Jujur saja, saya baru pertama kali mendengar nama pesepakbola, Suleiman al-Obeid. Sebelumnya, saya tidak pernah menonton pertandingan atau cuplikan permainannya sama sekali. Satu-satunya video yang saya temukan adalah gol ikoniknya ke gawang Yaman pada 2010 silam. Hanya itu.
Namun, orang-orang Palestina bilang ia adalah pahlawan dan legenda hidup, yang saking berpengaruhnya sampai dijuluki 'Pele dari Palestina'.
Sosok Suleiman al-Obeid dan Standar Ganda untuknya
Al-Obeid merupakan mantan pesepak bola profesional asal Gaza berumur 41 tahun. Ia mencetak lebih dari 100 gol sepanjang kariernya, bermain untuk klub Khadamat al-Shatee, Al-Am'ari, Gaza Sport, serta tampil 24 kali untuk tim nasional Palestina.
Mirisnya, sang pahlawan baru-baru ini tewas ditembak oleh tentara Israel saat sedang mengantre bantuan kemanusiaan di Gaza Selatan untuk bertahan hidup pada 6 Agustus 2025 lalu. Makin saya membaca detail ceritanya, hati makin teriris. Al-Obeid meninggalkan istri dan lima anak.
Kita semua tentu ingat, betapa cepat dan tegasnya FIFA dan UEFA saat menjatuhkan sanksi kepada Rusia akibat menginvasi Ukraina pada 2022. Alasannya mulia, yaitu menjaga sepak bola sebagai pembawa persatuan dan perdamaian. Sebuah langkah yang menunjukkan bahwa olahraga bisa mengambil sikap moral.
Lantas, di mana letak ketegasan dan sikap moral yang sama untuk Israel? Kenapa Israel belum ditangguhkan? Apakah ada standar ganda?
Sejauh ini FIFA belum membuat pernyataan resmi apa pun. Sementara respons UEFA di media sosial X terkesan seadanya. Akun resmi mereka menulis: "Farewell to Suleiman al-Obeid, the 'Palestinian Pelé'. A talent who gave hope to countless children, even in the darkest of times."
Kalimat yang indah, bukan? Masalahnya, mereka tidak mencantumkan bagian terpenting, yakni bagaimana ia meninggal dan siapa yang membunuh. Pertanyaan senada ditulis oleh Mohamed Salah via X.
Dalam kasus Al-Obeid, Israel, yang merupakan anggota UEFA, tidak disinggung sama sekali. Mereka seperti menghindari kebenaran. Tidak heran, kolom komentar di postingan UEFA dipenuhi amarah publik yang juga merasakan kejanggalan. Publik melihatnya sebagai ucapan duka formalitas saja.
Ini sangat berbeda dengan saat UEFA dan FIFA kompak mengumumkan penangguhan klub dan tim nasional Rusia buntut konflik geopolitik mereka. Sementara institusi resmi memilih kalimat aman, legenda Manchester United, Eric Cantona, lebih lantang bersuara.
Dalam unggahan terbarunya di Instagram, ia menulis: "BERAPA LAMA LAGI KITA AKAN MEMBIARKAN MEREKA MELAKUKAN GENOSIDA INI???". Sebuah pernyataan yang tajam, tanpa basa-basi.
FIFA Membisu
Dorongan publik untuk menangguhkan Israel dari dunia olahraga internasional, khususnya sepak bola, bukan muncul secara tiba-tiba. Asosiasi Sepak Bola Palestina (PFA) sendiri sudah bertahun-tahun membawa masalah ini ke hadapan FIFA. Hasilnya? Nihil.
Keluhan dari PFA pernah sampai di panggung tertinggi. Pada Kongres FIFA tahun 2015, PFA secara resmi mengajukan tuntutan penangguhan keanggotaan Asosiasi Sepak Bola Israel (IFA). Alasan yang diajukan sangat fundamental, yaitu pembatasan gerak ekstrem terhadap para pemain Palestina.
Akan tetapi, PFA malah dibujuk untuk menarik tuntutan mereka dengan janji manis pembentukan sebuah "komite pemantau" yang katanya akan membantu menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Komite ini dipimpin oleh Tokyo Sexwale dari Afrika Selatan.
Pada 2016, masalah baru muncul. PFA mendesak FIFA untuk melarang enam klub sepak bola Israel beraktivitas di permukiman ilegal di wilayah Palestina yang diduduki (West Bank). Ini merupakan sebuah pelanggaran terang-terangan terhadap statuta FIFA sendiri. Pelanggaran terhadap statuta FIFA seharusnya tidak bisa diperdebatkan lagi.
Keberadaan klub-klub Israel tersebut telah melanggar Pasal 72 dari statuta FIFA, yang menyatakan bahwa asosiasi anggota tidak boleh menggelar pertandingan di wilayah asosiasi lain tanpa izin. Pemukiman tersebut, menurut hukum internasional, bukanlah wilayah Israel.
Lebih dari 150.000 orang menandatangani petisi, puluhan anggota parlemen Eropa mengirim surat terbuka agar FIFA segera bertindak. Namun, pihak Israel menolak larangan dengan mengatakan itu akan merugikan anak-anak dan klub lokal.
FIFA pun sama. Mereka akhirnya memilih 'netral' karena menganggap sengketa wilayah bukan menjadi urusan mereka. Komite pimpinan Sexwale juga tidak menghasilkan perubahan berarti selama bertahun-tahun hingga akhirnya bubar jalan diam-diam. Janji tinggal janji, masalah terus berlanjut.
Mengenai kematian atlet-atlet Palestina akibat kekejaman Israel, FIFA terus membisu. Hingga kasus Al-Obeid, mengutip The Guardian, setidaknya 421 insan sepak bola Palestina dipastikan telah terbunuh. Di samping itu, 288 fasilitas olahraga, termasuk Stadion Yarmouk yang bersejarah, juga hancur lebur.
Kartu Merah!
Dalam sepak bola, seorang pemain akan langsung diusir keluar lapangan dengan kartu merah jika melakukan pelanggaran berat, misalnya tekel brutal atau tindakan yang mencederai sportivitas.
Sikap diam FIFA dalam menghadapi fakta-fakta yang tak terbantahkan, termasuk tewasnya Suleiman al-Obeid, menurut saya merupakan salah satu wujud pelanggaran berat itu. Mereka melakukannya di depan mata dunia, mengkhianati prinsip fair play yang selalu diagung-agungkan.
Buat apa mengusung bendera fair play di setiap pertandingan internasional jika membiarkan 'pelanggaran brutal' terjadi berulang kali tanpa hukuman? Sudah cukup. Saatnya kita memberi kartu merah untuk FIFA supaya mereka bertindak sebagaimana mestinya. Pasalnya, tidak akan pernah ada fair play sejati di atas tanah yang masih terjajah.
Penulis: Bagas Dharma
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)