Dalam banyak hal, tawa merupakan cara kita bertahan saat dunia terasa terlalu serius, rumit, atau menyakitkan. Berdasarkan sejarah panjang umat manusia, barangkali tidak ada satupun mekanisme self defense yang lebih universal daripada tawa. Ini sesuai dengan teori Freudian yang kemudian ditulis ulang oleh Diane Grande, Ph.D. dalam tulisannya yang mengulas tentang bagaimana mekanisme pertahanan bekerja.
Dia mengungkapkan bahwa tawa merupakan mekanisme pertahanan diri yang dapat mengurasi kecemasan dan dapat membantu meredakan intensitas kesedihan tanpa menghindari emosi. Namun demikian, seperti banyak hal lainnya dalam kehidupan bermasyarakat, tawa bukanlah sesuatu yang netral.
Sejatinya tawa adalah ekspresi yang punya arah, punya sasaran, dan punya akibat secara sosial. Di situlah letak kegelisahan kita hari ini, ketika komedi yang katanya sekadar hiburan atau pelarian saat hidup terlalu menjemukan, sebenarnya sedang bekerja dalam diam, membentuk cara kita memandang dunia dan sesama.
Normalisasi Ketimpangan lewat Candaan Sehari-hari
Komedi populer-utamanya di era digital-tidak hanya menampilkan realitas, tetapi ikut mengonstruksikannya. Melalui cuplikan sketsa, potongan video TikTok, dialog situasi komedi (sitkom), hingga meme sehari-hari yang lewat di beranda media sosial. Berdasarkan fakta tersebut, masyarakat disodori gambaran tentang siapa yang diterima, siapa yang lucu, siapa yang harus diagungkan, dan siapa yang pantas ditertawakan.
Sayangnya, tawa kita terkadang menggantungkan kelucuan pada olok-olok stereotip sosial yang menyasar mereka yang berbeda. Misalnya seperti yang logatnya medok, bajunya norak, kulitnya lebih gelap, atau profesinya dianggap rendahan. Komedi jenis ini tidak hanya menertawakan "yang lain", tetapi juga secara perlahan menstimulasi penonton untuk menerima ketimpangan sebagai bagian dari keseharian yang lucu dan normal.
Hal itulah yang disebut sebagai normalisasi ketimpangan sosial, yaitu ketika kondisi sosial masyarakat yang tidak adil menjadi begitu wajar, begitu rutin ditampilkan, hingga kehilangan daya gugatnya. Ketika si miskin selalu divisualisasikan sebagai pemalas atau si kampungan sebagai bahan tertawaan. Kemudian, masyarakat lama-lama menyerap gagasan bahwa kemiskinan dan ketertinggalan adalah sesuatu yang pantas direspon dengan gelak tawa, bukan sesuatu yang harus diperjuangkan untuk diubah kondisinya.
Maka ketimpangan yang semestinya mengusik nurani, justru berubah menjadi bagian dari lelucon harian bagi yang tidak merasa terganggu. Padahal, jika berpikir lebih dalam dengan menilik sejarahnya, komedi mulanya dijadikan sebagai alat perjuangan sosial melalui panggung teater komedi pada sekitar abad ke-5 SM yang ditulis oleh Aristophanes, yang kini dikenal sebagai "Bapak Komedi" karena karyanya tersebut.
Di era media sosial, algoritma memperparah fenomena ini. Pola pikiran yang penting viral, mendorong orang untuk menciptakan konten yang cepat dikenali, mudah direspons, dan akrab di kepala banyak orang. Menggunakan stereotip sosial seseorang atau suatu komunitas menjadi bahan paling laris karena tidak membutuhkan penjelasan panjang.
Seorang kreator lebih mudah viral dengan menirukan gaya bicara orang NTT atau Sumatera Utara, dibanding menyampaikan kritik sosial yang subtil. Lalu, ketika algoritma memberi imbalan berupa likes dan view, maka komedi pun menjadi alat ekonomi, bukan lagi ruang hiburan, tapi ladang eksploitasi.
Sebenarnya yang paling mengkhawatirkan bukan hanya isi leluconnya, tetapi ketidaksadaran kolektif yang mengiringinya. Kita tidak lagi pernah bertanya, mengapa orang-orang tertentu terus-menerus dijadikan bahan tertawa? Mengapa kekuasaan tidak pernah ditampilkan sebagai objek humor yang menggelitik? Mengapa kelas bawah selalu harus menerima peran sebagai objek tertawa, seperti badut dalam panggung sosial kita?
Dengan gerak senyap, komedi menjadi alat penjinakan sosial. Ia membuat masyarakat merasa sudah cukup dengan tertawa, tanpa perlu bertanya, apalagi bertindak. Apabila menilik lebih dalam melalui sejarah, komedi punya potensi revolusioner, sebab kapan saja bisa menjadi bahasa perlawanan dan senjata bagi mereka yang tak punya panggung politik.
Di tangan yang tepat, humor bisa menyayat lebih tajam dari kritik formal. Namun, untuk itu pelaku komedi harus mulai sadar untuk semestinya meninju ke atas, bukan menendang ke bawah. Ia harus berani menggugat yang mapan, bukan menertawakan yang lemah. Ia harus menciptakan ruang kesetaraan, bukan memperlebar jurang sosial.
Mungkin inilah saatnya kita kembali mengajukan pertanyaan yang jarang muncul di ruang hiburan, apakah komedi kita membebaskan atau malah membelenggu? Apakah ia memperluas cara pandang kita terhadap dunia atau justru mempersempitnya dalam ruang usang yang penuh prasangka? Apakah ia membuka ruang dialog yang setara antar identitas atau hanya mempertegas batas antara yang dianggap "normal" dan yang dianggap "aneh"?
Dalam masyarakat multikultural yang semakin majemuk dan terhubung, peran komedi tidak bisa lagi dianggap sepele. Di balik gelak tawa yang cepat berlalu, ada proses representasi sosial yang bekerja dalam senyap dan bila kita tak waspada, kita akan terus menertawakan sesuatu yang tak sama dalam satu waktu.
Bukan karena mereka lucu, tapi karena kita telah mewajarkan untuk menganggap mereka layak untuk ditertawakan sebagai objek hiburan. Jadi, pertanyaannya kini bukan sekadar: "Apakah ini lucu?", tetapi lebih dalam, yaitu "Lucu bagi siapa, dan mengorbankan siapa?"
Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)