Di dalam sejarah gerakan sosial, selalu ada momen ketika kebenaran sengaja dibuat menjadi kabur. Sebuah aksi massa bisa dikatakan sebagai luapan suara rakyat yang marah dan kecewa, tetapi di saat bersamaan terselip pula tindakan anarkis yang menodai wajah perjuangan. Pertanyaannya, apakah semua kekacauan itu sungguh lahir dari massa demonstrasi, atau ada tangan-tangan tersembunyi yang sengaja menyalakan api?
Dari kondisi ini, muncullah sebuah konsep false flags dan cipta kondisi yang menawarkan sudut pandang kritis untuk memahami paradoks ini, yaitu dua strategi yang kerap muncul ketika dinamika sosial mengancam dengan kekuasaan politik. Secara sederhana, false flags adalah taktik ketika sebuah tindakan dilakukan oleh satu pihak, tetapi sengaja dikemas seolah-olah dilakukan oleh pihak lain.
Cara Kerja False Flags
Guru Dev Teeluckdharry menjelaskan dalam penelitiannya bahwa operasi false flags dimaksudkan untuk menyamarkan sumber tanggung jawab sebenarnya dan menyalahkan pihak lain. Sejak abad ke-16 strategi ini telah ada dan tetap eksis hingga saat ini untuk menimbulkan kebingungan publik, merusak citra kelompok sasaran, dan sering kali menjadi dasar untuk menjustifikasi tindakan represif.
Dari perspektif sosiologi, false flags bukan sekadar strategi politik, melainkan sebuah rekayasa simbolik, memanfaatkan narasi dan persepsi publik sebagai senjata. Sementara itu, setali tiga uang dengan false flags, cipta kondisi adalah praktik untuk menciptakan situasi kerusuhan, instabilitas, atau ancaman untuk membangun legitimasi bagi kebijakan atau tindakan berikutnya.
Dalam kerangka sosial politik, ini adalah bentuk social engineering yang memelihara struktur kuasa. Ketika kondisi tertentu diciptakan, opini publik diarahkan untuk melihat kekerasan negara sebagai sesuatu yang wajar, bahkan perlu.
Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh CSIS yang lokusnya Papua, penulis mengutip pernyataan yang termaktub bahwa beberapa kasus memang sengaja diatur agar menciptakan konflik sosial untuk melayani kepentingan tertentu di masa yang akan datang. Dengan kata lain, ketidakstabilan yang tampak spontan sering kali hanyalah panggung bagi skenario yang matang. Kerangka pemahaman ini menjadi penting ketika menyoroti gelombang aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia sejak 25 Agustus 2025.
Ilustrasi demonstrasi di Indonesia/ Foto: iStock |
Awalnya, massa turun ke jalan untuk menyuarakan tuntutan politik dan ekonomi. Namun, dalam hitungan hari, wajah aksi berubah drastis. Sejumlah fasilitas publik dan gedung pemerintahan diketahui dirusak dan dibakar: gerbang tol, halte, Wisma MPR, gedung pelayanan perpanjangan SIM, area SPKT, hingga Gedung DPRD Makassar yang dilalap api. Tak berhenti di situ, Gedung Grahadi Surabaya juga menjadi sasaran, rumah anggota DPR dan seorang Menteri dijarah, bahkan beberapa pos polisi ikut dibakar.
Jika dilihat dari perspektif sosiologis, pola perusakan yang meluas ini patut dicurigai sebagai momen yang membuka ruang bagi cipta kondisi. Aksi protes yang awalnya menuntut keadilan berbalik arah menjadi anarkis di mata publik, sehingga membuka jalan bagi negara untuk merespons dengan kekuatan ekstra.
Di sinilah konsep false flags beresonansi, yaitu ada kemungkinan bahwa sebagian tindakan destruktif tidak sepenuhnya dilakukan oleh massa aksi, melainkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk merusak legitimasi gerakan. Kerusuhan yang terlihat organik justru bisa jadi merupakan rekayasa untuk melabeli protes sebagai ancaman.
Kondisi ini bukan hanya soal opini publik, melainkan juga berkaitan dengan arah kebijakan negara. Ketika kerusuhan diproyeksikan sebagai ancaman besar, ruang bagi opsi represif makin terbuka lebar. narasi tentang darurat militer pun mulai bergema di media sosial. Darurat militer, dalam definisinya adalah keadaan ketika otoritas sipil digantikan atau berada di bawah kendali militer dengan dalih menjaga keamanan.
Dampaknya bisa sangat serius, yaitu kebebasan sipil teredukasi, protes bisa saja dianggap subversif, dan relasi kuasa dalam masyarakat terbalik dari partisipasi ke dominasi. Memahami dari perspektif sosial politik, ini merupakan ilustrasi bagaimana struktur kekuasaan bisa membentuk realitas sosial melalui konstruksi kondisi.
Ketika masyarakat diyakinkan bahwa aksi massa adalah sumber kekacauan, maka tindakan represif negara dipandang sebagai solusi. Pada akhirnya, publik menerima kontrol bukan karena konsensus sejati, melainkan karena ketakutan yang dibentuk. Namun, di titik inilah pertanyaan reflektif perlu diajukan: benarkah semua api di jalanan lahir dari amarah rakyat, ataukah ada yang sengaja menyulut korek untuk membakar legitimasi gerakan sosial itu sendiri?
Lalu, jika setiap kobaran api selalu dibalas dengan sirene darurat, apakah kita sedang menjaga bangsa dari bahaya, atau justru sedang diarahkan untuk percaya bahwa ketenangan hanya bisa lahir dari kontrol mutlak penguasa?
Kini yang bisa kita lakukan adalah menjaga diri dan satu sama lain agar tidak mudah tersulut serta terprovokasi dengan narasi-narasi yang hanya akan membuat suasana tambah keruh. Mari mulai #WargaJagaWarga agar tidak ada lagi yang menjadi korban dan 'sasaran empuk' untuk dipersalahkan atas sesuatu yang tak pernah dilakukan.
Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Ilustrasi demonstrasi di Indonesia/ Foto: iStock