Insight | General Knowledge

Mengapa Kasus-Kasus Intoleransi Terus Terjadi?

Kamis, 07 Aug 2025 17:30 WIB
Mengapa Kasus-Kasus Intoleransi Terus Terjadi?
Ilustrasi agama-agama di Indonesia. Foto: Istock
Jakarta -

Ibadah Minggu jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GSKI) di Koto Tangah, Padang yang seharusnya berjalan khidmat berubah mencekam setelah belasan orang memaksa masuk dan melakukan pembubaran paksa. Sebuah video memperlihatkan para jemaat, beberapa di antaranya anak-anak, panik dan menjerit histeris.

F. Dachi, Pendeta GSKI Anugerah Padang, mengatakan peristiwa ini bermula ketika lurah dan ketua RT memanggilnya dan meminta ibadah dibubarkan. Tak berapa lama, tiba-tiba datang belasan pria yang mengamuk dan menghancurkan rumah ibadah. Akibat insiden ini, dua anak kecil dilaporkan menjadi korban pemukulan.

Wali Kota Padang Fadly Amran menyampaikan permintaan maafnya. Namun, ia menganggap apa yang terjadi hanyalah kesalahpahaman terkait perizinan dan sama sekali tidak berhubungan dengan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).

Alasan ini pula yang digunakan Kepala Desa Tangkil, Cidahu, Sukabumi ketika warganya membubarkan paksa retret pelajar Kristen yang, ironisnya, hanya berselang sebulan sebelum kasus di Padang. Ia mengatakan, pembubaran paksa itu adalah bentuk protes warga karena rumah singgah dijadikan tempat ibadah tanpa izin.

Apabila benar kasus-kasus intoleransi hanya terkait perizinan seperti kata pejabat, tentu kita tidak akan menyaksikan pembubaran paksa, perusakan, pembakaran, pengeroyokan, bahkan pembunuhan. Sayangnya, intoleransi di Indonesia jauh lebih kompleks dari sekadar persoalan administratif.

.Pemberantasan PKI adalah awal mula intoleransi dimulai./ Foto: Nationaal Archief

Sengkarut Agama dan Politik

Bom waktu intoleransi di Indonesia sudah tertanam sejak terbitnya Perpres No. 1/1965 yang melarang setiap orang melecehkan agama atau melakukan penafsiran menyimpang. Beleid ini diteken Presiden Soekarno guna mengakomodir kepentingan kelompok Islam membatasi penganut aliran kepercayaan yang dianggap "menodai" agama.

Namun, agama bukan satu-satunya motif di balik kepentingan tersebut. Dalam Islamisation and Its Opponents in Java (2012), M.C. Ricklefs mencatat bahwa rentang 1960-1965 merupakan periode politik intens antara kelompok Islam dan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang ketika itu memiliki pengaruh kuat di kalangan penganut aliran kepercayaan. Massa dari kedua kelompok terlibat konfrontasi di berbagai wilayah hingga menimbulkan korban jiwa.

Dalam konteks politik inilah kelompok Islam melihat penganut aliran kepercayaan sebagai ancaman. Di era Orde Baru, ketentuan Perpres No.1/1965 tidak dihapus dan justru menjadi bagian dari Pasal 156a KUHP yang menuntut pelaku dengan ancaman penjara maksimal lima tahun-kelak dikenal dengan "pasal penodaan agama".

Jatuhnya Soekarno dan hancurnya PKI juga tidak serta-merta membuat ketegangan politik berkurang dan membuat kehidupan antarumat beragama membaik. Konflik antara umat Islam dan Kristen mulai terjadi di beberapa wilayah. Pada pertengahan 1967, misalnya, berturut-turut terjadi perusakan gereja di Jakarta dan Makassar.

Melihat situasi yang semakin panas, organisasi-organisasi Islam mengusulkan pemerintah untuk mengatur prosedur pembangunan tempat ibadah. Gayung bersambut, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 1969 yang pada dasarnya mengatur rumah ibadah hanya boleh dibangun dengan persetujuan pejabat daerah dengan mempertimbangkan "kondisi dan keadaan setempat".

Human Rights Watch (HRW), dalam laporan berjudul Atas Nama Agama: Pelanggaran Terhadap Minoritas Agama di Indonesia (2013), mencatat bahwa SKB 1969 ini menjadi celah bagi pelanggaran kebebasan beragama. Pada 1979, misalnya, pemerintah daerah di Singkil, Aceh Selatan mendesak umat Kristen untuk menandatangani persetujuan hanya boleh memiliki satu gereja, kendati sudah ada 14 gereja di daerah tersebut.

Umat Kristen "membalas" perlakuan ini dengan menghambat pembangunan masjid. Layaknya bom waktu, pasal "karet" penodaan agama dan SKB tentang rumah ibadah membuka pintu bagi terjadinya kekerasan antar umat beragama dan antaretnis di masa mendatang.

.Pelarangan rumah ibadah./ Foto: Getty Images

Pembiaran Sistematis

Tumbangnya Soeharto membuka kotak pandora kerukunan di Indonesia. Konflik-konflik antar umat beragama dan antaretnis langsung pecah di berbagai wilayah, menyebabkan ribuan orang menjadi korban dan puluhan ribu lain mengungsi. Bagi minoritas agama seperti Ahmadiyah, ini sama sekali bukan pertanda baik.

Sejak keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan terbitnya SKB 3 menteri pada 2008 yang memerintahkan seluruh jemaat Ahmadiyah untuk menghentikan semua kegiatannya, mereka mulai mengalami gelombang persekusi. Pembiaran negara atas kasus kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah berujung fatal. Pada 2011, jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten diserang ribuan orang bersenjatakan balok, parang, dan golok.

Tragedi mengerikan itu mengakibatkan tiga jemaat tewas, lima lainnya luka berat, dan satu mobil dibakar. Seorang korban mengatakan bahwa aparat keamanan yang kalah jumlah membiarkan penyerangan itu, bahkan beberapa di antaranya "menyaksikan sambil merokok."

Pembiaran serupa terjadi dalam kasus kerusuhan di Tanjungbalai, Sumatera Utara pada Juli 2016. Kerusuhan itu dipicu Meiliana, seorang warga keturunan Tionghoa, yang mengeluhkan kerasnya volume speaker masjid. Massa yang tak terima menuduh Meiliana menista agama Islam, lalu membakar sejumlah vihara dan kelenteng. Saksi mata mengatakan tidak ada aparat keamanan yang berjaga pada malam kerusuhan.

SETARA Institute mencatat selama 2007-2022 terjadi 573 tindakan intoleransi yang meliputi pembubaran paksa, penolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan sebagainya.

Pembiaran secara sistematis dan minimnya tindakan tegas untuk pelaku memperkuat keyakinan individu dan kelompok intoleran bahwa mereka akan lolos dari jerat hukum. Dalam banyak kasus, pelaku hanya dijerat dengan hukuman ringan. Di kasus penyerangan Cikeusik, para pelaku hanya dijatuhi vonis tiga sampai enam bulan penjara, meskipun jatuh korban jiwa.

Ketika negara absen dalam memberikan perlindungan, maka masyarakat dibiarkan membentuk norma "kerukunan" masing-masing. Konsep kerukunan semacam ini berbahaya karena akan dimaknai sebagai penyesuaian pihak minoritas terhadap kehendak mayoritas.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Meskipun tidak ada rumus baku untuk mencegah terulangnya kasus-kasus intoleransi di Indonesia, kita bisa mengambil pelajaran dari kota-kota yang relatif lebih toleran. Dalam Indeks Kota Toleran yang dirilis SETARA Institute, kota-kota seperti Singkawang, Salatiga, Manado, dan Pontianak konsisten menempati urutan teratas sebagai kota paling toleran. Lalu, apa yang membedakan mereka dari kota-kota lain?

SETARA Institute mencatat setidaknya ada tiga hal yang menentukan toleran atau tidaknya sebuah kota, yakni kepemimpinan kemasyarakatan, kepemimpinan politik, dan kepemimpinan birokrasi. Ketiganya menjadi pilar penting dalam membentuk iklim sosial yang menghargai keberagaman dan menjamin hak-hak warga negara.

Di Singkawang, misalnya, pemerintah kota tidak hanya mengkampanyekan kerukunan, tetapi juga menerbitkan produk-produk hukum yang mempromosikan toleransi. Sementara di Salatiga, pendekatan yang diambil lebih banyak melalui pelibatan komunitas dan pendidikan, misalnya melalui kerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga keagamaan untuk menyelenggarakan dialog lintas agama.

Pendidikan juga menjadi penentu. Pendidikan yang menumbuhkan kesadaran keberagaman sejak dini akan menjadi bekal berharga dalam membentuk generasi yang toleran dan inklusif. Sayangnya, kasus-kasus intoleransi yang melibatkan pendidik di lingkungan sekolah beberapa waktu terakhir membuat hal ini menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat.

Sebagai individu, tindakan minimal yang bisa kita lakukan untuk mencegah terulangnya kasus-kasus intoleransi adalah memperbanyak interaksi dengan kelompok yang berbeda latar belakang agama, keyakinan, atau budaya untuk memperdalam pemahaman dan memperluas empati.

Terakhir, negara tidak bisa membiarkan tindakan intoleransi atas alasan apapun, terlebih kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin oleh konstitusi sebagai hak dasar setiap warga negara. Intoleransi memang persoalan kompleks, tetapi tanpa political will yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan untuk mencegahnya, serpihan bom waktu ini suatu hari akan melukai generasi mendatang.


Penulis: Arlandy Ghiffary

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS