Indonesia belakangan ini terasa begitu riuh. Di layar televisi, media sosial, hingga warung kopi, percakapan politik sering kali dipenuhi oleh perdebatan para elite: siapa yang berkoalisi dengan siapa, siapa yang berebut kursi, dan apa strategi komunikasi partai menjelang pemilu.
Politik tampak begitu bising, penuh jargon, bahkan kadang jauh dari kebutuhan rakyat yang paling dasar: bisa makan hari ini, bisa membayar sekolah anak bulan depan, atau bisa tetap membuka usaha kecil meski harga bahan pokok terus naik. Namun dibalik hiruk-pikuk panggung elite itu, ada kenyataan yang jarang disorot: warga biasa tetap berusaha bertahan hidup.
Mereka menjaga dapurnya tetap mengepul, memastikan roda ekonomi kecil tetap berputar, dan saling menjaga melalui solidaritas. Dari warung kelontong di ujung gang, usaha kuliner kaki lima, hingga gerakan sosial seperti #WargaJagaWarga, politik justru menemukan wujud paling nyata.
Kalau politik elite sering terasa jauh dan bising, mungkin pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah: apa sebenarnya politik versi warga biasa?
Politik Versi Elite vs Politik Versi Warga
Politik sering kita pahami sempit. Soal gedung parlemen, sidang yang disiarkan televisi, atau kampanye yang penuh baliho. Elite politik memang menguasai panggung besar, tetapi warga biasa punya panggungnya sendiri.
Politik versi warga hadir dalam bentuk sederhana, namun berdampak langsung mulai dari membeli jajanan di warung tetangga untuk saling mendukung, ikut patungan donasi saat ada warga sakit, gotong royong membersihkan selokan di RT, atau menyiapkan dapur umum saat banjir datang.
Setiap aksi itu, meski kecil, sejatinya adalah keputusan politik: memilih untuk menjaga kehidupan bersama ketimbang membiarkannya runtuh. Inilah politik yang membumi-politik yang tidak memerlukan spanduk atau pidato panjang, melainkan aksi nyata yang dirasakan langsung manfaatnya.
Solidaritas sosial adalah bentuk politik sehari-hari. Mungkin tidak tercatat dalam risalah sidang DPR, tetapi dampaknya nyata ada anak yang bisa sekolah karena biaya iuran warga, ada keluarga yang bisa melewati krisis karena dukungan komunitas, ada UMKM yang tetap hidup karena orang sekitar memilih belanja di sana.
UMKM sebagai Ruang Politik Rakyat
UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) sering dilihat semata dari kacamata ekonomi: kontribusinya terhadap PDB, jumlah tenaga kerja yang diserap, atau seberapa jauh digitalisasinya berkembang. Namun sesungguhnya, UMKM juga merupakan ruang politik rakyat.
Mengapa? Sebab di tengah inflasi, gelombang PHK, dan kebijakan yang sering tidak pasti, UMKM menjadi simbol ketahanan masyarakat. Menunjukan bahwa rakyat tidak menunggu belas kasih, melainkan bergerak sendiri untuk bertahan.
Mari bayangkan pedagang nasi uduk yang tetap membuka lapaknya meski harga beras dan minyak goreng naik atau pengrajin batik rumahan yang berjuang menjual produknya lewat marketplace daring agar bisa bertahan di tengah gempuran produk impor. Setiap transaksi di UMKM bukan hanya aktivitas ekonomi, melainkan juga pernyataan politik: rakyat saling menjaga keberlangsungan komunitasnya. UMKM menyumbang sekitar 61% dari PDB nasional dan menyerap 97% tenaga kerja.
Gerakan digitalisasi UMKM yang marak belakangan adalah contoh lain. Bukan sekadar adopsi teknologi, melainkan adaptasi politik warga: kalau kebijakan negara tak cukup memberi perlindungan, warga mencari jalannya sendiri untuk tetap eksis. Slogan "jangan lupa beli di tetangga" yang ramai saat pandemi bukan sekadar ajakan belanja, melainkan simbol politik warga biasa: ekonomi lokal adalah benteng terakhir.
Selain UMKM, solidaritas sosial adalah wajah lain dari politik warga. Kita melihatnya paling jelas saat pandemi. Ketika negara gagap menghadapi krisis, warga membangun gerakan #WargaJagaWarga. Mereka menggalang donasi digital, membagikan sembako, hingga menyiapkan makanan gratis untuk tenaga kesehatan.
Begitu juga saat bencana datang. Hampir selalu, sebelum bantuan resmi tiba, warga sekitar sudah lebih dulu bergerak: mengevakuasi korban, membuka posko, hingga menyumbangkan apa yang mereka punya. Gerakan donasi digital yang tumbuh pesat di Indonesia juga menunjukkan betapa kuatnya empati kolektif.
Solidaritas warga ini adalah politik yang membumi, politik yang berpihak langsung pada kehidupan sehari-hari. Tidak ada jargon rumit, tidak ada janji manis lima tahunan. Yang ada hanya aksi nyata: memberi, menjaga, dan memastikan tidak ada yang tertinggal sendirian dalam kesulitan.
Kontraskan ini dengan politik elite yang sering penuh strategi, lobi, bahkan drama perebutan kekuasaan. Politik warga terasa lebih manusiawi: tumbuh dari empati, bukan ambisi; dari kebutuhan riil, bukan perhitungan elektoral.
Harapan Baru dari Politik Versi Warga
Di tengah tantangan global-dari krisis iklim, ketidakpastian ekonomi, hingga perubahan sosial yang cepat-masyarakat Indonesia punya cara unik membangun resilience. Politik versi warga bukan tentang perebutan kursi, melainkan tentang bagaimana tetap bisa hidup layak dan saling menjaga.
Harapan baru lahir dari sini: bahwa kita tidak harus menunggu perubahan dari atas, karena dari bawah pun perubahan bisa tumbuh. Politik warga mengisi celah yang sering ditinggalkan negara, menciptakan ruang bersama yang lebih inklusif dan penuh empati.
Mungkin sudah saatnya elite politik belajar dari warga biasa. Bahwa politik paling mendasar bukanlah siapa yang menang di parlemen, melainkan bagaimana kita saling menguatkan. Bahwa politik sejati adalah tentang memastikan dapur rakyat tetap mengepul, bukan sekadar memastikan kursi kekuasaan tetap terisi.
Di tengah hiruk pikuk politik elite, rakyat sesungguhnya sudah mempraktikkan politik yang lebih substansial. Melalui UMKM yang terus bertahan, solidaritas sosial yang tumbuh, dan gotong royong yang tak pernah padam, warga Indonesia menunjukkan wajah politik yang manusiawi.
Inilah politik yang membumi, berpihak, dan penuh harapan. Politik yang tidak menunggu janji, tetapi langsung bekerja. Politik yang sederhana, tetapi justru paling nyata. Dan mungkin, jika kita jujur melihat, politik versi warga biasa inilah yang menjadi alasan mengapa negeri ini masih bisa terus berdiri.
Jadi, sudah jajan apa kamu hari ini?
Penulis: Deandra Fadillah
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)