Insight | General Knowledge

Kala Buku Dituduh Jadi 'Penjahat' yang Paling Berbahaya

Rabu, 15 Oct 2025 16:00 WIB
Kala Buku Dituduh Jadi 'Penjahat' yang Paling Berbahaya
Ilustrasi buku Foto: iStock
Jakarta -

Benda ini tak membuat seorang berdarah, tak juga menjadikan bangunan terbakar, tapi mungkin mengganggu pagar kekuasaan, dengan memberi suatu pikiran kritis, mengutarakan kebenaran, hingga perlawanan kepada ketidakadilan. Buku, benda kecil berisikan pemikiran atau imajinasi dari seorang penulis, kini tertuduh jadi 'penjahat' yang paling bengis, merusak, dan tak layak 'hidup'.

Setidaknya hal itu terbukti pasca demonstrasi kemarin, contohnya, polisi gencar menangkap demonstran: lebih dari 900 orang dengan barang bukti, setidaknya ada tiga: batu, molotov, hingga buku. Padahal secara tingkat persentase kerusakan yang bakal ditimbulkan buku tak lebih berbahaya dibanding batu dan molotov.

Ia hanya berisikan lembaran-lembaran teks, tapi acapkali akhirnya buku tetap disejajarkan sebagai barang-barang yang memotivasi kekerasan atau bahkan senjata kejahatan. Lalu pertanyaan lanjutannya, kalau buku saja masih dicap 'senjata kejahatan', bagaimana dengan perpustakaan, apakah akan ditetapkan menjadi sarang kejahatan? Lalu penjual buku adalah penyebar kejahatan?

.Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya / Foto: Gramedia

Korban yang Tak Punya Hak Suara

Buku selalu menjadi momok menakutkan bagi suatu rezim, terutama rezim otoritarian. Di Indonesia sendiri kita pernah mengalami fase di mana buku menjadi barang terlarang, semacam narkoba; kamu memiliki kamu ditangkap. Buku-buku terlarang itu, misalnya, Madilog dari Tan Malaka dan Tetralogi Pulau Buru dari Pramoedya yang menjadi langganan penyitaan. Sekiranya itu yang terjadi pada rezim orde baru.

Lebih lagi, buku selalu menjadi langganan incaran dalam upaya penghancuran. Misalnya, yang terjadi pada 2003, perpustakaan-perpustakaan Baghdad, Irak, yang menyimpan arsip nasional bahkan sejarah dunia menjadi korban sasaran militer Amerika. Membuktikan buku bisa lebih menakutkan dari benda-benda tajam bahkan infanteri sekalipun.

Era reformasi saat ini pun tak membuat aksi-aksi menganaktirikan buku telah direduksi. Penyitaan, pembredelan, hingga cap memiliki buku tertentu sebagai 'tindakan kejahatan' masih marak terjadi di tengah iklim demokrasi kita, yang mana seharusnya kebebasan alam pikir dipenuhi dan dijunjung setinggi mungkin. Tapi kenyataannya dalam kasus silam ada puluhan bahkan ratusan buku dideretkan bersama batu dan molotov sebagai barang bukti "kejahatan".

Jika saja buku masih mendapat playing victim, bagaimana keadilan dan demokrasi bisa terejawantah dengan semestinya? Seperti yang ditulis Fernando Baez dalam buku Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa, buku adalah parit-parit ingatan, dan ingatan dasar bagi perjuangan keadilan dan demokrasi. Maksudnya, kiwari buku sudah harus menjadi barang keseharian kita untuk mengingatkan pada suatu peristiwa kelam agar tak terulang kembali di kemudian hari, seperti penghancuran buku.

Masalah Lain Buku yang Tak Pernah Diselesaikan

Di tengah pemberedelan terhadap buku, masih banyak permasalahan lain yang tak juga mendapatkan perhatian lebih oleh pemangku kebijakan, atau setidaknya sekali soal ini dibicarakan di panggung besar, seperti pada rapat-rapat nasional. Hingga masalah ini semakin mengkhawatirkan, membuat buku menjadi barang yang sulit untuk berdampingan di keseharian kita, karenanya:

  1. Pajak Kertas dan Biaya Produksi Tinggi
    Harga kertas dan beban pajak impor di kisaran 5-10% (Kemenperin), membuat biaya produksi dan harga jual buku melambung tinggi. Membuat banyak judul buku 2-3 lipat lebih mahal dibanding negara tetangga-tak dijangkau oleh kelas menengah ke bawah kita. Akibatnya, pasar buku menjadi niche dan volume cetak kecil sehingga siklus ekonomi penerbit tak efisien. Saya jadi teringat untuk membeli satu buku Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa harus mengeluarkan biaya Rp190 ribu. Fantastis!
  2. Pembajakan Merajalela
    Saat ini dengan maraknya loka pasar dan fotokopi ilegal membuat buku bajakan mudah diakses-sebuah industri bayangan yang merugikan penulis, editor, dan penerbit. Praktik ini bukan sekadar etika konsumen; ia melemahkan ekosistem ekonomi kreatif yang membutuhkan biaya berkelanjutan untuk riset, terjemah, dan distribusi. Tanpa penegakan hukum yang konsisten, pembajakan akan terus menjadi solusi murah bagi pembaca sekaligus bencana bagi industri.
  3. Distribusi Literasi Minim
    Masalah ini utamanya diderita oleh kaum sub-urban: perpustakaan umum kurang terintegrasi, jaringan distribusi mahal, dan stok penerbit kadang tak tersebar merata-membuat akses literasi jadi soal logistik, bukan hanya permintaan. Infrastruktur dan pendanaan lokal harus dipenuhi. Maksudnya, tanpa literasi nasional antar wilayah akan timpang.

  4. Daya Baca Rendah
    Masalah daya rendah baca adalah akumulasi dari permasalahan di atas, ini menjadi pekerjaan rumah kita. UNESCO menyatakan minat baca masyarakat Indonesia buruk, yakni hanya 0,0001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Lainnya, menurut riset Central Connecticut State University (2016), Indonesia berada peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Di bawah Thailand (59) dan di atas Botswana (61). Maksud saya, menyalahkan buku sebagai 'biang kejahatan' menutupi akar struktural yang sesungguhnya diperbaiki, dalam hal ini minat baca.

Dari semua permasalahan itu akibatnya buku menjadi barang yang langka. Maksudnya, di Indonesia hanya orang tertentu saja yang rela menghabiskan sebagian uang gajinya untuk membeli buku. Daya beli masyarakat kita terhadap buku berada di urutan bawah termasuk membacanya. Maksud saya, apakah ada buku di wishlist keranjang oranye kamu?

.Madilog - Tan Malaka/ Foto: Gramedia

Bukan Ancaman, Melainkan Solusi

Kiwari bukan lagi saatnya kita takut terhadap sebuah tulisan termasuk buku. Berapa banyak manfaat yang disebar oleh buku bahkan ia dapat dikatakan tonggak pada suatu peradaban. Dalam iklim demokrasi justru butuh buku sebagai ruang kritik dan gagasan alternatif, bukan sebagai dalih 'senjata kejahatan', yang mana semakin mendestruktifkan daya literasi pada masyarakat.

Masyarakat modern yang mengalami berbagai masalah realitas terutama dalam gangguan mental-buku dapat menjadi pelipur minimalis dan terjangkau. Melalui cerita dan pengalaman orang lain yang ditulis dapat meredakan emosional kita. Maksud saya, kamu pasti pernah saat membaca buku lalu bilang "oh ternyata yang seperti ini bukan saya saja".

Bahkan tren global, praktik bibliotherapy diakui mampu membantu pasien depresi dan gangguan kecemasan, membuktikan bahwa buku justru bisa jadi alat penyembuh, bukan ancaman. Lebih jauh, dalam tangkapan sejarah di belahan dunia lain, di Mexico tahun 90-an buku menjadi sumber utama membangun masyarakat desa, misalnya, meningkatkan melek huruf masyarakat.

Perpustakaan-perpustakaan pun berdiri kokoh yang membantu memperkaya kehidupan kultural kaum tani sekaligus memberi pengetahuan praktis dan produktif mereka. Di Indonesia melalui Madilog Tan Malaka, memberi suatu seni berpikir, menepis logika mistika yang berkembang di masyarakat. Dengan melihat semua ini lebih jauh, rasanya buku memberikan suatu maslahat yang banyak dibanding suatu ancaman yang nyata.

Kita boleh saja berbeda pandangan politik, ideologi, atau keyakinan, tapi membungkam buku sama artinya dengan membungkam kemungkinan kita memahami dunia secara lebih luas. Di tengah rendahnya minat baca, mahalnya harga kertas, dan maraknya pembajakan, justru buku tetap menjadi ruang terakhir bagi masyarakat untuk belajar dan bertanya.

Pertanyaannya: beranikah kita   di era demokrasi ini   benar-benar membiarkan buku hidup sebagai cahaya penuntun termasuk membereskan permasalahan lainnya seperti pembajakan dan menghilangkan pajak buku, alih-alih terus menjadikannya 'tersangka'?

Penulis: Iqra Ramadhan Karim
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS