Insight | General Knowledge

Jakarta Dikepung Polusi, Tapi Pindah ke IKN Bukan Solusi

Selasa, 15 Aug 2023 18:30 WIB
Jakarta Dikepung Polusi, Tapi Pindah ke IKN Bukan Solusi
Foto: Detikcom/Agung Pambudhy
Jakarta -

Akhir-akhir ini, warga Jabodetabek hidup di bawah bayang-bayang langit kelabu-bukan karena cuaca mendung, tapi karena kualitas udara yang buruk. Ribuan warga pun terancam mengalami berbagai penyakit, seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut, batuk, dan radang tenggorokan. Berdasarkan pantauan Nafas yang mengukur tingkat pencemaran udara berdasarkan ukuran particulate matter 2.5 (PM2.5), polusi DKI Jakarta pada bulan Juli kemarin mencapai PM2.5 sebesar 47 µg/m3. Sedangkan Tangerang Selatan menjadi kota dengan polusi terburuk, dengan PM2.5 sebesar 60 µg/m3. Padahal, WHO menetapkan ambang batas polusi PM2.5 adalah 5 µg/m3, sehingga jumlah ini jelas melebihi batas aman.

Menanggapi masalah polusi, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa polusi adalah masalah yang sudah bertahun-tahun terjadi di Jakarta, dan pindah ke IKN bisa menjadi salah satu jalan keluar. "Dan salah satu solusinya adalah mengurangi beban Jakarta sehingga sebagian nanti digeser ke Ibu Kota Nusantara," ucap Jokowi dikutip dari detikcom. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa memperbanyak moda transportasi massal dan beralih ke kendaraan listrik juga bisa menjadi solusi atas kualitas udara yang buruk.

Emisi kendaraan bermotor jelas berkontribusi terhadap pencemaran udara, namun apakah dengan ramai-ramai pindah ke IKN akan menyelesaikan permasalahan? Untuk menjawab pertanyaan ini, yang harus dicari adalah akar permasalahan dari polusi udara Jakarta dan sekitarnya.

Pada 2020, Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengeluarkan laporan penelitian yang mencari sumber polusi di lintas batas Provinsi Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pada saat pandemi, ketika aktivitas lalu lintas dan transportasi sedang menurun. Namun, CREA menemukan bahwa kualitas udara tetap buruk, lantaran angin membawa polusi dari PLTU Suralaya, Banten, ke Jakarta.

Dalam radius 100 km dari batas administratif Jakarta terdapat 136 fasilitas industri, termasuk juga pembangkit listrik—dengan jumlah terbanyak di Banten dan Jawa Barat. Aktivitas industri dan pembangkit listrik inilah yang menjadi penyebab utama pencemaran udara di Jakarta dan sekitarnya. CREA juga menyebutkan bahwa pembangkit listrik yang berada di sekitar Jakarta ini menyebabkan 2.500 kematian di wilayah Jabodetabek.

Isu Sistemik
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menampik peran PLTU dalam pencemaran udara. Melansir CNN Indonesia, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Sigit Reliantoro mengatakan bahwa berdasarkan gambar satelit, polusi dari PLTU Suralaya berhembus ke arah Selat Sunda dan bukan ke Jakarta. Sigit lalu mengatakan bahwa kontributor utama pencemaran udara adalah masifnya penggunaan transportasi pribadi.

Berdasarkan pernyataan Jokowi dan KLHK, pemerintah sepertinya sepakat untuk satu suara: masalah dan solusi utama dari pencemaran utama adalah gaya hidup warga yang masih menggunakan kendaraan pribadi. Padahal, pencemaran udara adalah masalah sistemik yang berakar dari buruknya kebijakan. Oktober tahun lalu, untuk kedua kalinya warga memenangkan citizen lawsuit terkait pencemaran udara Jakarta, setelah pemerintah mengajukan banding. Pengadilan Tinggi DKI menetapkan bahwa Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan terbukti melakukan perbuatan melawan hukum karena gagal menjamin hak warga atas udara bersih.

Kemenangan warga dalam gugatan tersebut adalah bukti bahwa pencemaran udara disebabkan oleh kelalaian pemerintah dalam menjamin udara bersih bagi warganya. Kalau hukum telah berkata demikian, seharusnya ada kesadaran dari pemerintah untuk berbenah diri dan memperketat kebijakan terkait pencemaran udara. Tapi alih-alih melakukan evaluasi, pemerintah justru mengajukan kasasi pada Januari lalu. Imbasnya bisa kita lihat hari ini, yaitu udara beracun yang menyelimuti langit Jakarta dan masuk ke paru-paru warga Jabodetabek.

Tidak usah jauh-jauh pindah ke IKN untuk mengatasi masalah polusi. Pada 1998, pemerintah Beijing berhasil mengatasi masalah pencemaran melalui serangkaian kebijakan, tanpa harus memindahkan ibukota. Lagipula, apabila nanti kita semua pindah ke IKN, adakah jaminan bahwa Kalimantan tidak akan bernasib sama seperti Jakarta? Selama pemerintah masih memberi karpet merah bagi industri dan memberikan kelonggaran bagi PLTU, pencemaran udara tak akan pernah teratasi.

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS