Insight | General Knowledge

Dari Influencer Jadi Aktivis: Cara Baru Gerakan Demo ala Gen Z

Kamis, 09 Oct 2025 17:02 WIB
Dari Influencer Jadi Aktivis: Cara Baru Gerakan Demo ala Gen Z
Para influencer dan aktivis berkumpul di depan DPR/MPR untuk 17+8 Tuntutan Rakyat. Foto: Detikcom
Jakarta -

Nama influencer Jerome Polin, Ferry Irwandi, Da Lopez bersaudara hingga vokalis Reality Club Fathia Izzati atau Chia pasti sudah familiar terdengar di telinga kita. Mereka ikut demo di depan DPR/MPR. Dalam tuntutan, mereka menamai "17+8 Tuntutan Rakyat".

Sebelum turun ke jalan, mereka juga mulai mengunggah di media sosial tuntutan-tuntutan rakyat ke DPR karena dinilai gaya hidup dan rancangan undang-undang (RUU) yang DPR lakukan merugikan rakyat. Unggahan-unggahan mereka tentang keresahan negeri ini menjadikan pengaruh bagi anak muda untuk melek dengan kondisi perpolitikan dalam negeri.

Jika melihat sejarah, aksi demonstrasi di Indonesia sejak lama identik dengan tokoh mahasiswa, serikat buruh, dan organisasi masyarakat. Pada era Orde Baru hingga Reformasi 1998, demo biasanya digerakkan lewat jaringan organisasi kampus atau serikat pekerja.

Namun satu dekade terakhir, pola ini mengalami pergeseran besar. Teknologi digital, khususnya media sosial, telah mengubah cara sebuah gerakan dimulai dan berkembang. Jika dulu massa perlu digerakkan lewat selebaran, rapat koordinasi, atau orasi lapangan, kini cukup lewat satu unggahan viral di TikTok, Instagram, atau X (Twitter). Informasi menyebar lebih cepat, dan ajakan demo bisa meluas hanya dalam hitungan jam.

Di sinilah peran influencer masuk. Mereka bukan lagi sekadar pembuat konten hiburan atau gaya hidup, tetapi juga bisa menjadi penghubung isu publik dengan audiens muda. Dengan jutaan pengikut, influencer memiliki kemampuan untuk membuat sebuah isu terasa dekat, personal, bahkan mendesak.

[Gambas:Instagram]

Cara menyuarakan para influencer ini terbilang tidak terlalu kaku. Ada yang menggunakan narasi santai ada juga yang menggunakan parodi. Narasi santai ini dilakukan oleh Jerome Polin. Isi Instagram-nya menyuarakan keresahannya dengan pemerintah saat itu. Dirinya pun tidak mempermasalahkan menerima hujatan dari netizen karena melenceng dari branding influencernya yang tidak pernah membahas politik.

Lain lagi dengan Leyla Aderina, influencer yang menggunakan parodi satir untuk menyuarakan protes ke pemerintah Leyla Aderina. Ia dan suaminya Aldo Gustino serta teman sesama influencer, Aulion dan Ganta menggunakan momen ini dengan membuat parodi satir. Hal ini terlihat menyenangkan padahal topiknya cukup serius menyindir pejabat.

[Gambas:Instagram]

Pergeseran medium demo dulu dengan sekarang karena perkembangan teknologi informasi. Ini dibuktikan dari jurnal penelitian tentang "Online Petition as a Form of Citizen Participation in the Digital Age", penyebaran informasi secara dinamis mengacu pada proses berbagi informasi yang dilakukan secara interaktif, di mana masyarakat dan aparatur pemerintah sama-sama terlibat aktif. Melalui komunikasi dua arah, warga tidak hanya menerima informasi, tetapi juga dapat mengajukan pertanyaan, memberi tanggapan, serta berpartisipasi langsung dalam percakapan publik.

Dampak Negatif Perubahan Image Secara Mendadak

Walaupun begitu, tidak hanya dampak positif yang dirasakan tapi juga ada dampak negatifnya. Ini dijelaskan di buku karangan Nicholas Nicoli dan Petros Iosifidis yang berjudul "Digital Democracy, Social Media and Disinformation". Banyak oknum buzzer yang menggunakan gerakan demo ini dengan menyebarkan huru-hara hoaks tentang berita demo.

Kalau pengguna media sosial tidak cek ricek berita, kemungkinan akan mudah percaya informasi dari buzzer ini. Hal ini bisa memecah belah suara demokrasi. Salah satu buzzer yang ramai saat demo berlangsung adalah meminta untuk memblokir Bandara Soekarno-Hatta. Hal itu jelas-jelas akan menambah keruh keadaan Indonesia saat itu.

Gerakan sosial hari ini lahir dari ruang digital yang kita kunjungi setiap hari. Dari unggahan lucu, parodi satir, hingga konten edukatif, para influencer dan kreator muda membuktikan bahwa kesadaran politik bisa tumbuh dari cara yang akrab dengan kehidupan mereka. Demo bukan lagi sekadar aksi turun ke jalan, tapi juga bentuk ekspresi kreatif yang menembus batas layar dan menjangkau hati jutaan pengikut.

Namun dibalik semangat itu, tantangan baru juga muncul banjir hoaks, dan manipulasi opini yang menguji kedewasaan publik dalam memilah kebenaran. Inilah pentingnya literasi digital dan sikap kritis agar demokrasi tak hanya jadi tren viral sesaat, melainkan tetap menjadi ruang sehat untuk berpikir, berpendapat, dan berjuang bersama.

Dari influencer hingga aktivis, dari linimasa hingga jalanan, Gen Z telah memberi warna baru pada cara bangsa ini bersuara.

Penulis: Monika Wibisono Putri


*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS