Insight | General Knowledge

Australia Larang Anak di Bawah Umur Main Medsos, Indonesia Kapan?

Selasa, 18 Nov 2025 17:30 WIB
Australia Larang Anak di Bawah Umur Main Medsos, Indonesia Kapan?
Foto: iStock
Jakarta -

Seringkali kita berpikir apakah melewatkan suatu tren membuat kita tertinggal atau menjadi seseorang yang Joy Of Missing Out (JOMO) juga jadi salah satu solusi? Di era digital ini, semua informasi di media sosial sangat cepat. Persoalan tentang bagaimana setiap orang bisa bijak dalam mengakses satu gadget kecil di genggaman, menjadi penting untuk bisa meraih kehidupan yang ideal.

Sebab tidak bisa dimungkiri bahwa mayoritas kegiatan yang kita lakukan menggunakan media sosial. Mulai dari bertukar pesan dengan rekan kantor, mengerjakan copywriting untuk Instagram, atau mencari bahan konten di TikTok, dan belum lagi dengan melihat trending di X. Semua waktu kita habiskan di media maya untuk berselancar mencari informasi yang diinginkan.

Satu dekade belakangan, para peneliti merasa cemas akan perubahan yang disebabkan oleh media sosial. Bukan hanya soal mental, tetapi keseluruhan kehidupan manusia berubah karena perkembangan teknologi internet ini. Sebab, media sosial tak hanya jadi konsumsi orang dewasa, tapi juga anak-anak kena imbasnya.

Berbagai penelitian soal kontrol penggunaan media sosial sudah sering dikemukakan. Mulai dari screen limit, deactive account hingga delete account. Semua demi mengurangi efek jangka panjang dari media sosial sedari dini. Namun apakah itu sudah menjadi solusi? Nyatanya di Indonesia sendiri, penggunaan media sosial pada anak-anak serta remaja semakin marak dan mengkhawatirkan.

Jika segala macam upaya telah dilakukan dari keluarga, tapi tak membuahkan hasil, lantas perlukah pemerintah turun tangan membuat regulasi membatasi media sosial untuk anak di bawah umur?

.Ilustrasi media sosial/ Foto: Unsplash/dole777

Strategi Australia Hadapi Masalah Psikologi Remaja

Tak seperti Indonesia yang masih ragu soal ini. Memahami efek buruk jangka panjang media sosial, Australia pun membuat langkah besar untuk membatasi akses media sosial untuk anak-anak. Negeri Wool ini meyakini bahwa regulasi ini menjadi strategi yang sudah melalui berbagai riset.

Menjadi negara pertama yang mengimplementasikan gagasan ini, tentu jadi tantangan untuk mereka melaksanakan regulasi dan mendapat dukungan dari semua pihak. Dikutip dari CNN Indonesia, Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese mengungkapkan regulasi tersebut dalam sebuah acara di New York bertajuk Protecting Children in the Digital Age, yang digelar di sela-sela Sidang Umum PBB.

"Ini memang bukan solusi sempurna, tapi ini adalah langkah penting ke arah yang benar," kata Albanese, Rabu (24/9).

Mulai Januari tahun depan, regulasi usia ini memaksa perusahaan besar seperti Instagram, Facebook, Meta hingga TikTok untuk membatasi anak di bawah umur masuk aplikasi, jika ketahuan melanggar akan dikenakan denda hingga USD 49,5 juta atau sekitar Rp510 juta. Larangan ini akan berlangsung dalam satu tahun.

Aturan tersebut telah disahkan menjadi undang-undang pada November 2024, dan secara efektif menaikkan batas usia pendaftaran akun dari 13 tahun menjadi 16 tahun. Strategi yang digunakan Australia juga menunjukkan keseriusan mereka, bukan hanya hadapi masalah mental, namun juga potensi penyebaran misinformasi, perundungan daring/cyberbullying.

"Tantangan yang kita hadapi terus berkembang, dan tiap negara menanganinya dengan cara berbeda," tambah Albanese.

.Ilustrasi anak main medsos/ Foto: iStock

Tantangan di Berbagai Negara

Sebenarnya wacana untuk menerapkan regulasi ini berlangsung sudah cukup lama, untuk Australia saja perlu waktu. Albanese menilai bahwa meskipun terlambat, namun kebijakan ini jadi langkah yang masuk akal, untuk remaja hadapi fase-fase krusial dalam kehidupan. Untuk kemudian, regulasi tidak hanya jadi formalitas saja namun penerapannya secara langsung.

Langkah ini tentu dapat sorotan internasional, Presiden Uni Eropa, Ursula von der Leyen dalam pidatonya menyambut baik regulasi ini, mengingat dibalik Australia ada negara-negara lain yang punya wacana serupa namun belum terealisasi. Seperti Inggris, Norwegia, Prancis, dan negara lain.

  • Inggris
    Negara yang terkenal dengan liga sepakbola nya yang sangat kompetitif ini memiliki tantangan dalam hadapi keamanan data warganya. Lewat Menteri Digital, Peter Kyle yang menyatakan bahwa Ia telah meluncurkan sebuah penelitian untuk mengeksplorasi dampak penggunaan ponsel cerdas, khususnya pada anak-anak.

    Dia mengatakan bahwa regulator Ofcom harus memperhatikan prioritas pemerintah seperti keamanan berdasarkan desain dan transparansi serta akuntabilitas, saat mereka memberlakukan Undang-Undang Keselamatan Online mulai tahun depan, yang menerapkan aturan standar yang ketat dalam akses platform media sosial.

  • Norwegia
    Menurut data pemerintah, setengah dari anak usia sembilan tahun di Norwegia menggunakan beberapa bentuk media sosial. Untuk hadapi itu, ada undang-undang yang sedang dibahas, tentang batas minimum yang sah secara hukum untuk penggunaan media sosial, namun kini, undang-undang belum menemui titik terang untuk akhirnya sampai parlemen.

  • Prancis
    Tantangan teknis dihadapi Prancis, undang-undang baru yang disahkan pada tahun 2023 tentang mewajibkan setiap anak di bawah umur 15 tahun untuk mendapatkan izin dari orang tua untuk membuat akun. Aturan ketat disarankan juga oleh Presiden Emmanuel Macron, tentang larangan ponsel untuk anak di bawah 11 tahun dan ponsel dengan internet untuk anak di bawah 13 tahun, tentu belum jelas kapan undang-undang tersebut akan terlaksana.

Masih Jauh dari Sepakat

Sebenarnya aturan tentang pembatasan umur ini sebenarnya sudah berlaku tentang larangan anak di bawah 13 tahun dalam membuat akun seperti Instagram, Facebook, dan X. Namun, wacana tentang pembatasan umur yang lebih ketat ini belum juga menemui titik terang, pembahasan mengenai klasifikasi berdasarkan risiko rendah, sedang, dan tinggi juga perlu dikaji lebih lanjut.

Keterlibatan berbagai pihak untuk menyelaraskan tujuan ini juga harus mengacu pada UU Perlindungan Anak, perlunya kolaborasi antara negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua. Seperti pemerintah yang memiliki tugas untuk menertibkan konten yang tersebar, seperti kandungan pornografi dan judi online. Selain itu, wacana regulasi ini juga perlu mempertimbangkan dengan cermat kepentingan terbaik anak.

"Bukan sekadar membatasi, tetapi juga melindungi mereka dari risiko di dunia digital tanpa menghilangkan hak mereka untuk berekspresi dan belajar. Keamanan dan kepentingan terbaik anak harus menjadi prioritas utama dalam penyusunan kebijakan ini," ujar Woro Srihastuti Sulistyaningrum, selaku Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kemenko PMK.

Selagi pemerintah masih ragu dalam penerapannya, peran orang tua sangat penting menjadi garda terdepan meminimalisir penggunaan media sosial pada anak dan remaja. Ditambah orang tua juga mesti punya literasi perihal budaya media sosial hingga bahaya yang ada bila kecanduan media sosial.

Jangan sampai dalam satu rumah tidak ada yang benar-benar kompeten membatasi kemajuan teknologi yang terlalu cepat ini.


Penulis: Muhammad Ridho Fachrezi
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS