Insight | General Knowledge

Dari Semangka ke New York Declaration: Jejak Solidaritas Global untuk Palestina

Kamis, 02 Oct 2025 17:00 WIB
Dari Semangka ke New York Declaration: Jejak Solidaritas Global untuk Palestina
Gambar 'Semangka' jadi simbol solidaritas terhadap Palestina. Foto: Alamy
Jakarta -

Di tengah derap zaman yang kian bising oleh kepentingan geopolitik, ada sebuah narasi yang justru lahir dari akar kesadaran masyarakat dunia, yaitu solidaritas untuk Palestina. Dari jalanan kota hingga ruang-ruang digital, suara penolakan terhadap agresi militer Israel semakin nyaring.

Hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari gelombang demonstrasi, aksi boikot, hingga simbol sederhana yang sempat viral, yaitu gambar semangka. Simbolisasi semangka itu, meski tampak remeh, justru memancarkan makna kolektif yang tak bisa diabaikan.

Makna Mendalam tentang 'Semangka'

Mengapa semangka? Bukan sekadar buah musim panas, tetapi representasi warna bendera Palestina, yaitu merah, hijau, putih, dan hitam yang kerap dilarang berkibar di wilayah pendudukan. Di saat bendera dilarang, masyarakat Palestina menemukan cara lain untuk menyuarakan identitasnya. Kini, dunia mengadopsi simbol tersebut, menjadikannya tanda perlawanan kultural sekaligus solidaritas universal.

Di media sosial, profil bergambar semangka menjelma menjadi pernyataan politik, tanda keikutsertaan dalam barisan panjang menentang kejahatan kemanusiaan. Fenomena ini membuktikan bahwa solidaritas global tidak selalu membutuhkan senjata, melainkan imajinasi bersama yang mampu menembus batas negara. Gerakan solidaritas serentak, dari Jakarta hingga London, dari Johannesburg hingga New York, menegaskan bahwa isu Palestina bukan semata konflik regional, melainkan persoalan kemanusiaan yang menyentuh nurani universal.

Gelombang ini mencapai momentum penting dalam forum internasional. Pada 12 September 2025, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi New York Declaration, sebuah dokumen politik yang memperkuat posisi Palestina dalam upaya mempejuangkan kemerdekaan di arena global. Deklarasi ini didukung mayoritas negara anggota, tepatnya 142 negara di dunia mendukung, 10 menolak, dan 3 abstain.

Hal tersebut, menandakan adanya konsensus moral internasional terhadap penderitaan rakyat Palestina. Meski tidak serta-merta menghadirkan kemerdekaan formal, deklarasi ini merupakan langkah diplomatik besar yang memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh solidaritas lintas bangsa.

Pertanyaannya, apakah Palestina sudah diakui secara penuh? Statusnya masih kompleks. PBB memang mengakui Palestina sebagai "non-member observer state" sejak 2012, sebuah pengakuan de jure yang membuka akses terhadap lembaga-lembaga internasional. Namun, pengakuan de jure sebagai negara berdaulat penuh masih terhalang veto dari beberapa kekuatan besar di Dewan Keamanan. Inilah paradoksnya bahwa dunia mengakui penderitaan Palestina, tetapi politik internasional kerap menahan langkah menuju kedaulatan yang utuh.

Gambar yang Jadi Simbol Dukungan Tak Langsung

Namun, solidaritas global tak bisa diremehkan. Tekanan moral dan politik dari publik internasional terus mendesak negara-negara besar untuk meninjau kembali posisinya. Di titik inilah, masyarakat sipil memegang peran kunci. Kampanye boikot produk, aksi akademik, hingga simbol semangka menunjukkan bagaimana gerakan dari bawah dapat membentuk percakapan global. Ia memperlihatkan bahwa diplomasi bukan hanya urusan elite, tetapi juga suara kolektif masyarakat dunia.

Solidaritas ini juga beresonansi dengan sejarah gerakan sosial di berbagai belahan dunia. Seperti gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan, yang bertahun-tahun mendapatkan dukungan internasional hingga rezim itu runtuh, isu Palestina kini berada di jalur yang serupa. Dunia menyadari bahwa ketidakadilan yang dibiarkan di satu tempat pada akhirnya akan menggerogoti rasa kemanusiaan di tempat lain.

Dalam konteks ini, Indonesia memiliki posisi strategis. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan sejarah panjang diplomasi anti-kolonial, dukungan terhadap Palestina bukan sekadar retorika, melainkan amanat konstitusi yang menolak segala bentuk penjajahan. Aksi masyarakat Indonesia dari unjuk rasa jalanan hingga inisiatif komunitas literasi yang mengangkat isu Palestina dalam diskusi membuktikan bahwa solidaritas ini berakar kuat di dalam negeri.

Namun, yang lebih penting dari sekadar solidaritas simbolik adalah kesinambungan aksi nyata. Bagaimana dunia menjaga agar isu Palestina tidak sekadar menjadi tren sesaat? Bagaimana semangka tetap menjadi simbol perlawanan, bukan hanya ikon viral di jagat maya?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting, sebab musuh terbesar solidaritas global adalah lupa. Dunia sering kali cepat tersentuh, tetapi juga cepat beralih perhatian. Ketika sorotan media memudar, penderitaan yang sesungguhnya justru berlanjut. Oleh karena itu, tantangan bagi masyarakat global adalah mempertahankan denyut solidaritas hingga ke level kebijakan konkret.

Semangka hanyalah permulaan, New York Declaration hanyalah langkah perjuangan yang berada di antara. Perjuangan Palestina adalah ujian panjang bagi nurani kemanusiaan. Lalu, kemudian di titik inilah, kita semua perlu bertanya, yaitu akankah solidaritas global tetap berdiri tegak sampai Palestina benar-benar merdeka, atau akan tenggelam menjadi simbol yang kehilangan makna?



Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS