Di tengah derasnya arus digital, media sosial telah lama menjadi panggung interaksi sekaligus cermin budaya dalam dunia digital. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pola konsumsi masyarakat terhadap media sosial tidak lagi seragam. Ada tanda-tanda penurunan, perubahan preferensi, hingga munculnya tren meninggalkan ruang digital secara sadar.
Fenomena ini tidak hanya berbicara tentang teknologi, tetapi juga tentang karakteristik lintas generasi, nilai, dan cara manusia merawat kewarasan di tengah dunia yang kian terhubung. Data terbaru memperlihatkan bagaimana generasi membentuk pola konsumsi yang berbeda.
Generasi dan Platform Pilihan Mereka
Survei APJII 2025 menunjukkan dari 229.428.417 jiwa pengguna internet di Indonesia, apabila dilihat berdasarkan generasi, maka Generasi Z (1997-2012) lebih banyak menghabiskan waktu di TikTok (42,27%), diikuti Instagram (25,33%) dan YouTube (17,33%). Bagi mereka, video singkat dan interaktif lebih mudah dicerna dan sesuai dengan ritme cepat kehidupan digital. Berdasarkan data survei tersebut generasi milenial (1981-1996) juga menjadikan TikTok sebagai salah satu aplikasi media sosial utamanya dengan persentase (33,40%) dan diikuti Facebook (27,3%) sebagai pilihan utama.
Lalu, bagi generasi milenial tampaknya YouTube telah mengakar, meskipun persentase tidak bisa sebanyak Tiktok dan Facebook, yaitu (23,86%). Sementara itu, Gen X lebih nyaman dengan YouTube (31,69%) dan Facebook (27,19%), sedangkan Baby Boomers dan Pro Boomer menggantungkan diri pada YouTube (39,11%) dan (45,45%)
Namun di tengah ketergantungan itu, fenomena "digital detox" muncul sebagai koreksi. Generasi muda, terutama Gen Z, mulai mengekspresikan kejenuhan dengan istilah "brain rot" yang bahkan dinobatkan sebagai kata pada tahun 2024 oleh Oxford University. Bagi mereka, terlalu lama terjebak dalam doomscrolling hanya menambah penat mental.
Studi Harris Poll (2024) memperlihatkan gejala bahwa 47% Gen Z berharap TikTok tidak pernah ada, 83% mengaku sudah mengambil langkah untuk membatasi penggunaan media sosial, mulai dari menghapus aplikasi (40%) hingga mematikan notifikasi (36%). Lebih jauh, mayoritas Gen Z mengaitkan media sosial dengan kata "kecanduan" (82%) dan "bosan" (57%).
Di titik ini, "jarang online" menjadi bentuk status sosial baru. Sebuah laporan Newsweek mencatat bagaimana banyak anak muda menganggap kemampuan untuk keluar dari arus digital atau digital detox justru sebagai tanda prestise, sebuah gaya hidup tandingan di tengah era keterhubungan yang tanpa henti. Dengan kata lain, generasi muda sedang mencari cara agar teknologi tidak lagi mengendalikan hidup.
Lalu, bagaimana platform merespons? Di balik layar, perusahaan teknologi berlomba menyesuaikan diri agar tetap relevan. Instagram, misalnya, kini mengutamakan Reels dengan jangkauan 1,36 kali lebih luas daripada unggahan gambar. TikTok memperluas fungsinya dengan TikTok One, yaitu hub kreasi konten dan TikTok Symphony yang berbasis AI generative, sekaligus mendorong transaksi lewat TikTok Shop.
Berdasarkan hal tersebut, maka tak heran bila Indonesia kini menjadi salah satu pasar terbesar dunia untuk belanja impulsif di platform ini. YouTube, di sisi lain, menyeimbangkan dua dunia, yaitu Shorts untuk konten cepat yang menyasar generasi muda dan video panjang bagi mereka yang mendambakan kedalaman. Algoritmanya disempurnakan agar rekomendasi makin personal, membuat pengguna betah berlama-lama.
Apa yang kita pahami di sini bukan sekadar persaingan fitur. Ini adalah upaya platform menjaga keterikatan emosional penggunanya. Algoritma dirancang bukan hanya untuk memuaskan, tetapi untuk membuat kita bertahan. Namun, bersamaan dengan itu, muncul pertanyaan reflektif, yaitu sampai kapan manusia mau terus digiring pada ritme yang telah ditentukan?
Saat Jeda dari Media Sosial Jadi Prestise
Fenomena penurunan konsumsi media sosial dan lahirnya tren digital detox menunjukkan bahwa masyarakat tidak sepenuhnya pasif. Ada sebuah kesadaran, ada ruang resistensi, dan ada upaya pencarian keseimbangan. Generasi muda, meski tumbuh bersama layar, mulai sadar akan dampak mental dari keterhubungan tanpa henti. Sementara itu, generasi lebih tua tetap mempertahankan pola lama, menjadikan media sosial sebagai ruang nostalgia dan informasi.
Pada akhirnya, tren ini bukan hanya soal data pengguna, melainkan tentang negosiasi manusia dengan teknologi. Media sosial tidak lagi sekadar medium, melainkan arena tawar-menawar antara kebutuhan akan hiburan, tekanan sosial, dan kesadaran diri. Bila Gen Z memilih untuk "keluar" sebagian dari ruang digital, mungkin itu sinyal bagi semua generasi bahwa di tengah dunia yang tak pernah padam, ada value dari jeda, hening, dan kehadiran yang lebih nyata.
Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*