Insight | General Knowledge

Skripsi dan Ilusi Meritokrasi: Warisan Kolonial yang Menyaring, Bukan Membebaskan

Senin, 23 Jun 2025 15:58 WIB
Skripsi dan Ilusi Meritokrasi: Warisan Kolonial yang Menyaring, Bukan Membebaskan
Ilustrasi skripsi di Indonesia. Foto: Unsplash
Jakarta -

Di tengah tuntutan kelulusan, banyak mahasiswa di Indonesia menghadapi tantangan berat dalam menyelesaikan tugas akhirnya. Berbeda dengan negara tetangga, skripsi seringkali menjadi satu-satunya gerbang menuju gelar sarjana, memicu berbagai kisah perjuangan yang menguras waktu dan tenaga. Fenomena ini bisa kita lihat dari perbandingan pengalaman dua mahasiswa bernama Azlan dan Rani.

Azlan, mahasiswa tingkat akhir di Malaysia, sedang menjalani program magang di sebuah perusahaan teknologi. Di sela pekerjaannya, ia mengerjakan laporan praktik kerja sebagai bagian dari penilaian akhir kuliahnya. Sementara di seberang Selat Malaka, Rani adalah seorang mahasiswa S1 di Jakarta, sudah enam bulan berjuang menyelesaikan skripsinya yang tertunda akibat pergantian dosen pembimbing. Ia mengulang revisi untuk ketiga kalinya, sambil menyulap waktu antara kerja paruh waktu dan bimbingan yang sering tertunda.

Dari gambaran keduanya terlihat, untuk menjadi seorang sarjana, mahasiswa di Indonesia kerap mengalami hambatan kelulusan akibat persyarakat skripsi yang berbelit. Padahal dalam sistem pendidikan yang katanya demokratis dan inklusif, skripsi justru menjadi penyaring kelas sosial dan pemicu ketimpangan akses akademik.

Ini mengikis idealisme meritokrasi, sebuah sistem di mana kemajuan dan kesuksesan ditentukan oleh kemampuan atau bakat individu, bukan oleh latar belakang sosial atau kekayaan. Dalam konteks pendidikan, meritokrasi seharusnya memastikan setiap mahasiswa memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil berdasarkan usaha dan kemampuan akademiknya.

Namun realita skripsi di Indonesia justru sering menunjukkan sebaliknya, yang memungkinkan itu menjadi penghalang bagi mereka yang kurang memiliki akses atau koneksi.

Lantas, mengapa Indonesia begitu sakral terhadap skripsi, sementara negara tetangga seperti Malaysia telah memilih jalur yang lebih pragmatis?

Akar Historis dan Perbandingan Sistem Pendidikan

Semua berawal dari sistem pendidikan tinggi yang masih berakar dari kolonial Belanda. Indonesia mengadopsi sistem Belanda yang berbasis model Humboldtian, dikembangkan di Jerman awal abad ke-19. Dalam model ini, riset bukan hanya kewajiban akademik, tapi inti dari pembentukan intelektual. Pendidikan tinggi dianggap tidak sah tanpa pengalaman menulis karya ilmiah orisinal, meski untuk mahasiswa S1.

Sementara Malaysia mengambil pendekatan berbeda. Sebagai bekas koloni Inggris, sistem pendidikan mereka mengadopsi model British pragmatic system yang menekankan keterampilan praktis dan evaluasi berkelanjutan melalui coursework, proyek kelompok, dan magang. Ironisnya, Belanda sendiri kini lebih fleksibel.

Universitas-universitas terapan (hogescholen) seperti HAN University dan Fontys kini membolehkan mahasiswa S1 menyelesaikan studi melalui proyek tim atau laporan magang sebagai bentuk tugas akhir. Sementara itu, di Universiti Teknologi MARA (UiTM) dan Universiti Malaya, mahasiswa diberi beberapa pilihan jalur penyelesaian studi yaitu dengan 100% coursework, kombinasi coursework & laporan magang, atau proyek akhir berbasis tim. Dengan struktur yang adaptif, mahasiswa Malaysia lebih cepat terhubung ke dunia kerja dan tak tersandera oleh satu format tunggal kelulusan

Lalu, mengapa skripsi begitu tak tergoyahkan di Indonesia? Jawabannya sederhana: konservatisme institusional.

Di banyak perguruan tinggi, skripsi diposisikan sebagai "mahkota akademik"-tolok ukur kedewasaan intelektual. Padahal, di banyak kasus, skripsi justru jadi ladang plagiat dan formalitas yang membosankan. Dalam Pedagogy of the Oppressed, Paulo Freire mengkritik sistem pendidikan yang menempatkan murid sebagai "wadah kosong" untuk diisi.

Ia menyebutnya "banking model of education"-pengajaran lebih menekankan hafalan daripada pengalaman yang membebaskan. Skripsi, jika dipaksakan sebagai bentuk tunggal tanpa konteks, justru berisiko memperkuat model ini: menulis untuk formalitas, bukan untuk pemahaman.

Skripsi di Indonesia saja tidak netral. Ia bekerja sebagai alat seleksi sosial-yang menyaring mereka yang punya akses, koneksi, dan waktu. Ivan Illich, dalam bukunya Deschooling Society, menyatakan bahwa lembaga pendidikan sering kali lebih peduli pada mempertahankan sistemnya daripada mengembangkan individu.

Jika skripsi dijadikan syarat tunggal kelulusan tanpa mempertimbangkan latar belakang dan potensi mahasiswa, bukankah sistem justru sedang melanggengkan eksklusi, bukan inklusi? Mahasiswa dari keluarga menengah-bawah cenderung bekerja sambil kuliah, membuat mereka kesulitan menyediakan waktu, biaya riset, atau bahkan mengakses bimbingan dosen yang cenderung pilih kasih.

Laporan dan observasi dari berbagai kampus menunjukkan bahwa banyak skripsi mahasiswa Indonesia tidak relevan dengan kebutuhan industri. Jadi untuk siapa sebenarnya skripsi ditulis? Padahal faktanya sering berseliweran pemberitaan terkait skripsi-skripsi mahasiswa yang dibuang oleh kampus dengan alasan sudah tidak terpakai.

.Ilustrasi mahasiswa di universitas./ Foto: Unsplash

Menuju Pendidikan yang Lebih Adaptif dan Membebaskan

Beberapa kampus sudah mulai melirik alternatif yaitu pertama, kampus vokasi mulai memberikan opsi tugas akhir berupa proyek tim atau portofolio digital dan Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 sudah memungkinkan fleksibilitas bentuk tugas akhir, termasuk prototipe, proyek, atau bentuk lain yang sesuai dengan capaian pembelajaran.

Namun, karena aturan nasional masih multitafsir, banyak kampus tetap memaksakan skripsi sebagai kewajiban tunggal, mengabaikan kemungkinan pendekatan yang lebih kontekstual. Jika Belanda-si empunya model pendidikan riset-sudah memberi ruang fleksibilitas, mengapa Indonesia masih mempertahankannya sebagai doktrin mutlak?

Mungkin sudah saatnya kita berhenti bertanya: "Skripsi atau bukan skripsi?" dan mulai bertanya: "Untuk siapa pendidikan ini dibentuk?" Jika pendidikan tinggi adalah jembatan menuju masa depan, mengapa kita masih mengukur kedewasaan intelektual dari dokumen baku, bukan dari keberdayaan dan kebermaknaan?

Di tengah tantangan zaman, dunia kampus mestinya mengutamakan meaningful learning, bukan ritual akademik yang kaku. Pendidikan tinggi tidak boleh menjadi penjara ideologis, apalagi alat penyiksaan sistemik. Sebab, pendidikan seharusnya membebaskan, bukan menyaring. Menghidupkan, bukan menyiksa. Lantas skripsi, pada akhirnya, bisa menjadi bentuk dari itu-tapi juga bisa bukan.

Universitas bisa saja membuat sebuah aturan baru dengan menyediakan beragam pilihan jalur kelulusan, misalnya skripsi, proyek tim, laporan magang, atau portofolio digital sesuai dengan kebutuhan industri serta potensi mahasiswa itu sendiri.

Sementara, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi semestinya memastikan implementasi nyata Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, agar fleksibilitas ini tidak hanya berhenti sebagai regulasi di atas kertas.

Lalu, mahasiswa dan dosen punya peran krusial untuk bersama-sama menggugat narasi usang bahwa skripsi adalah satu-satunya tolok ukur "kematangan ilmiah," demi pendidikan tinggi yang lebih adaptif, relevan, dan memberdayakan.

Menurutmu, apakah skripsi masih relevan jadi jalur utama untuk meraih gelar sarjana yang bergengsi?

Penulis: Andy Wijaya
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS