Insight | General Knowledge

Bebas Beragama, Belum Bebas Beribadah

Selasa, 20 Dec 2022 14:01 WIB
Bebas Beragama, Belum Bebas Beribadah
Foto: Hop Church
Jakarta -

Menjelang hari Natal, suasana gembira dan hangat biasanya menyelimuti berbagai sudut kota-tapi ternyata tidak demikian bagi umat Kristiani di kecamatan Maja, Banten. Maja adalah satu dari sekian daerah di Indonesia yang tidak memiliki gereja   sebuah fenomena yang, sayangnya, masih lazim ditemui meski warga Indonesia kerap menggaungkan semangat toleransi dan keberagaman. Akibatnya, selama ini umat harus bersiasat untuk beribadah di tempat-tempat non-resmi seperti ruko atau gedung serbaguna.

Namun, Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya, telah memutuskan bahwa pemerintah daerah tak mengeluarkan izin beribadah Natal di kecamatan Maja. Keputusan ini merupakan hasil kesepakatan rapat dengan Forum Komunikasi Umat Beragama, dan disampaikan dalam rapat koordinasi persiapan Natal dan Tahun baru pada Rabu (14/12). Oleh karena itu, ia mengimbau kepada warga Kristiani untuk beribadah Natal di Rangkasbitung, yang jaraknya 20 kilometer dari Maja.

Sebelumnya, umat Kristen di Maja memang sudah mengajukan izin agar diperbolehkan melangsungkan ibadah Natal di Eco Club Citra Maja Raya, yaitu sebuah fasilitas serbaguna yang ada di komplek perumahan. Izin ini kemudian ditolak oleh Bupati karena menurutnya pengembang dan sejumlah warga merasa keberatan kalau pemukiman dijadikan tempat beribadah. Iti Octavia mengatakan lebih lanjut, tempat-tempat ini juga tidak mengantongi izin untuk digunakan sebagai tempat ibadah, sehingga beribadah di Rangkasbitung akan lebih "kondusif dan aman".

Pernyataan Bupati Lebak ini mendapat berbagai respons dari masyarakat, yang sebagian besar bernada negatif. Pasalnya, keputusan tersebut terkesan mendiskriminasi dan menghalangi ibadah warga Kristen yang sebentar lagi akan merayakan Natal. Namun menurut Bupati, ia tidak pernah melarang umat Kristen untuk beribadah, ia hanya mengimbau agar warga mengikuti aturan yang ada. Pun menurutnya, hingga kini belum ada izin pembangunan gereja yang diajukan kepadanya. "Jadi silakan beribadah, kami tidak menghalangi. Tapi beribadah di gereja-gereja yang sudah ada," ucap Iti Octavia dikutip dari Detik.

.Ilustrasi kristiani beribadah/ Foto: Pexels

Realita Kelompok Minoritas

Kemarahan warga terhadap sikap Bupati Lebak sangat bisa dimaklumi, sebab kebebasan beragama   dan kebebasan beribadah   seharusnya dilindungi dan difasilitasi oleh negara. Sedangkan apa yang terjadi di Lebak adalah kebalikannya, di mana warga tidak bisa mengakses rumah ibadah dengan mudah. Sekilas apa yang terjadi di Maja mungkin terlihat seperti persoalan administratif yang bersifat teknis. Tapi rasanya terlalu naif, juga tidak adil bagi penganut agama minoritas, kalau apa yang mereka alami ini disederhanakan sebagai masalah perizinan semata.

Faktanya, izin untuk mendirikan rumah ibadah agama-agama minoritas memang kerap kali dipersulit, entah itu melalui peraturan yang diskriminatif atau penolakan secara terang-terangan dari warga setempat. Kasus lainnya yang hampir serupa dengan yang terjadi di Maja adalah penolakan 3 bangunan gereja di Parung Panjang pada tahun 2017 silam. Alasannya, karena ketiga gereja yang berlokasi di perumahan tersebut tidak memiliki izin dan warga setempat menolak apabila rumah tinggal dimanfaatkan sebagai tempat ibadah.

Masalahnya, ketika jemaat sereja mengajukan perizinan untuk mendirikan gereja, izin tersebut justru seringkali dipersulit atau ditolak mentah-mentah. Bulan September lalu, pembangunan Gereja HKBP Maranatha di Cilegon ditolak oleh sejumlah elemen masyarakat dan pemerintah daerah, kendati para jemaat sudah menanti 15 tahun untuk terbitnya izin tersebut. Padahal, pembangunan gereja tersebut sudah memenuhi persyaratan administrasi.

Jadi, wajar saja kalau ketiadaan rumah ibadah agama minoritas menjadi pemandangan yang umum di beberapa daerah. Meski Bupati Lebak mengklaim daerahnya sebagai tempat yang menjunjung tinggi kebhinnekaan, tapi data berkata sebaliknya. Berdasarkan data BPS tahun 2020, Maja Memiliki 101 masjid dan 64 mushola. Sementara itu, sama sekali tidak ada rumah ibadah agama lain di kecamatan ini.

Rupanya hal ini terjadi di hampir semua kecamatan di Kabupaten Lebak, kecuali Rangkasbitung. Dari total 28 kecamatan yang ada di Kabupaten Lebak, hanya Rangkasbitung yang memiliki keberagaman rumah ibadah   terdiri dari 2 gereja Protestan, 1 gereja Katolik, dan 1 vihara. Bisa dibayangkan, betapa sulitnya bagi warga Kristiani, warga Hindu, dan warga Buddha yang tinggal di Lebak untuk sekedar mengakses rumah ibadah.

.Ilustrasi masjid/ Foto: Pexels

Standar Ganda

Di sisi lain, kesulitan untuk beribadah tak dialami oleh kelompok mayoritas   dalam kasus ini, umat Muslim. Kenyamanan beribadah bagi umat Muslim tidak hanya ditunjukkan melalui banyaknya jumlah masjid dan mushola, namun juga melalui fleksibilitas kebijakan yang tidak berlaku bagi agama lain. Selama ini, umat Muslim cenderung memiliki keleluasaan untuk beribadah, bahkan ketika ibadah tersebut dilakukan di ruang publik yang seharusnya dipakai bersama.

Masih segar dalam ingatan, seorang warga di Medan yang mengeluhkan volume suara azan berakhir divonis 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan karena dinilai telah melakukan penistaan agama. Meski vonis ini menyulut kemarahan banyak warga karena dinilai tak adil, tapi Presiden Jokowi bahkan mengatakan ia "tidak bisa mengintervensi" hukum yang berlaku. Sebaliknya, kelompok-kelompok yang menghalang-halangi pembangunan rumah ibadah dan secara terang-terangan menolak kehadiran warga beragama lain hampir tidak pernah diseret ke pengadilan.

Hak-hak umat beragama sebenarnya telah diatur melalui SKB 2 Menteri yang menjabarkan tugas kepala daerah dalam menjaga kerukunan umat beragama dan memfasilitasi pendirian rumah ibadah. Dalam SKB tersebut, kepala daerah wajib "memelihara ketentraman" dan "menumbuhkembangkan keharmonisan". Kemudian dalam aturan tersebut ada juga persyaratan pendirian rumah ibadah yang mewajibkan adanya dukungan dari masyarakat setempat paling sedikit 60 orang. Namun dengan maraknya sikap diskriminatif dari warga setempat, terang saja pengajuan izin rumah ibadah masih menjadi isu yang menghantui kelompok minoritas.

Segala macam sikap yang melanggar kebebasan beragama sejatinya bertentangan dengan Pancasila, tapi realitanya hal ini tak berlaku bagi kelompok minoritas yang berulang kali mengalami diskriminasi. Dengan kondisi seperti itu pemerintah seharusnya bisa "pasang badan" untuk melindungi dan memfasilitasi hak-hak kelompok minoritas, bukan justru bersikap permisif terhadap sikap-sikap intoleran. Sebab jaminan kebebasan beribadah seharusnya berlaku bagi semua agama yang ada di Indonesia, dan bukan bagi pemeluk agama mayoritas semata.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS