Insight | General Knowledge

Indonesia Disanksi IOC: Ketika Olahraga, Politik, dan Prinsip yang Tak Bisa Ditukar

Jumat, 24 Oct 2025 15:32 WIB
Indonesia Disanksi IOC: Ketika Olahraga, Politik, dan Prinsip yang Tak Bisa Ditukar
International Olympic Committee. Foto: ESPN
Jakarta -

Arena olahraga dunia kembali riuh. Kali ini, Indonesia yang berada di tengah sorotan, setelah Komite Olimpiade Internasional (IOC) menjatuhkan sanksi atas keputusan pemerintah menolak visa bagi atlet Israel yang hendak berlaga di Kejuaraan Dunia Gimnastik 2025 di Jakarta.

Keputusan itu bukan semata persoalan administratif, tetapi pertarungan antara sportivitas global dan prinsip moral bangsa. Dalam pernyataannya di laman resmi, IOC menyebut penolakan visa melanggar atau bahkan merampas hak atlet. Sebelumnya sudah termaktub dalam piagam olimpiade yang menjamin partisipasi tanpa diskriminasi bagi semua atlet.

Badan tersebut juga meminta semua federasi olahraga internasional untuk tidak menggelar event internasional di Indonesia hingga ada jaminan akses bagi semua peserta. Sanksi itu menjadi sinyal tegas bahwa dunia olahraga modern menuntut netralitas absolut, meski realitas politik sering kali berkata lain.
IOC menyatakan menyesalkan keputusan Indonesia dan menilai bahwa prinsip sportivitas harus berdiri di atas semua perbedaan politik dan agama. Namun bagi Indonesia, keputusan itu bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan cerminan dari sikap konstitusional dan moral.

Menteri Pemuda dan Olahraga, Erick Thohir menyampaikan bahwa pemerintah menghormati keputusan IOC, tetapi tidak dapat mengorbankan prinsip nasional demi status tuan rumah.

"Kami menghormati keputusan IOC, tetapi Indonesia punya prinsip yang tidak bisa kami langgar. Ini bukan soal olahraga semata, ini soal sikap bangsa terhadap penjajahan," ujar Erick dalam pernyataannya yang dikutip CNBC Indonesia.

Erick menegaskan, sikap Indonesia selaras dengan Pembukaan UUD 1945, yang menolak segala bentuk penjajahan di atas dunia. Ia juga memastikan bahwa pemerintah tetap akan berdialog dengan IOC dan federasi olahraga dunia untuk memastikan kegiatan atlet nasional tidak terdampak secara langsung.

Cara Nonton Olimpiade Paris 2024 di IndonesiaIOC boikot Indonesia jadi tuan rumah olahraga manapun selama beberapa waktu./ Foto: Wikimedia

Bukan Gestur Politik, Tapi Identitas Moral

Sikap Indonesia terhadap Israel bukan muncul mendadak. Sejak masa Presiden Soekarno, Indonesia telah menegaskan dukungan penuh terhadap kemerdekaan Palestina. Sehingga tidak ada hubungan diplomatik resmi antara Jakarta dan Tel Aviv.

Dukungan itu bukan semata gestur politik, tetapi refleksi dari identitas moral bangsa, yaitu menolak segala bentuk penjajahan. Maka, ketika keputusan penolakan visa kepada atlet Israel diambil, itu bukan semata kebijakan kementerian, melainkan manifestasi dari politik luar negeri yang berakar pada konstitusi.

Indonesia menegaskan bahwa selama Palestina belum merdeka, normalisasi dengan Israel tidak akan terjadi. Di atas kertas, olahraga dianggap bebas dari politik. Namun sejarah membuktikan sebaliknya. Boikot Olimpiade Moskow 1980 oleh Amerika Serikat dan boikot Olimpiade Los Angeles 1984 oleh Uni Soviet menunjukkan bahwa arena olahraga selalu menjadi cermin politik global.

Kini, Indonesia menghadapi ujian serupa, yaitu mempertahankan prinsip kemanusiaan di tengah tekanan lembaga internasional. Dalam konteks ini, tindakan IOC terasa paradoksikal dengan memaksa netralitas, tetapi mengabaikan realitas moral. Apakah benar sportivitas dapat berdiri di ruang steril, sementara ketidakadilan masih berlangsung di dunia nyata?

Standar Ganda Organisasi Olahraga Internasional

Kasus Indonesia juga mengingatkan dunia pada kejadian serupa di Amerika Serikat. Beberapa waktu lalu, sempat dunia olahraga juga sempat riuh karena Washington menolak izin masuk bagi delegasi Iran untuk datang ke United States dalam rangka drawing Piala Dunia 2026 pada Desember nanti. Namun, FIFA tidak menjatuhkan sanksi keras kepada AS.

Kontras ini menyingkap satu hal bahwa standar moral global sering kali lentur terhadap kekuasaan. Negara besar bisa melanggar prinsip tanpa konsekuensi berat, sementara negara yang menegakkan nilai justru dijatuhi sanksi. Dalam konteks ini, Indonesia tidak hanya menghadapi IOC, tetapi juga menghadapi wajah ganda sistem lembaga internasional.

Secara praktis, sanksi IOC membuat Indonesia kehilangan peluang menjadi tuan rumah berbagai ajang olahraga internasional di masa mendatang. Namun di dalam negeri, langkah pemerintah justru menuai dukungan luas. Banyak pihak menilai bahwa Indonesia telah menempatkan moralitas di atas kepentingan jangka pendek.

Beberapa media nasional-Kompas dan Tempo-mencatat bahwa publik menilai langkah ini sebagai keteguhan bangsa terhadap amanat konstitusi 1945. Dalam lanskap dunia yang sering kali pragmatis, Indonesia memilih tetap tegak meski risikonya kehilangan posisi di panggung olahraga global.

Keputusan IOC mungkin membuat Indonesia kehilangan kesempatan, tapi bukan kehilangan arah. Dalam situasi di mana banyak negara memilih diam demi stabilitas diplomatik, Indonesia justru menunjukkan bahwa prinsip kemanusiaan tidak bisa ditawar.

Barangkali dunia akan melupakan siapa yang memenangkan kejuaraan gimnastik tahun ini, tapi sejarah akan mencatat siapa yang berani sendirian mempertahankan prinsip bangsa.

Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS