Langit Sumatera dihiasi awan yang mendung dan kelam. Sejak kehadiran Siklon Tropis Senyar, yang terbentuk dari bibit siklon 95B di Selat Malaka, curah hujan ekstrem terus melanda wilayah utara dan barat Pulau Sumatera.
Dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat, hujan lebat yang tak henti menetes membuat sungai-sungai meluap, mengakibatkan tanah longsor, dan banjir bandang. Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hari Minggu (30/11), tragedi ini setidaknya merenggut total 442 jiwa, sementara 402 jiwa dinyatakan belum ditemukan. Ribuan rumah penduduk juga terdampak berat akibat bencana, sedangkan akses jalan dan komunikasi ikut terputus.
Kenapa Cuaca Ekstrem Ini Bisa Terjadi?
Menurut rilis dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pergerakan Siklon Tropis Senyar sejak 26 November 2025 berpusat di perairan timur Aceh, membawa suplai massa udara lembap yang menyebabkan pembentukan awan konvektif masif di atas Pulau Sumatera. Hasilnya: hujan ekstrem, angin kencang, dan potensi gelombang tinggi di pesisir terjadi dan bekerja seperti bom waktu bagi wilayah dataran tinggi dan dataran rendah pulau Sumatera.
"Dampaknya dalam satu minggu terakhir wilayah Sumatera Utara dilanda hujan setiap hari," ujar Kepala Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BBMKG) Wilayah I, Hendro Nugroho, di Medan, seperti dikutip Antara News.
Beberapa data pengukuran curah hujan menjadi bukti nyata di Sumut, titik ARG Pakkat mencatat hingga 238,4 mm pada 25 November, di Stamet FL Tobing 229,7 mm hari sebelumnya, angka-angka serupa terekam di Tapanuli dan berbagai pos hujan lainnya. Intensitas dan konsistensi hujan semacam ini sangat jarang terjadi, bahkan bagi daerah yang sudah biasa menerima curah hujan tinggi.
Atmosfer yang labil ini membuat hujan tidak lagi sekadar musiman, tetapi menjadi ancaman nyata. BMKG pun memperingatkan bahwa potensi cuaca ekstrem masih akan berlangsung hingga awal Desember, sementara kondisi kelembapan tinggi memperkuat peluang terjadinya longsor dan banjir susulan.
3 Provinsi Porak-poranda di hantam siklon
Dampak pergerakan siklon tropis di Sumatera kian meluas. Di Aceh, hujan berkepanjangan menyebabkan banjir dan longsor memaksa banyak warga mengungsi dan menyebabkan kerusakan infrastruktur besar. Di Sumatera Utara, beberapa kabupaten dilaporkan tergenang, jalan nasional tertutup longsor, dan masyarakat desa terisolasi, seperti yang terjadi di Sibolga, Tapanuli Tengah, Medan, Binjai, hingga Langkat yang memutus akses transportasi darat menuju Provinsi Aceh.
Sementara di Sumatera Barat, beberapa kabupaten menetapkan status darurat setelah tanah longsor merusak rumah, menumbangkan pohon, dan merusak akses transportasi.
Banyak rumah penduduk berada di kawasan rawan: bantaran sungai, lembah sempit, atau tebing curam. Oleh sebab itu, ketika hujan ekstrem terjadi, kesalahan tata ruang, deforestasi, dan degradasi lingkungan ini berdampak fatal.
Hal tersebut, tentu tidak terlepas dari kebodohan dan ketamakan manusia itu sendiri. Beberapa yang paling fatal dan disebut menjadi hulu dari bencana berkali lipat ini ialah faktor penggundulan hutan demi tambang, buruknya sistem drainase, pengerukan sungai yang membuat air dan lumpur sulit tertahan, dan kegagalan mitigasi pemerintah.
Kerugian korban tak hanya dihitung rumah rusak atau barang hilang, tapi juga kehidupan yang terguncang. Lebih dari ribuan keluarga kehilangan mata pencaharian; petani kehilangan sawah, pedagang kaki lima kehilangan dagangan.
Anak-anak juga terpaksa berhenti sekolah karena banjir, fasilitas umum lumpuh, dan trauma psikologis mulai muncul di antara mereka yang harus mengungsi.
Relawan, organisasi kemanusiaan, warga sekitar, semua bergerak cepat. Dapur umum didirikan, logistik disalurkan, dan bantuan medis darurat dikirim ke titik-titik terdampak. Namun, kebutuhan mendesak seperti evakuasi, perbaikan rumah sementara, penyediaan air bersih, dan bantuan bahan pokok masih jauh dari cukup. Peristiwa ini bukan sekadar alarm dari alam, melainkan ikut menyentuh urusan kemanusiaan yang wajib lebih berempati dalam kondisi mendesak.
Pray For Sumatera
"Pray for Sumatera" tidak boleh menjadi jargon dan sekadar tagar di media sosial. Ini harus menjadi panggilan moral bagi kita, warga kota, perantau, dan semua anak bangsa untuk peduli, bertindak, dan ikut bertanggung jawab. Dan yang paling krusial, adalah sikap sigap yang harus diambil oleh Pemerintah-yang sampai hari ini (01/12) tidak juga menetapkan bencana di Sumatera sebagai darurat bencana Nasional, meskipun dampaknya begitu parah.
Walaupun mitigasi bukan hanya tugas pemerintah, di mana elemen masyarakat juga harus ikut andil dan punya pemahaman yang baik, tekanan kencang tetap wajib diarahkan terhadap pemerintah, yang wajib memiliki sikap bijak terhadap regulasi tata ruang, pengerukan sungai, hingga pengimplementasian sistem peringatan dini
Pemerintah yang terkesan lambat dalam bersikap juga seharusnya ikut membantu pergerakan swadaya masyarakat sipil, yang terbukti bisa bersolidaritas dalam memberi bantuan.
Tidak hanya itu, kejadian hari ini wajibnya menjadi alarm bagi pemerintah, untuk segera berkolaborasi dengan masyarakat secara menyeluruh, agar tragedi serupa tidak lagi terjadi. Tentu kita tidak ingin gemuruh hujan berikutnya turut mengubah rumah menjadi puing dan sungai menjadi kubangan air mematikan.
Ketika kita menoleh ke tanah, ke rumah, ke sungai yang meluap, kita harus ingat: Sumatera bukan hanya pulau, tapi bagian dari nadi kehidupan bangsa. Dan, ketika alam Sumatera sedang sakit, kita tidak boleh berpaling.
Sejumlah LSM dan yayasan kini tengah bergerak menggalang bantuan bagi saudara-saudari kita di Sumatera. Jika memiliki ruang dan kemampuan, berkontribusi melalui donasi dapat menjadi langkah kecil yang berarti bagi mereka yang membutuhkan di daerah bencana.
Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak*
(*) Kontributor CXO Media
(ktr/RIA)