Selama kurang lebih 15 tahun terakhir, rata-rata kerugian per tahun akibat bencana alam yang terjadi di Indonesia mencapai Rp22,85 triliun. Bencana yang paling banyak terjadi meliputi banjir, tanah longsor dan puting beliung.
Bencana banjir pun telah melanda beberapa wilayah di Indonesia sejak awal tahun 2025. Salah satu yang berdampak paling serius terjadi pada awal bulan September, di Denpasar, Bali. BPBD Provinsi Bali mencatat, 18 orang tewas akibat bencana ini, sementara beberapa warga mengalami trauma.
Beban lingkungan yang semakin berat, berkurangnya area resapan berkurang, tata ruang buruk, serta dampak krisis iklim yang semakin nyata merupakan faktor-faktor penyebab bencana ini terjadi. Menurut Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) krisis iklim kian berpotensi meningkatkan kekeringan, perubahan siklus hujan dan intensitas cuaca ekstrem, bahkan menyebabkan badai destruktif menjadi lebih kuat.
Senior data dan GIS Specialist Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda mengatakan, "Bentang alam banyak berubah menjadi area terbangun hingga serapan air jauh berkurang. Saat musim hujan, limpahan air menjadi sangat besar, menyebabkan sungai melebihi kapasitas dan hilangnya hutan memperparah banjir."
Permasalahan ini bukan hal yang normal atau sepenuhnya alamiah, melainkan juga akibat aktivitas manusia. Salah satunya penggunaan bahan bakar fosil secara luas, seperti batu bara, minyak, dan gas di rumah-rumah, pabrik, maupun emisi buang kendaraan.
Grafik suhu rata-rata bulanan global mulai dari tahun 1880-2020. Foto: https://id.co2.earth/global-warming-update
Jika menilik ke jauh belakang, terhitung sejak Revolusi Industri—ketika manusia mulai membakar bahan bakar fosil—kadar CO2 di atmosfer memang terus mengalami peningkatan. Hilangnya hutan, degradasi lahan, serta aktivitas pembangunan tanpa memperhitungkan kelestarian lingkungan mempercepat dampak buruk krisis iklim.
Di tengah situasi ini, kita sebagai generasi kiwari, harus berlaku lebih cermat dalam segala lini. Misalnya, memperhatikan aspek ekonomi berjalan sesuai etos keberlanjutan seperti: memahami konsep "uang" secara lebih proporsional dan dari berbagai sudut pandang, agar bisa lebih bijak dan tidak memperparah krisis iklim.
Memaknai Uang dan Nilainya
Melansir britannica.com, Ekonom Milton Friedman & Allan H. Meltzer memandang uang sebagai suatu komoditas yang secara umum diakui menjadi alat tukar dalam perekonomian.
Secara sederhana, uang juga dapat dipahami sebagai alat pembayaran yang diterima untuk memperoleh barang dan jasa serta untuk melunasi kewajiban. Mencakup fungsinya sebagai alat tukar yang memudahkan transaksi barang dan jasa; sebagai satuan hitung untuk mengukur nilai barang atau jasa; juga sebagai penyimpanan nilai.
Tidak berhenti di situ, nilai uang secara definitif juga menekankan pada: bagaimana value-nya membentuk perubahan dan perputaran uang yang beredar di masyarakat. Nilai uang masuk dalam bagian instrumen kebijakan moneter yang dijalankan oleh pemerintah dan bank sentral dengan tujuan untuk mengatur jumlah uang demi stabilitas ekonomi, mengendalikan inflasi, mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks krisis iklim, kita perlu menempatkan uang sebagai upaya mengatasi krisis iklim. Di titik inilah konsep keuangan hijau (green finance) menjadi relevan untuk dibahas.
Memahami Keuangan Hijau
Keuangan Hijau atau 'green finance' merujuk pada instrumen keuangan dan investasi yang mengalir ke proyek pembangunan berkelanjutan, inisiatif lingkungan dan kebijakan ekonomi rendah karbon.
Prinsipnya melingkupi beberapa poin. Mulai dari pengalokasian modal pada aset ramah lingkungan, energi terbarukan, efisiensi energi, transportasi bersih, pengelolaan sampah, restorasi hutan, pertanian berkelanjutan, hingga kepemimpinan institusi dan komitmen publik terhadap prinsip-prinsip lingkungan.
Penerapan 'green finance' juga mengacu pada transparansi dan pelaporan emisi karbon serta dampak proyek, serta pengelolaan insentif—mekanisme pendukung yang memudahkan sektor swasta ikut serta dalam subsidi, jaminan, pajak hijau.
Keuangan hijau turut menghubungkan logika ekonomi dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Bukan sekadar teori, pemahaman ini juga telah diterjemahkan ke dalam praktik perbankan melalui penyaluran kredit hijau di Indonesia.
Pada 2024, Bank Mandiri menyalurkan Rp149 triliun kredit hijau, terutama untuk pertanian berkelanjutan, energi terbarukan, dan produk ramah lingkungan; Bank BCA menyalurkan Rp229 triliun kredit berkelanjutan atau sekitar seperempat portofolio pinjaman; BNI mengalokasikan Rp73,4 triliun; sementara BRI mencatat Rp785,2 triliun.
Data ini menunjukkan sektor perbankan Indonesia telah merespons kebutuhan ekonomi berkelanjutan, walaupun disisi lain tantangan masih tetap ada seperti kapasitas, regulasi, kesadaran publik serta pendanaan masih masif di ranah nasional maupun global.
Strategi Penguatan Keuangan Hijau
Penguatan regulasi menjadi salah satu fondasi penting dalam mendorong keuangan hijau. Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, perlu menghadirkan aturan yang lebih tegas terkait tata ruang, penggunaan lahan, hingga pembangunan ramah lingkungan. Regulasi yang jelas dan konsisten akan menjadi rambu bagi semua pihak dalam merancang pembangunan yang tidak mengorbankan daya dukung lingkungan.
Namun, regulasi saja tidak cukup. Banyak daerah masih menghadapi keterbatasan kapasitas teknis dan kelembagaan untuk merancang, mengeksekusi, serta mengawasi proyek iklim, baik dalam konteks adaptasi maupun mitigasi. Karena itu, peningkatan kapasitas menjadi kebutuhan mendesak. Upaya ini dapat ditempuh melalui pelatihan, kerja sama dengan lembaga yang berfokus pada isu lingkungan, transfer teknologi, serta penguatan model kemitraan antara sektor publik dan swasta.
Di sisi lain, peran swasta juga tidak bisa dikesampingkan. Investor memegang peran krusial dalam menyediakan pembiayaan yang dibutuhkan. Skema inovatif seperti blended finance-yang menggabungkan dana publik dan swasta-hingga penerbitan obligasi hijau, jaminan risiko iklim, dan platform crowdfunding dapat menjadi terobosan untuk mempercepat mobilisasi modal bagi proyek berkelanjutan.
Selain dukungan modal, transparansi dalam pelaporan keuangan menjadi hal yang sangat penting. Aliran dana, penggunaan, hingga dampak dari proyek iklim harus diukur, dilaporkan, dan dinilai secara terbuka. Transparansi ini bukan hanya soal akuntabilitas, tetapi juga membangun kepercayaan publik, menarik investor baru, dan memastikan dana yang digelontorkan benar-benar memberikan dampak nyata sesuai kebutuhan.
Yang tak kalah penting, strategi penguatan keuangan hijau juga harus memberi perhatian pada aspek adaptasi dan keadilan iklim. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Karena itu, proyek-proyek iklim harus memberi porsi lebih besar pada adaptasi sekaligus memastikan keadilan bagi kelompok miskin, masyarakat adat, dan wilayah terpencil yang sering kali paling terdampak.
Mengatasi Iklim Secara Global
Masalah krisis iklim tidak hanya dirasakan oleh negara Indonesia saja, melainkan global. Oleh sebab itu, pendanaan dalam sektor ini harus diperhatikan bersama-sama. Misalnya, mengalokasikan aliran dana yang lebih proporsional.
Menurut Global Landscape of Climate Finance, total aliran keuangan iklim global pada tahun 2023 mencapai sekitar $1,9 triliun. Sementara kebutuhan keuangan iklim global untuk periode 2024-2030 diperkirakan setidaknya $6,3 triliun per tahun agar bisa menghindari dampak krisis ikim lebih parah.
Sementara lain, Bank-bank pembangunan multilateral (MDBs) mencatat: pembiayaan iklim sebesar $137 miliar pada tahun 2024 telah naik sekitar 10% dari tahun sebelumnya. MDBs juga telah mengalokasikan sebagian besar pembiayaan iklim mereka, sebesar $85,1 miliar, ke negara-negara berpendapatan rendah dan menengah untuk membantu menahan dampak perubahan iklim.
Sebaliknya, pengurangan investasi dalam sektor mengatasi krisis iklim akan menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 15% dari PDB global pada tahun 2050 akibat pemanasan 2°C dan 30% pada tahun 2100 akibat pemanasan 3°C.
Memahami uang melalui lensa krisis iklim, berarti "memaksa" kita untuk melihat lebih jauh dari sekedar angka keuangan di laporan bank atau persentase pertumbuhan. Uang, dalam konteks keuangan hijau seperti alat strategis: untuk mencegah krisis iklim yang lebih besar, melestarikan lingkungan yang menopang kehidupan manusia dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan nan adil.
Lebih dari itu, jika nilai uang ditempatkan pada kerangka krisis iklim, bukan hanya seberapa banyak yang diinvestasikan tetapi seberapa efektif investasi tersebut untuk mengurangi emisi, meningkatkan ketahanan, memperkecil risiko bencana dan menjaga agar generasi mendatang tidak menanggung beban biaya yang jauh lebih besar.
Mari jaga bumi kita, dengan paham keuangan hijau.
Penulis: Ayyu Puspitta
(ktr/RIA)