Insight | General Knowledge

Ledakan di SMAN 72 Jakarta dan Refleksi Kolektif Dunia Pendidikan

Selasa, 11 Nov 2025 16:01 WIB
Ledakan di SMAN 72 Jakarta dan Refleksi Kolektif Dunia Pendidikan
Terjadi Ledakan di SMAN 72 Jakarta akibat bom rakitan yang dibuat oleh salah satu murid di sekolah tersebut. Foto: CNN Indonesia
Jakarta -

Suara ledakan tiba-tiba memecah keheningan siang di Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Jumat (7/11) siang, sekitar pukul 12.00 WIB di SMA Negeri 72 Jakarta. Suasana yang tadinya hening, mendadak berubah menjadi kepanikan massal. Asap tebal terlihat membubung dari arah masjid sekolah, tempat para siswa tengah bersiap menunaikan Salat Jumat.

Ruang-ruang kelas yang biasanya dipenuhi tawa dan keceriaan kini menjadi saksi bisu atas luka, ketakutan, dan trauma yang tak akan mudah hilang dari ingatan siapa pun yang ada di sana. Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri menjelaskan, ledakan terjadi saat ibadah Salat Jumat tengah berlangsung. Ia menyebut peristiwa itu terjadi tepat ketika khotbah sedang disampaikan.

"Pas sudah khotbah ya, sudah khotbah," ujar Asep, dikutip dari Detik.com.

Sedikitnya 54 siswa dilaporkan terluka, 33 siswa di antaranya masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Polisi memastikan ledakan tersebut berasal dari bom rakitan yang dibawa oleh seorang siswa berusia 17 tahun.

Sejumlah sumber dan laporan media menyebut bahwa pelaku diduga mengalami tekanan sosial serta menjadi korban perundungan di sekolahnya. Saat ini, aparat kepolisian tengah mendalami motif dan kondisi psikologis pelaku, sembari memastikan keamanan seluruh siswa dan stabilitas lingkungan pendidikan pasca insiden memilukan ini.

.Ilustrasi anak sekolah./ Foto: Freepik

Sekolah Tak Lagi Jadi Tempat Aman

Seorang siswa SMAN 72 Jakarta-yang tak mau disebutkan namanya-mengungkapkan dugaan bahwa pelaku merupakan korban perundungan di lingkungan sekolahnya. Ia menjelaskan bahwa keseharian pelaku dikenal tertutup, lebih banyak menghabiskan waktu sendirian, dan jarang berinteraksi dengan teman-teman sekelas.

"Selama ini dengar kalau dia pernah di-bully. Dia juga terkenal pendiam. Dia sering di kelas aja," ujarnya.

Peristiwa ini mengguncang kesadaran banyak orang. Sebab ledakan itu bukan hanya merusak bangunan fisik, tetapi juga menghancurkan rasa aman. Tempat yang seharusnya menjadi fondasi utama di dunia pendidikan, seketika menjadi tempat paling tidak aman saat ini.

Sekolah, yang idealnya menjadi ruang tumbuh dan berlindung, kini menghadirkan trauma kolektif yang membekas di benak para siswa dan orang tua. Bukan hanya bagi siswa yang menjadi korban peristiwa ini, tapi juga bagi pelaku yang diduga menjadi korban bully, sehingga melakukan aksi nekat tersebut.

Tim psikolog pun telah diterjunkan untuk membantu keluarga korban dan para guru dalam menghadapi dampak psikologis pasca ledakan. Langkah ini menjadi bagian penting dari upaya pemulihan pasca trauma yang melanda orang-orang di lingkungan sekolah.

"Pendampingan ini kami lakukan agar keluarga korban dan para guru bisa mengelola stres dan rasa takut setelah kejadian. Kami ingin memastikan mereka mendapatkan dukungan emosional dan psikologis yang dibutuhkan," ujar Kepala Bagian Psikologi Biro SDM Polda Metro Jaya, AKBP Ida Bagus Gede Adi Putra Yadnya.

Dari ruang kelas hingga rumah sakit, kisah ini mencerminkan masalah yang jauh lebih kompleks, yaitu krisis empati di dunia pendidikan kita. Banyak siswa yang datang ke sekolah bukan hanya membawa buku, tetapi juga membawa beban dari tekanan akademik, konflik sosial, hingga perundungan yang tak tampak mata.

Kasus ini menjadi potret getir dari sistem yang sering kali hanya menilai murid dari nilai, bukan dari kesejahteraan mentalnya. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Komisioner KPAI Diyah Puspitarini mengungkapkan, bahwa sepanjang tahun 2025 tercatat 25 anak di Indonesia mengakhiri hidupnya, dan sebagian besar kasus tersebut dipicu oleh tindakan bullying, termasuk yang terjadi di lingkungan sekolah.

Sementara itu, hasil survei Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental, dan satu dari dua puluh remaja tercatat memiliki gangguan mental dalam kurun waktu 12 bulan terakhir pada tahun tersebut.

Dalam konteks ini, tragedi di SMA Negeri 72 Jakarta bukan sekadar kasus kriminal yang menggemparkan publik, melainkan sebuah alarm sosial yang mengguncang kesadaran kita bahwa betapa mudahnya sekolah, sebagai ruang tumbuh dan belajar, gagal membaca tanda-tanda kesepian, tekanan, dan luka batin di balik wajah-wajah ceria para pelajarnya.

Peristiwa ini menyadarkan bahwa rasa aman bukan sekadar hasil pagar tinggi atau CCTV di setiap sudut, melainkan suasana batin yang tercipta ketika anak tahu bahwa sekolah adalah tempat ia diterima sepenuhnya. Ketika tidak ada lagi kondisi yang dijadikan bahan olok-olok atau kemarahan yang dibiarkan membusuk dalam diam.

Kini di SMA 72 Jakarta, bekas ledakan menjadi saksi betapa rapuhnya ruang aman yang kita bangun. Namun, di balik bekas itu, ada peluang untuk menata ulang sistem yang lebih peka, lingkungan yang lebih hangat, dan manusia yang lebih peduli. Barangkali, luka yang kita rasakan beberapa hari ini bukan hanya milik satu sekolah, melainkan luka kolektif yang menuntut penyembuhan dan refleksi bersama.

Sejatinya pendidikan bukan sekadar proses menanam pengetahuan, melainkan upaya menjaga kemanusiaan agar tetap hidup di tengah segala tekanan. Kita diingatkan kembali, bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar tentang dunia, tetapi juga tempat belajar menjadi manusia. Pada akhirnya dari luka yang terasa hari ini, beranikah kita menata ulang cara kita memperlakukan dan memahami sesama?


Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS