Lebih dari 1 juta tenaga kesehatan yang tergabung dalam Asosiasi Medis India melakukan mogok kerja selama 24 jam pada Sabtu (17/8/2024). Aksi ini merupakan buah dari kemarahan terhadap pemerkosaan dan pembunuhan yang terjadi kepada seorang dokter magang berusia 31 tahun di RG Kar Medical College, di kota Kolkata. Akibatnya, layanan kesehatan di India sempat terhenti kecuali untuk Unit Gawat Darurat.
Kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang terjadi di RG Kar Medical College menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual yang telah menghantui perempuan India selama bertahun-tahun. Salah satu kasus serupa yang pernah terjadi adalah gang rape dan pembunuhan terhadap pelajar berusia 23 tahun yang terjadi di sebuah bus di New Delhi pada 2012, yang dikenal dengan kasus Nirbhaya. Semenjak kasus itu terjadi, pemerintah telah berupaya untuk memperketat hukum menyangkut kekerasan seksual. Namun kenyataannya, kekejaman demi kekejaman terhadap perempuan masih terjadi.
Kronologi Kasus Pemerkosaan dan Pembunuhan di Kolkata
Setelah bertugas selama 36 jam, korban beristirahat di aula seminar RG Kar Medical College and Hospital. Keesokan paginya, ia ditemukan sudah tak bernyawa dalam keadaan setengah telanjang dan tubuh dipenuhi luka. Mulanya, ayah korban menerima informasi dari pihak rumah sakit bahwa putrinya meninggal dunia akibat bunuh diri. Tapi, laporan investigasi menemukan bahwa putrinya telah diperkosa dan dibunuh.
Dilansir Times of India, hasil autopsi menunjukkan terdapat 14 luka pada tubuh korban termasuk pada bagian kepala, leher, wajah, lengan, serta alat kelamin. Selain itu, terdapat tanda-tanda adanya penetrasi secara paksa serta pencekikan yang akhirnya menjadi penyebab utama korban meninggal dunia. Sejauh ini, pelaku pemerkosaan dan pembunuhan diduga lebih dari satu orang.
Oleh karena adanya dugaan kelalaian dari kepolisian setempat dan percobaan untuk menutup-nutupi kasus ini, kasus ini pun akhirnya dilimpahkan kepada Central Bureau of Investigation India (CBI) dan sampai sekarang masih diselidiki.
Budaya Perkosaan di India
Kasus ini membuat para tenaga kesehatan di India marah dan resah karena mereka tidak lagi merasa aman. Di bidang kesehatan, 30 persen dokter dan 80 persen perawat di India terdiri dari perempuan. Meski pemerintah India telah memperketat hukum untuk kekerasan seksual, seperti meningkatkan masa hukuman bagi pelaku dan memperluas definisi pemerkosaan, tapi angka kekerasan seksual masih tergolong tinggi.
Pada tahun 2022 saja, terdapat lebih dari 31 ribu kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Sementara itu, dilansir Reuters, tingkat penghukuman untuk kasus kekerasan seksual dari tahun 2018-2022 hanya mencapai 27 persen hingga 28 persen. Artinya, ada banyak kasus kekerasan seksual yang pelakunya tidak dihukum.
Mahasiswa Doktoral dari Western University, Deeplina Banerjee, dalam artikel The Conversation menuliskan bahwa ada impunitas yang melanggengkan budaya perkosaan di India. Ketika kekerasan seksual terjadi, korban seringkali mengalami victim-blaming, bahkan aparat penegak hukum pun justru cenderung menutup-nutupi kasusnya. Impunitas ini disebabkan oleh political will dari pemerintah dan masyarakat untuk melindungi perempuan.
Di India, budaya patriarki dan misogini masih teramat kental, sehingga kekerasan terhadap perempuan pun dianggap sebagai kewajaran. Ideologi ini membuat laki-laki merasa berhak atas tubuh perempuan, sehingga mereka tidak melihat pemerkosaan sebagai kejahatan yang terjustifikasi.
Banerjee menulis lebih lanjut bahwa harus ada perubahan pola pikir di kalangan masyarakat India agar budaya perkosaan bisa diruntuhkan. Kemudian, pemerintah harus membuat kebijakan yang mendorong adanya pemahaman mengenai consent, baik di kalangan anak-anak, remaja, hingga dewasa. Sebab segala upaya untuk menegakkan hukum akan sia-sia, apabila budaya dan perilaku kekerasan masih diwajarkan.
(ANL/alm)