa Ramadan, karena ketidaktahuannya.

Anehnya lagi, ketidakpahaman saat menunaikan puasa juga cenderung mengganggu kekhusyukkan ibadah, seperti terjebak di euforia perayaan menyambut Ramadan, atau kecenderungan melakukan perbuatan yang sia-sia di hari-hari puasa.

Oleh karena itu, Ta'lim Keliling Bulan Suci Ramadan (TAKBIR) edisi ke-7 ini akan mengupas beberapa pemahaman sederhana namun esensial, melalui sebuah sesi tanya jawab bersama Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar, yang telah tayang pada program spesial Ramadan Ba'da Magrib di YouTube CXO Media.

Yang Muda Bertanya, Yang Paham Menjawab
Ramadan hadir kepada umat manusia lengkap beserta segala euforianya yang bersifat rituil. Hal ini sebetulnya tidak perlu dipermasalahkan. Sebab pada satu sisi, tradisi-tradisi yang ada saat Ramadan justru membuatnya lebih terasa.

Hanya saja, spirit menggebu yang muncul di permukaan ketika menyambut bulan Ramadan seringkali membuat manusia terfokus pada aksi meromantisir suasananya saja dan bukan menghidupinya secara penuh kesungguhan. Seperti halnya sibuk tertawa terbahak-bahak karena konten-konten hiburan yang ramai diputar saat Ramadan.

Prof. Nasaruddin Umar di Program Ba'da MagribProf. Nasaruddin Umar di Program Ba'da Magrib/ Foto: YouTube CXO Media

Dari situ, maka muncul pertanyaan kepada Prof. Nasaruddin Umar soal, apakah terlalu larut dalam euforia berbahagia Ramadan, mengurangi kadar pahala yang harusnya bisa diperoleh?

"Bahagia itu hak asasi. Semua orang bercita-cita untuk bisa berbahagia," kata Prof. Nasaruddin Umar. "Namun yang penting buat kita itu, jangan sampai kita melewatkan batas saat mengekspresikan kebahagiaan."

Hal tersebut berlaku ketika kita terjebak dalam posisi bersenang-senang yang sia-sia, misalnya saat tertawa terbahak-bahak karena suatu hal. "Kalau tertawa terbahak-bahak, maka cepatlah mengucapkan istighfar, segera berwudhu, untuk kembali memulihkan wibawa dalam raut muka kita," tambahnya.

Serupa dengan perasaan bahagia, terlarut dalam kesedihan juga menjadi rasa rancu saat menjalankan puasa. Untuk itu, perlus ditegaskan, apakah terbawa rasa dalam diri seperti menangis itu membatalkan puasa?

"Jadi emosi, seperti halnya tertawa atau menangis, itu perlu diperhatikan dan dikontrol. Ketika kita terlalu sedih seperti menangis atau senang dan tertawa terbahak-bahak, maka kita harus hati-hati, sebaiknya jangan mengambil keputusan."

Sementara perkara menangis, Prof Nasaruddin menjabarkan bahwa, "Cengeng kepada Allah SWT itu mulia. Cengeng karena makhluk(Nya) tidak mulia. Tapi, keduanya itu tidak membatalkan puasa. Yang merusak puasa itu justru menangis karena tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata. Itu yang bahaya."

Secara lebih spesifik, menangis karena ditinggal orang tua tidaklah membatalkan puasa. "Justru menangisi orang tua yang meninggalkan kita adalah perilaku terpuji, karena menghayati jasa orang-yang berjasa kepada hidup kita."

Prof. Nasaruddin Umar menjelaskan 3 jenis air mata di Program Ba'da MagribProf. Nasaruddin Umar menjelaskan 3 jenis air mata di Program Ba'da Magrib/ Foto: YouTube CXO Media

Kemudian, Prof. Nasaruddin Umar juga menambahkan kalau sebenarnya, "Ada 3 jenis air mata yang mustahil disentuh api neraka. Yakni air mata kerinduan akan Allah SWT, air mata taubat, dan air mata kekesalan akan kebatilan."

Perbanyak yang Baik, Kurangi Berjulid
Fenomena puasa yang penuh hikmah dan barokah ternyata juga tidak luput dari segala kesimpangsiuran. Baik itu mengenai tata cara berpuasa yang baik dan benar, atau perihal isu-isu lainnya, yang sama-sama berputaran saat menjalani kehidupan puasa.

Pada poin ini, hal yang dimaksud dengan isu-isu lainnya bisa terwakilkan oleh perputaran gosip yang ada di lini masa. Sebab utamanya, di saat menjalani puasa, kabar-kabar miring di antara kehidupan masyarakat sekitar tidak serta-merta berhenti berputar. Dan, yang menjadi masalah, ketika bulan se-istimewa Ramadan datang, kebiasaan tersebut cenderung sulit ditinggalkan meski sepenuhnya berbalut mudarat (sesuatu yang merugikan).

Lantas, bagaimana seharusnya orang-orang beriman menyikapi ini semua? Khususnya, menyikapi gosip yang tidak berhenti bergema di ruang-ruang media digital?

Menurut Prof. Nasaruddin Umar, pada dasarnya mengabarkan berita yang masih dipertanyakan kebenarannya itu tidaklah baik. Apalagi, berita yang ternyata bohong atau mengandung hoaks. "Memviralkan berita gosip serupa fitnah itu dosanya seperti membunuh orang. Maka kita jangan main-main saat mem-forward sesuatu."

Intinya, meneruskan kabar yang simpang siur itu berbahaya. Jadi, jika kita ikut mengabarkan hal yang tidak benar, maka sama saja membuat kita menjadi penebar fitnah. Parahnya lagi, selain jauh dari kata terpuji dan diselimuti dosa yang besar, perilaku tersebut bisa diganjar undang-undang ITE.

Maka sebaiknya, daripada menghidupi Ramadan dengan hal-hal yang kurang terpuji, lebih baik kita terus belajar bersama kepada sumber yang tepat, agar kehidupan kita sebagai umat beragama tetap berada di koridor yang penuh kebaikan.

Saksikan dialog seputar keislaman di bulan Ramadan bersama Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar, yang telah tayang selengkapnya pada program spesial Ramadan Ba'da Magrib di YouTube CXO Media.

[Gambas:Youtube]

[Gambas:Audio CXO]

(cxo/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS