Dalam dunia yang bergerak cepat, penuh pilihan, dan dihujani promosi, kesederhanaan justru terasa mewah. Di tengah gelombang konsumsi tak berujung, sebuah tren gaya hidup mulai mengemuka secara diam-diam namun berpengaruh kuat, You Only Need One (YONO).
Jika You Only Live Once (YOLO) pernah menjadi mantra hidup generasi milenial yang lekat dengan euforia, eksplorasi, dan dorongan untuk "mencoba segalanya", maka YONO adalah refleksi dari kelelahan setelah semua itu. Ia adalah jalan pulang menuju keesensian. Sebuah pencarian hidup yang lebih ringkas, lebih sadar, lebih ringan.
Muncul dari Kejenuhan dan Krisis
Tren YONO bukan sekadar fenomena gaya-gayaan. Ia lahir dari kelelahan sosial dan psikologis akibat gaya hidup konsumtif yang berlarut-larut. Selama satu dekade terakhir, urban middle class hidup dalam ritme cepat mengejar diskon, memburu tren, mengumpulkan barang, mempercantik etalase hidup digital. Lemari penuh, namun hati kosong. Punya segalanya, tapi tetap merasa kurang.
Pandemi mempercepat kesadaran itu. Ketika ruang sosial menyempit dan mobilitas terbatas, orang mulai mempertanyakan; mengapa saya membeli begitu banyak, kalau toh hanya butuh sedikit? Mengapa saya merasa harus punya banyak pilihan, jika pada akhirnya hanya mengandalkan satu?
Dalam ruang sunyi itulah YONO bertumbuh. Bukan dari seminar motivasi, melainkan dari rasa cukup yang lahir karena tak ada pilihan lain.
YONO menawarkan prinsip dasar: kita hanya butuh satu. Satu sepatu yang nyaman dan fungsional. Satu tas yang kuat dan merepresentasikan identitas. Satu ponsel yang bekerja dengan baik, bukan yang terbaru. Satu pasangan hidup, kalau boleh disisipkan dengan nada jenaka.
Namun YONO bukan tentang asketisme ekstrem. Bukan juga kampanye antikemajuan. Ia bukan larangan untuk memiliki, melainkan ajakan untuk memilah. Bukan pengurangan demi penderitaan, melainkan penyaringan demi kejelasan makna.
Orang yang mempraktikkan YONO tidak alergi pada gaya, mereka justru tahu mana yang esensial dan sesuai dengan hidup mereka. Ini bukan anti-fashion, tapi anti-kompromi terhadap identitas palsu yang dipaksakan iklan dan algoritma.
Dari Pilihan Menjadi Sikap, Namun Industri Mandek
Tren ini mulai terlihat dalam banyak perilaku sehari-hari masyarakat urban. Semakin banyak orang memilih merek yang tak lagi didasarkan pada kemewahan, melainkan keberlanjutan. Konsumen tidak sekadar bertanya "bagus atau tidak?", tetapi "dibuat siapa?", "tahan berapa lama?", dan "apakah saya benar-benar butuh?"
Pasar menyambut. Muncul berbagai produk yang dibangun dengan narasi kualitas dan keawetan. Brand lokal seperti Pijak Bumi, Monomono, atau Porté Goods tumbuh dengan filosofi fungsionalisme. Mereka tidak menjual 10 model sepatu tiap bulan, tapi menawarkan satu yang tahan 10 tahun.
Begitu pula dalam dunia digital. Orang-orang mulai mengurangi jumlah aplikasi, merapikan layar ponsel, bahkan membatasi waktu layar dengan kesadaran penuh. Produktivitas tidak lagi dinilai dari seberapa sibuk atau berjejaring, melainkan dari seberapa fokus dan bernilai waktu yang digunakan.
YONO adalah sikap. Ia bukan sekadar kebiasaan konsumsi, tetapi cara berpikir ulang terhadap apa yang penting dan apa yang hanya pengalih perhatian.
Sayangnya, sistem ekonomi modern masih didesain untuk memperbanyak, bukan menyederhanakan. Iklan tetap menjanjikan lebih, bukan cukup. Algoritma e-commerce masih mengiming-imingi "orang juga membeli ini". Bahkan, konsep "limited edition" yang seharusnya memberi makna khusus, justru dimanipulasi untuk menciptakan kelangkaan palsu.
YONO menantang seluruh struktur ini. Ia seperti menolak untuk terus berlari dalam lomba konsumsi. Maka tak heran, YONO seringkali disebut sebagai bentuk kebangkitan sadar di tengah ekonomi kapitalistik yang lapar.
Pertanyaannya, apakah industri siap berubah? Ataukah YONO hanya akan menjadi tren sesaat, digerus kembali oleh FOMO dan budaya diskon?
Sebuah Jalan Pulang
Dalam dunia yang penuh gemuruh, YONO seperti jalan setapak yang sunyi. Ia tidak mencolok, tidak viral, tapi menawarkan kedalaman. Barangkali ia adalah tanda bahwa masyarakat urban mulai dewasa bukan dalam usia, tetapi dalam cara memandang hidup.
YONO bukan anti-keinginan, tetapi pengingat bahwa tidak semua yang kita inginkan adalah kebutuhan. Bahwa satu saja cukup, kalau ia punya arti. Bahwa lebih tidak selalu lebih baik.
Mungkin saja dalam dunia yang dibanjiri banyak hal, menjadi orang yang tak berlebihan adalah bentuk revolusi paling radikal. Siapkah kamu mengubah gaya hidupmu sekarang jadi lebih sederhana di tengah gempuran eksistensi media sosial penuh kemewahan?
Penulis: Andy Wijaya
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)