Insight | General Knowledge

Demonstrasi dan Wajah Represi Negara

Jumat, 29 Aug 2025 17:10 WIB
Demonstrasi dan Wajah Represi Negara
Kekerasan aparat terus berulang dan belum menemukan titik tengahnya. Foto: Wikimedia Commons
Jakarta -

Di dalam demokrasi, demonstrasi selalu menjadi denyut nadi yang menjaga keterhubungan rakyat dengan negaranya. Jalan raya, alun-alun, dan halaman-halaman Kantor Dewan Perwakilan Rakyat kerapkali menjelma ruang publik, tempat suara-suara yang tercekat mencari pertanggungjawaban.

Namun di Indonesia, ruang itu terlalu sering ditutup dengan cara yang sama, yaitu represi. Kekerasan aparat penegak hukum telah menjadi wajah yang paling mudah dikenali ketika rakyat turun ke jalan. Peristiwa terbaru pada 28 Agustus 2025 menjadi pengingat pahit.

Seorang massa aksi harus kehilangan nyawa setelah personel Brigadir Mobil (Brimob) Polri menabraknya tanpa ragu-ragu dengan kendaraan taktis Barracuda. Alih-alih menjaga keamanan, aparat justru menghadirkan teror, menjadikan demonstrasi yang semestinya ekspresi damai berubah menjadi ladang maut. Berdasarkan video yang telah beredar di media sosial diketahui juga terjadi aksi pemukulan dan penangkapan terhadap massa aksi.

Sebelumnya, hanya berselang dua hari, yaitu 26 Agustus di Sumatera Utara sebanyak 44 massa aksi ditangkap secara sewenang-wenang. Kenyataan kemudian menguak lebih jauh, peserta aksi unjuk rasa di Kantor DPRD Sumatera Utara tersebut mengalami penyiksaan berupa pemukulan hingga penginjakan yang videonya telah berseliweran di media sosial, LBH Medan menilai tindakan tersebut brutal dan tidak manusiawi, menambah daftar panjang luka kolektif akibat kekerasan aparat.

Fenomena ini menunjukkan pola yang konsisten; demonstrasi hampir selalu dipandang sebagai ancaman, bukan sebagai ruang artikulasi wajar dalam demokrasi. Negara, alih-alih mendengar aspirasi, justru menampilkan wajah kerasnya. Wajah represi inilah yang diam-diam telah menjadi "budaya" dalam cara negara merespons tuntutan rakyat.

.Polisi melakukan aksi pembubaran massa hingga berakhir bentrok di depan Gedung DPR RI, Kamis, (28/8)/ Foto: CNN Indonesia

Represi yang Terus Berulang

Dalam kerangka politik, represi ini bisa dibaca sebagai upaya negara mempertahankan monopoli kekuasaan. Demonstrasi yang menantang narasi dominan dipandang mengganggu stabilitas, sehingga aparat dilibatkan bukan untuk menjaga, melainkan membungkam.

Di sini terlihat paradoks bahwa demokrasi yang sejatinya menjanjikan ruang partisipasi, tetapi ketika rakyat menagih janji itu, negara justru menjawab dengan tongkat, borgol, gas air mata, dan mobil Barracuda. Represi semacam ini tidak berhenti pada korban fisik. Cara ini menanamkan trauma sosial yang lebih luas.

Mahasiswa yang dipukuli, buruh yang ditangkap, masyarakat sipil yang diintimidasi, semuanya membawa pulang ingatan pahit yang tidak mudah hilang. Trauma itu mengendap, melahirkan ketakutan kolektif yang menggerus keberanian untuk bersuara.

Dalam jangka panjang, normalisasi kekerasan membuat masyarakat apatis, menganggap represi sebagai harga yang wajar ketika berbicara di ruang publik. Inilah bahaya paling serius: demokrasi yang dibiarkan tersedak oleh ketakutannya sendiri.

Sejarah Indonesia menunjukkan betapa pola ini berulang. Dari era Orde Baru hingga pascareformasi, demonstrasi hampir selalu dihadapkan pada aparat represif. Bedanya, jika dulu represi dilegalkan oleh rezim otoriter, kini represi justru berlangsung di bawah payung demokrasi prosedural.

Negara bersembunyi di balik jargon keamanan, padahal yang dijaga seringkali bukanlah rakyat, melainkan kenyamanan elit. Risiko dari keganasan aparat yang terus menerus berulang tersebut adalah kemuakan rakyat sehingga menimbulkan perlawanan kolektif, seperti yang terjadi pada tahun 1998.

.Seorang ibu dan pelajar yang mencoba memukul mundur aparat yang represif, Kamis (28/8)./ Foto: CNN Indonesia

Kebebasan yang Fana

Data Amnesty International (2024) mencatat bahwa Indonesia masih berada dalam posisi mengkhawatirkan dalam indeks kebebasan. Salah satu hal yang disoroti adalah praktik excessive use of force oleh aparat ketika menghadapi aksi demonstrasi.

Selama Januari-Desember 2024, Amnesty mencatat 40 kasus penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan oleh aparat negara dengan 59 orang korban. Sebanyak 27 kasus dengan 40 orang korban diduga dilakukan oleh anggota Polri, 12 kasus dengan 18 korban diduga dilakukan oleh personel TNI. Bahkan dalam rangkaian aksi massa #PeringatanDarurat di 14 kota pada 22 sampai 29 Agustus2024 setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi.

Namun, tragedi-tragedi tersebut tidak pernah menjadi akhir. semestinya dari luka inilah harus lahir refleksi kolektif, yaitu apa arti demokrasi jika suara rakyat terus dibungkam dengan represi?

Jika jalan raya tidak lagi menjadi ruang aman bagi protes damai, lalu di mana rakyat bisa menyuarakan ketidakpuasan mereka? Pertanyaan ini menuntut kita tidak hanya menyalahkan aparat di lapangan, tetapi juga melihat lebih jauh ke arah struktur kekuasaan yang memelihara budaya kekerasan.

Di satu sisi, aparat sering dijadikan tameng politik, dikorbankan demi mempertahankan legitimasi elit. Di sisi lain, absennya mekanisme akuntabilitas membuat praktik kekerasan berulang tanpa ada pertanggungjawaban. Kasus pada 26 dan 28 Agustus 2025 adalah bukti nyata bagaimana minimnya kontrol terhadap aparat justru membuka ruang impunitas.

Rakyat berhak marah, tapi marah saja tidak cukup. Kita membutuhkan solidaritas sipil yang lebih kuat, yang menuntut negara mengembalikan fungsi aparat sebagai pelindung, bukan penganiaya. Kita membutuhkan keberanian untuk menolak normalisasi kekerasan, keberanian untuk menyatakan bahwa gas air mata bukan jawaban, dan kendaraan taktis bukan alat dialog pengendali massa aksi.

Pada akhirnya, demonstrasi adalah cermin relasi negara dan rakyatnya. Jika yang tampak di cermin hanyalah wajah represi, maka sejatinya negara sedang menatap dirinya sendiri, yaitu wajah yang menolak mendengar, wajah yang melukai, wajah yang mengkhianati janji demokrasi.

Pertanyaannya kini, apakah bangsa ini akan terus bercermin pada wajah yang retak itu, atau berani mengubahnya menjadi wajah negara yang benar-benar mendengar rakyatnya?



Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS