Insight | General Knowledge

ICSF 2025: Merespon Demokrasi Indonesia yang Kini Bergantung pada 'Tali Tipis'

Senin, 10 Nov 2025 16:00 WIB
ICSF 2025: Merespon Demokrasi Indonesia yang Kini Bergantung pada 'Tali Tipis'
Konferensi pers Indonesia Civil Society Forum (ICSF) Nasional 2025 di Hotel Aryaduta Menteng, Jakarta (Kamis, 6/11/2025). Foto: Istimewa
Jakarta -

Indonesia Civil Society Forum (ICSF) Nasional 2025 kembali digelar di Jakarta pada 5-6 November 2025 kemarin. Mengumpulkan lebih dari 250 perwakilan organisasi masyarakat sipil dari 31 provinsi, ICSF 2025 mencoba menghadirkan respon kolektif terhadap penyempitan ruang sipil dan menurunnya kualitas demokrasi Indonesia kiwari.

Mengusung tema "Membela Demokrasi, Menuntut Keadilan: Menaut Gerak Masyarakat Sipil", ajang keenam ICSF sejak perdana dihelat 2018 silam mencakup rangkaian acara yang lebih luas. Mulai dari rangkaian ICSF Regional di tiga kota—Pontianak, Bandung, dan Mataram—serta Forum Konsolidasi Gerakan Muda yang akan digelar pada 29 November 2025.

Demokrasi Indonesia dalam Status "Cacat"

ICSF 2025 diselenggarakan oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), PeaceGeneration Indonesia, dan Pamflet Generasi.

Penyelenggaraan ICSF tahun ini lantas dilatarbelakangi kondisi demokrasi Indonesia yang terpantau mengalami kemerosotan drastis dalam rentang satu dekade terakhir.

Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) 2025, Indonesia berada dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracy) dengan skor 6,44 dari skala tertinggi 10 pada 2024. Sementara itu, Freedom House menurunkan peringkat Indonesia dari "bebas" (free) menjadi "setengah bebas" (partly free) dalam periode 2014-2024.

"Proses demokrasi kita tidak baik-baik saja. Semakin menyempitnya ruang-ruang sipil, partisipasi bermakna kelompok masyarakat sipil juga semakin tidak terbuka secara luas," ujar Rokhmad Munawir, Head of Programme YAPPIKA, dalam konferensi pers di Hotel Aryaduta Menteng, Jakarta.

Penilaian CIVICUS tahun 2024 juga menunjukkan ruang sipil di Indonesia terus menyusut dengan status "terhalangi" (obstructed). Bahkan, Varieties of Democracy (V-Dem) menempatkan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga yang mengalami otokrasi pada 2023, hingga hampir jatuh dari kategori electoral democracy ke electoral autocracy pada 2024.

Geliat Sipil di Masa 'Legalisme Otokratik'

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyoroti fenomena "legalisme otokratik" yang kini mengancam demokrasi Indonesia.

"Poin dari otokratik legalisme itu adalah bagaimana demokrasi diubah menjadi otokratisme, tetapi warganya tidak merasa bahwa demokrasinya sudah mati. Kenapa tidak merasa? Karena semua dilakukan secara legal," tutur Bivitri.

Ia menjelaskan bahwa institusi-institusi demokrasi formal seperti DPR telah kehilangan fungsi pengawasannya. "Yang tersisa menurut saya adalah demokrasi kita, hanya masyarakat sipil. Demokrasi itu sudah bergantung pada tali tipis—dan tali tipis itu adalah masyarakat sipil," tegasnya.

Bivitri juga mengidentifikasi lima bentuk tekanan terhadap masyarakat sipil: tekanan fisik, tekanan hukum, tekanan digital melalui patroli siber, tekanan administratif, dan yang terbaru, intimidasi melalui narasi. Yakni pelekatan label 'antek asing' atau 'tindakan makar' terhadap masyarakat yang mencoba mengkritik pemerintah.

Febrilia Ekawati, Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Way Seputih, yang juga mewakili organisasi masyarakat sipil dari daerah di luar Jakarta, menambahkan tantangan yang kini tengah dihadapi para aktivis.

"Kami dan kawan-kawan aktivis dari Sumatera hingga tanah Papua kerap merasakan intimidasi dan tekanan langsung dari berbagai pihak, terutama dari aparat maupun kepentingan bisnis yang dapat mengancam lingkungan ataupun hak masyarakat adat," ungkapnya.

Menautkan Gerakan Lintas Generasi

Salah satu fokus utama ICSF 2025 adalah menjembatani kesenjangan antargenerasi aktivis. Ilham Saenong, Program Development Manager Civic Rights in Digital Age Yayasan Humanis, menekankan pentingnya menghubungkan gerakan digital yang dimotori anak muda dengan gerakan grassroots yang lebih terstruktur.

"Battle baru kita memang mengarah ke dunia digital dan media sosial. Kelompok-kelompok muda bisa memobilisasi aksi dan protes melalui seruan di media, seperti 'Indonesia Darurat' dan 'Indonesia Gelap'," kata Ilham.

Namun, ia mengingatkan, "Gerakan digital tidak bisa berhenti di online saja. Harus juga dianalisis menjadi gerakan yang lebih terstruktur dan bersambung dengan grassroots."

Munawir menambahkan, "Sebuah gerakan masyarakat sipil di zaman dulu dengan zaman sekarang mungkin berbeda caranya, tetapi tujuannya akan sama. Di forum inilah ketika ketemu, saling belajar antara lintas generasi itu menjadi penting."

Membangun Narasi Alternatif dan Aksi Kolektif

ICSF 2025 menocba merespons tantangan dengan dua pendekatan konkret. Pertama, mengembangkan narasi alternatif untuk mengatasi polarisasi dan pemburukan citra aktor masyarakat sipil yang dikembangkan oleh negara dan kekuatan anti-perubahan. Kedua, menyambungkan aksi-aksi yang difasilitasi media sosial dengan upaya penyadaran, pengorganisasian, dan pemberdayaan di tingkat basis agar nafas gerakan lebih panjang dan tuntutan perubahan lebih mendasar.

"Kami berkomitmen memperkuat solidaritas masyarakat sipil, membangun kapasitas kolektif dalam membela ruang sipil, menciptakan platform dialog konstruktif antar gerakan sosial, dan mendorong regenerasi kepemimpinan yang dapat memastikan keberlanjutan perjuangan demokratis," tegas Ilham.

Selama dua hari, ICSF Nasional 2025 mengadakan 10 sesi tematik diskusi yang mencakup isu kepemimpinan organisasi masyarakat sipil (CSO), lingkungan, hak asasi manusia, hukum, civic space, pemberdayaan perempuan, dan aksi kolektif. Para peserta berasal dari 15 sektor fokus isu yang berbeda, mewakili ekosistem masyarakat sipil Indonesia yang beragam.

Strategi Bertahan di Tengah Risiko

Menghadapi tantangan dan risiko yang nyata, para aktivis sepakat bahwa mitigasi risiko, jaringan yang kuat, dan publikasi luas menjadi kunci strategi bertahan. "Rasa takut itu harus dimitigasi, bukan membuat kita tidak bergerak," ujar Bivitri.

Ia menegaskan pentingnya terus bersuara meskipun menghadapi risiko. "Apa yang mesti dilakukan ya terus-menerus bawel. Kalau kita tidak setuju Soeharto jadi pahlawan, ya dibicarakan. Mungkin kita kalah. Kebanyakan kita kalah. Tapi kalau kita selalu menghitung kalah dan menang, ya kita sudah kalah dari 20 tahun yang lalu."

Febrilia menambahkan pentingnya konsolidasi berkelanjutan. "Konsolidasi harus terus dilakukan berjenjang. Bila perlu setiap bulan atau tiga bulan tanpa harus bertemu secara langsung. Kita butuh kader-kader baru yang terus diberikan pengetahuan dan peningkatan kapasitas."

Platform Kolaboratif untuk Masa Depan Demokrasi

ICSF 2025 bukanlah acara seremonial, melainkan wadah untuk merajut kembali solidaritas gerakan masyarakat sipil melalui aksi yang nyata dan berkelanjutan. Forum ini menjadi tempat pertemuan berbagai elemen ekosistem masyarakat sipil untuk saling menguatkan; berbagi sumber daya dan membangun strategi bersama.

"ICSF ini menjadi ekosistem raya bagi gerakan masyarakat sipil. Kami berharap dari catatan kritis ini bisa terlahir agenda bersama yang mampu mendorong terciptanya kebijakan yang lebih adil sekaligus membuka kanal dialog yang setara dengan pemerintah," tutup Munawir.

Dengan melibatkan generasi muda yang cakap teknologi dalam aktivisme digital, mobilisasi media sosial, dan inisiatif teknologi sipil untuk akuntabilitas, ICSF 2025 menaruh harapan pada regenerasi kepemimpinan yang dapat memastikan keberlanjutan perjuangan demokratis Indonesia. Forum Konsolidasi Gerakan Muda yang akan digelar akhir November menjadi langkah konkret untuk mewujudkan hal tersebut.

(RIA)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS