Insight | General Knowledge

Menelusuri Jejak Opor, Hidangan Lebaran Hasil Pertemuan Budaya

Kamis, 11 Apr 2024 13:30 WIB
Menelusuri Jejak Opor, Hidangan Lebaran Hasil Pertemuan Budaya
Foto: Irhanz, CC BY-SA 4.0, via Wikimedia Commons
Jakarta -

Sebagai hari besar yang dirayakan oleh umat Muslim di seluruh dunia, Idulfitri memiliki berbagai bentuk di belahan dunia berbeda. Setiap daerah dan kebudayaan memiliki tradisi yang berbeda dalam memaknai hari kemenangan ini. Di Indonesia, momen Idulfitri adalah saat di mana kita bersilaturahmi dengan kerabat dan keluarga, saling bermaafan dan membuka lembaran baru. Lalu, hidangan apa yang dirasa sangat identik perayaan ini, bahkan di mayoritas bagian Indonesia? Tentu saja, ketupat yang disajikan bersama opor.

Berasal dari Jawa, opor merupakan hidangan ayam rebus dalam kuah santan yang dibumbui dengan serai, kencur, bawang putih, bawang merah, kemiri, kunyit, dan bahan lainnya. Hidangan daging yang disajikan dalam kuah seperti gulai, kari, hingga soto memang banyak sekali variannya di nusantara—hasil pertemuan berbagai budaya—tidak terkecuali opor. Jika ketupat merupakan hasil asimilasi budaya Islam dengan budaya lokal, maka bagaimanakah asal muasal opor hingga menjadi hidangan yang familiar dengan kita sekarang?

Opor yang Terpengaruh India hingga China

Secara umum, opor terbagi ke dalam dua varian utama—terdapat opor dengan kuah berwarna kuning serta opor dengan kuah berwarna putih. Opor kuning menggunakan kunyit, bahan yang biasa digunakan dalam kuliner India, sedangkan opor berkuah putih lebih dominan dengan santan. Varian kedua yang lebih sering ditemui saat Idulfitri ini juga erat dengan budaya Tionghoa Indonesia.

Selain disajikan saat Lebaran, opor berkuah putih juga bisa ditemui ketika perayaan Cap Go Meh. Bedanya, Opor pada perayaan Cap Go Meh biasanya disajikan dengan lontong, bukan ketupat. Disajikannya opor ketika Idulfitri dan Cap Go Meh memperlihatkan kedekatan budaya Jawa, Tionghoa, dan Islam.

Opor sendiri pertama muncul di Jawa sekitar abad 15 hingga 16 Masehi, dan tidak terlepas dari modifikasi terhadap kari yang sudah hadir lebih dulu di nusantara. Bedanya, opor dikembangkan menyesuaikan lidah orang Jawa dengan tidak menggunakan terlalu banyak rempah-rempah bercitarasa kuat. Salah satu hidangan lain yang disinyalir merupakan basis opor adalah gulai asal Arab.

Sumber lain mengatakan bahwa konon opor diadaptasi dari qorma, hidangan Persia-India yang telah ada sejak masa Kekaisaran Mughal. Masakan ini terbuat dari daging dan sayuran yang dimasak dalam yoghurt atau susu. Hingga saat ini, beberapa negara di Asia Selatan juga menyajikan qorma sebagai hidangan spesial perayaan umat Islam, yaitu Iduladha.

Daging yang digunakan bisa beragam, dari sapi, kambing, hingga domba yang dipotong saat kurban. Daging tersebut kemudian dimasak dalam yoghurt atau susu—kadang tanpa rempah, untuk menonjolkan rasa daging secara penuh.

Negara tetangga kita, Malaysia, juga memiliki qorma versi mereka sendiri. Disebut sebagai gulai kurma, versi ini menggunakan daging ayam, kambing, sapi, atau bahkan rusa sebagai protein utama. Sayuran yang digunakan pun lebih beragam, seperti wortel, kentang, dan tomat. Yang membedakan versi ini dengan aslinya adalah, gulai kurma menggunakan santan dan bukan yoghurt atau susu. Terkadang, ia juga ditambahkan asam jawa untuk memberikan rasa asam. Penggunaan santan ini bisa dilihat mirip dengan opor yang kita kenal.

Faktor banyaknya pesisir dan tersedianya kelapa secara luas di Malaysia dan Indonesia bisa jadi merupakan salah satu faktor modifikasi ini. Tercatat, opor mulai bisa ditemukan di berbagai daerah pesisir sekitar abad ke-15. Catatan abad ke-16 sendiri menyatakan bahwa telah banyak saudagar India yang berdagang di pesisir pantai.

Ternyata, kebiasaan orang Indonesia menyantap ketupat bersama opor ayam konon menjadi tradisi berkat kebiasaan orang Nusantara mencocokkan suatu hal dengan hal lain-atau disebut otak-atik gathuk dalam istilah bahasa Jawa. Berdasarkan kebiasaan mencocokkan ini, nama opor diambil dari ajaran soal kehidupan, yaitu "apura-ingapura" atau "ngapuro" yang berarti saling memaafkan. Konsep ini pun sejalan dengan tradisi Lebaran untuk saling bermaaf-maafan, memperlihatkan bahwa perayaan Idulfitri yang dilakukan di Indonesia ini memang merupakan satu kesatuan.

Apakah kamu sudah puas menyantap hidangan Lebaran satu ini?

[Gambas:Audio CXO]

(cxo/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS