Tagar "Warga Jaga Warga" bergaung di seluruh lini, dari media sosial hingga ungkapan visual di ruang luring. Gerakan ini lahir untuk menaungi semangat warga yang membutuhkan rasa aman dan perlindungan ketika menyampaikan aspirasi. Terutama saat elemen rakyat melayangkan aspirasi secara langsung dalam mengawal "17+8 Tuntutan Rakyat".
Jargon "Warga Jaga Warga" hadir bagai pengingat sesama warga untuk menghindari "aksi penyusup" yang kerap membuat rusuh di tengah massa aksi dan memicu kekerasan aparat. Tentu, kekerasan atas nama pengamanan tidak bisa dinormalisasi kendati dalihnya untuk menjaga ketertiban. Sinergitas harus terjadi di sini dan bukan cuma teori. Sebab, menurut catatan Tempo, sedikitnya 1.042 orang terluka dan 10 orang tewas dalam demonstrasi dalam rentang 25 Agustus-2 September.
Salah Kaprah Soal Pengamanan Aparat
Intensitas kekerasan aparat kian terasa biasa. Sebaliknya, warga sipil kembali dinilai sebagai biang kerusuhan-dituduh merusak fasilitas umum, alih-alih didengarkan tuntutannya.
Situasi ini jelas bukan kabar baik dan dampak buruknya bisa meluas ke kota-kota lain di Indonesia. Aspirasi yang tak dituntaskan hanya akan membuat rakyat semakin kesal, lantaran para anggota dewan lebih sering "melarikan diri" dan aparat yang dikerahkan justru bersikap represif.
Gelombang demonstrasi tentang tunjangan DPR yang 'nyeleneh' ini lantas berlanjut dari satu episode ke episode berikutnya layaknya serial TV. Terakhir, aksi BEM UI di depan Gedung DPR RI (9/9) disambut ribuan personel aparat untuk mengawal jalannya demo. Mengutip Detik.com, Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Susatyo Purnomo Condro mengerahkan 2.852 personel gabungan (Polri, TNI, Pemda DKI) untuk pengamanan DPR.
Aksi ini bertujuan menagih janji para pemimpin negeri atas realisasi tuntutan yang dilayangkan massa. Dengan antisipasi pihak pengamanan yang amat serius, akankah aksi dengan tagar #RakyatTagihJanji yang menindaklanjuti "17+8 Tuntutan Rakyat" juga disambut secara serius?
Mimpi Besar Warga Indonesia
Satu yang pasti: warga bergerak bukan hanya karena amarah, tetapi karena mimpi besar untuk negeri. Rakyat hanya perlu didengar, diayomi, dan dijamin keberlangsungan hidupnya dengan adil dan beradab, sebagaimana sila kedua Pancasila.
Narasi untuk memajukan peradaban bangsa dimulai dari kepedulian warga menjaga konstitusi, memperbaiki kinerja, dan menuntut transparansi. Aspek keamanan perlu ditingkatkan demi kelancaran demonstrasi sesuai keinginan masyarakat. Harapannya, jargon "Warga Jaga Warga" bisa menyatakan sinergi sesama kita.
Di lain sisi, Presiden Prabowo Subianto juga telah menekankan pentingnya nilai tagar ini—menjaga lingkungan satu sama lain dan tidak memberi ruang provokator membuat situasi semakin runyam.
"Saya juga menganjurkan kita kembali ke budaya kita: ada pengamanan lingkungan masing-masing. Dulu ada yang dikenal ronda, siskamling, kentongan-masing-masing mengamankan," kata Prabowo, mengutip Warta Ekonomi (6/9), dalam pertemuan dengan media di Hambalang, Jawa Barat.
Ia menambahkan, masyarakat perlu sigap melapor bila ada dugaan provokasi oleh oknum tertentu. "Kalau ada orang-orang luar yang nggak jelas, yang mau menghasut, segera laporan. Kalau perlu ya diusir, dicegat," ujarnya.
Namun demikian, ungkapan Prabowo sebagai orang nomor satu di negeri ini tidak boleh tinggal ucapan. Demi kedamaian bersama, warga yang menyampaikan tuntutan harus difasilitasi dan dijamin keamanannya. Negara tak boleh membiarkan kekerasan aparat apalagi sampai menjatuhkan lebih banyak korban jiwa. Satu hal yang membuat peradaban semakin mundur, dan kian menjauhkan kita dari nilai demokrasi.
Sebab, jika di negeri sendiri rakyat merasa terjajah, bagaimana kita bisa membayangkan masa depan yang lebih baik?
Penulis: Ridho Fachrezi*
(*) Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.