Kasus meninggalnya mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Udayana (Unud), Timothy Anugerah menjadi perhatian khusus. Bagaimana tidak, ia merupakan korban penindasan atau bullying dari sesama mahasiswa kampusnya, setelah Timothy mencoba mengakhiri hidupnya. Hal ini membuat netizen marah dan mengecam pelaku pembullyan dikeluarkan dari Unud.
Belum 'kering' duka yang dirasakan keluarga Timothy, ada lagi pemberitaan tentang ledakan bom molotov yang terjadi di mushola SMAN 72 Kelapa Gading saat sedang melaksanakan Salat Jumat oleh seorang siswa. Akibatnya 54 siswa menjadi korban dari ledakan tersebut dan pelaku diduga melakukan aksinya karena sakit hati menjadi korban bully di sekolahnya.
Dua kasus tersebut menjadi bukti nyata bahwa ada yang tidak beres dengan sistem pendidikan kita yang tidak ramah bagi kesehatan mental. Jurnal dari Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) mencatat 3.800 kasus bullying di Indonesia, 34% di antaranya terjadi di pendidikan formal atau sekolah.
Survei dari Global School‑based Health Survey (WHO) menemukan 20.6% siswa Indonesia usia 13-17 tahun mengalami bullying di lingkungan sekolah atau media sosial. Adanya teknologi canggih seperti media sosial, perilaku bullying semakin meluas dan dikenal dengan istilah cyberbullying.
Lantas apa yang menyebabkan bullying sulit dihilangkan dari dunia pendidikan Indonesia?
Ilustrasi bully di sekolah/ Foto: Pexels |
Penyebab Bullying di Dunia Pendidikan
Perilaku bully sendiri tidak serta-merta muncul dengan sendirinya dari dalam diri seseorang. Ada beberapa penyebab yang membuat perilaku ini terus berulang tanpa ada penyelesaian, malah justru menjadi-jadi. Berikut beberapa penyebabnya:
- Tekanan dari Keluarga
Tekanan ini bisa terjadi dari gengsi orang tua yang mendorong anaknya untuk belajar lebih keras demi ranking, masuk sekolah favorit dan beasiswa. Banyak kejadian anak-anak pintar yang memilih mengakhiri hidup akibat dari tekanan keluarga yang tidak puas akan pencapaian prestasinya.
Contohnya kasus di Siswi SMP di Blitar, Jawa Timur. Berdasarkan berita dari Kompas.com siswi tersebut melakukan bunuh diri akibat ditolak zonasi SMA favoritnya. Sang ibu sempat menuturkan keresahan anaknya yang takut tidak bisa seperti kakak-kakaknya yang berhasil keterima di SMA favorit tersebut. - Tekanan dari Akademis
Adanya peringkat dan rata-rata nilai menambah tekanan bagi murid. Berdasarkan Jurnal Konseling dan Pendidikan dengan judul The pressure of academic stress and self-efficacy among student menunjukkan bahwa variabel efikasi diri berhubungan negatif dengan stres akademik. Artinya siswa yang merasa kurang percaya diri lebih rentan terhadap stres akademik.
Seperti contoh di Skotlandia mahasiswa bernama Ethan Scott Brown. Pada Desember 2024, ia tega melakukan bunuh diri pada hari kelulusannya. Motif mahasiswa berusia 23 tahun ini karena kekurangan kredit pada skor nilainya. Padahal, ia memang layak lulus. - Tekanan dari Teman Sekolah dan Kampus
Pemicu gangguan mental sendiri tidak hanya dari akademis dan keluarga, lingkungan pertemanan bisa menjadi pemicunya. Faktor terjadinya karena adanya pembullyan. Rentannya pembullyan ini disebabkan karena tekanan sosial dan pengaruh media sosial.
Studi di Journal of Adolescent Health pada tahun 2022 menunjukkan bahwa remaja yang sering dibandingkan atau diejek oleh teman lebih berisiko dua kali lipat mengalami depresi. Contoh terbaru adalah meninggalnya mahasiswa Unud di Bali bernama Timothy Anugerah yang mengakhiri hidupnya dengan terjun dari gedung kampusnya akibat di-bully oleh teman-teman kampusnya.
Ilustrasi bully/ Foto: Pexels |
Upaya Penanganan Kesehatan Mental
Ketika masa sekolah orang tua kita dulu, mungkin kesehatan mental bukan perihal yang utama saat mengenyam pendidikan. Namun di era modern seperti sekarang ini, posisi kesehatan mental menjadi hal utama yang mesti didahulukan. Bukan sebagai alasan melemahkan semangat para siswa tapi justru mental yang sehat akan membuahkan hasil penyerapan ilmu yang optimal.
Oleh sebab itu, dukungan sosial dari pendidik dan orang tua sangat membantu memahami mental murid, terutama adanya guru bimbingan konseling (BK) dan psikolog. Kedua unsur ini sangat membantu para siswa di sekolah karena dapat mengedukasi kesehatan mental di lingkungan pendidikan. Adanya guru BK dan psikolog juga harus dibantu oleh pimpinan pendidik seperti dekan, rektor dan kepala sekolah.
Selain itu, peran orang tua di rumah juga efektif dalam kesehatan mental. Seperti memberikan dukungan yang lebih dan mengetahui kapasitas anak dalam belajar adalah hal paling penting. Bagaimanapun anak juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dan punya batasan dalam menyerap pelajaran.
Orang tua dan pendidik juga harus bisa bersinergi dalam mendukung kesehatan mental anak. Seperti saling berkomunikasi dalam memberikan solusi yang terbaik bagi anak selama menjalani masa pendidikan.
Krisis kesehatan mental di dunia pendidikan bukan sekadar isu individu, tetapi merupakan persoalan sistemik yang dipengaruhi oleh tekanan akademik, lingkungan sosial sekolah, serta tuntutan keluarga dan masyarakat. Dampaknya tidak hanya terlihat pada performa belajar, tetapi juga pada kesejahteraan emosional, hubungan sosial, hingga keselamatan jiwa para siswa. Karena itu, pendidikan tidak seharusnya hanya berfokus pada capaian nilai dan prestasi, melainkan juga pada pembentukan lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan manusiawi.
Sekolah, guru, orang tua, dan pemerintah perlu bergerak bersama untuk menciptakan ruang dialog, menyediakan akses pendampingan psikologis, serta menormalisasi pembicaraan tentang kesehatan mental. Upaya kecil seperti mendengarkan, memberi ruang istirahat, atau sekadar mengakui perasaan siswa dapat menjadi langkah awal yang membawa perubahan besar.
Pada akhirnya, pendidikan yang ideal bukan hanya membentuk murid yang cerdas, tetapi juga bahagia, sehat, dan mampu mencintai dirinya sendiri.
Penulis: Monika Wibisono Putri
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Ilustrasi bully di sekolah/ Foto: Pexels
Ilustrasi bully/ Foto: Pexels