Insight | General Knowledge

Benarkah Mengirim 'Siswa Nakal' ke Barak Memutus Siklus Kekerasan?

Senin, 30 Jun 2025 16:08 WIB
Benarkah Mengirim 'Siswa Nakal' ke Barak Memutus Siklus Kekerasan?
Ilustrasi anak kecanduan game. Foto: Unsplash
Jakarta -

Kalau sekolah tak lagi bisa buat kamu disiplin, mungkin kasur tipis dan teriakan ala barak militer bisa. Ya, inilah kebijakan baru dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM) yang berani menggiring siswa-siswi yang dianggap 'nakal' ke barak militer demi membentuk karakter mereka lewat pendekatan militeristik. Bagi Dedi Mulyadi, salah satu kategori siswa nakal adalah anak-anak yang kecanduan game online.

Memang benar masalah kecanduan game di Indonesia bukan persoalan kecil. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat sebanyak 42,23% pemain game online menghabiskan waktu lebih dari 4 jam per hari untuk bermain. World Health Organization (WHO) bahkan memasukkan gaming disorder sebagai kondisi gangguan mental. Jika tidak segera diatasi, kecanduan game bisa berdampak buruk bagi kesehatan si pelaku.

Namun demikian, sejak awal program ini sebenarnya telah menuai kritik dari berbagai kalangan karena dinilai bukan solusi yang tepat. Dikutip dari Detik, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah, mengatakan program ini tidak ditentukan berdasarkan asesmen psikolog profesional dan berpotensi melanggar hak anak.

Tetapi, KDM tidak mundur. Ia bahkan menyebut pihak-pihak pengkritik program barak militer sebagai "pembenci" yang tidak memiliki jiwa nasionalisme. Dalam beberapa kesempatan, Dedi menekankan bahwa program ini dilakukan semata-mata demi membentuk karakter generasi muda yang disiplin, tangguh, dan cinta tanah air.

Tetapi, benarkah anggapan karakter disiplin seorang anak hanya bisa dibentuk lewat pendekatan yang keras ala militer?

Memikirkan Ulang Makna Disiplin

Di zaman nenek-kakek kita, menegur dengan cara yang keras secara verbal dan nonverbal-memukul atau memarahi keras-dianggap sebagai parenting yang wajar untuk mendisiplinkan anak-anaknya. Sebagian dari kita tumbuh dengan mendengar cerita sabetan rotan, pukulan sapu, jeweran, atau teguran keras yang dianggap lumrah saat itu. Bahkan, kita sendiri mungkin masih mengalami parenting dengan pendekatan keras.

WHO mencatat bahwa 6 dari 10 anak di dunia hari ini masih mengalami kekerasan fisik atau psikologis oleh orang tua atau pengasuhnya. Dampaknya, anak berpotensi besar mengalami gangguan kesehatan fisik, mental, atau seksual.

Nada serupa diungkapkan organisasi American Academy of Child & Adolescent Psychiatry (AACAP) yang menyebut beberapa dampak buruk anak korban kekerasan, di antaranya perilaku agresif, kemarahan tidak terkendali, keinginan untuk bunuh diri, kecemasan, depresi, dan lain-lain. Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak dari dampak ini baru muncul bertahun-tahun kemudian saat menjadi orang tua. Akhirnya, anak mengulang siklus kekerasan yang pernah mereka alami.

Pendekatan keras tidak membentuk anak menjadi pribadi yang betul-betul disiplin, melainkan hanya patuh karena takut. Memukul anak, tulis American Psychological Association (APA), tidak mengajarkan mereka tentang tanggung jawab, kendali diri, dan membedakan mana yang benar dan salah. Alih-alih menjadi disiplin, pendekatan yang keras justru membuat anak tidak mampu memahami alasan dari sebuah aturan dan dan tidak memiliki kendali atas dirinya.

Kembali ke Taman Siswa

Selama berpuluh-puluh hari, ratusan 'siswa naka' dari berbagai daerah di Jawa Barat dipaksa hidup dengan disiplin militer. Masalahnya, pendekatan ini tidak menyentuh akar masalah. Kenapa anak tidak tertib? Kenapa mereka bolos? Apakah karena malas, karena sedang bergulat dengan masalah keluarga, tekanan mental, atau lingkungan yang tidak mendukung?

Berbeda dengan kehidupan sipil yang masih memungkinkan adanya diskusi yang setara, pendekatan militeristik menekankan kepatuhan terhadap otoritas. Hal ini tentu tidak sejalan dengan psikologi anak yang sedang belajar membangun kepercayaan diri dan memahami nilai-nilai di luar dirinya.

Erik Erikson, dalam Childhood and Society (1950), memperkenalkan 8 tahap perkembangan psikososial anak yang sampai hari ini masih sering dijadikan rujukan. Pada umur 12-18 tahun (tahap 5), seorang anak dihadapkan pada kebingungan tentang identitas dirinya. Di fase inilah lingkungan yang suportif dibutuhkan ketika ia mulai mengeksplorasi jati diri. Namun, jika ruang tersebut menuntutnya untuk tunduk secara mutlak dan menutup ruang dialog, yang terjadi adalah krisis identitas yang semakin parah.

Pendekatan militeristik juga sangat bertolak belakang dengan konsep pendidikan dari Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara. Lewat Taman Siswa yang didirikannya, ia mengenalkan metode 'among' (asah, asih, asuh). Dikutip dari laman Kementerian Kebudayaan RI, tujuan penerapan metode among adalah untuk menghindari segala bentuk paksaan dari pendidik ke murid dan memberi "tuntutan" bagi hidup anak-anak agar dapat berkembang dengan subur dan selamat, baik lahir maupun batinnya.

Ki Hajar Dewantara percaya bahwa pendidikan tidak semestinya menyeragamkan pikiran dan tubuh seperti mengirim murid ke barak militer, melainkan harus menciptakan ruang untuk bertumbuh secara utuh agar murid mampu memuliakan dirinya dan orang lain.

Lebih dari seabad lalu, Ki Hajar Dewantara sudah paham betul bahwa pendidikan karakter harus dibentuk dengan perasaan sukacita lewat seni. Dikutip dari laman Tirto.id, murid Taman Siswa dikumpulkan setiap hari Rabu untuk berlatih seni tari, tembang, dan permainan (dolanan). Seni dan permainan adalah cara, bagi Ki Hajar Dewantara, untuk memperhalus budi pekerti.

Bapak Pendidikan kita sudah menyediakan blueprint pendidikan nasional yang sebenarnya tinggal disesuaikan dengan perkembangan zaman. Bayangkan kalau program "Rabu Bermain" diterapkan untuk anak-anak sekolah. Mereka bisa menyalurkan energi negatifnya lewat musik, tari, atau bahkan permainan. Bukankah lebih masuk akal dan humanis?

Untuk sebagian orang, program barak militer KDM mungkin terlihat tegas dan mampu menyelesaikan semua persoalan. Namun apakah ini pilihan yang tepat untuk memutus siklus kekerasan di antara anak-anak? Sebagaimana kata pepatah, "Untuk orang yang hanya punya palu, semua masalah terlihat seperti paku."

Apakah kamu salah satu yang setuju dengan kebijakan ini?

Penulis: Arlandy Ghiffary

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS