Insight | General Knowledge

Dari Objektifikasi Hingga Pelecehan, Kontes Kecantikan Terus Menuai Kritik

Minggu, 13 Aug 2023 14:32 WIB
Dari Objektifikasi Hingga Pelecehan, Kontes Kecantikan Terus Menuai Kritik
Foto: Miss Universe Indonesia
Jakarta -

Miss Universe Indonesia berhasil digelar pada Rabu (3/8/23) lalu di mana Fabienne Nicole Groeneveld dari DKI Jakarta dinobatkan sebagai pemenang. Ini merupakan pertama kalinya Miss Universe Indonesia diadakan setelah lisensinya berpindah tangan dari Yayasan Puteri Indonesia ke PT Capella Swastika Karya yang dipimpin oleh Poppy Capella.

Akan tetapi, selang seminggu setelah kontes kontes tersebut ditutup dengan kemenangan Nicole-yang dijadwalkan melaju ke Miss Universe di El Salvador November nanti-muncul berita buruk mengenai dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh panitia terhadap para finalis.

Melansir kronologi kejadian yang disusun CNN Indonesia, 2 hari sebelum grand final Miss Universe Indonesia para finalis diminta untuk melalui proses body checking, yang sebenarnya tidak ada dalam rundown acara. Body checking pun dilakukan di dalam ballroom yang disekat seadanya di mana banyak orang masih berlalu-lalang. Para finalis mengaku bahwa mereka diminta untuk melepas semua pakaian, termasuk pakaian dalam, lalu diminta untuk berpose. Ketika body checking itu dilakukan, beberapa finalis juga difoto saat tidak menggunakan busana.

Salah satu finalis, Priskilla Jelita Tamariska, mengatakan bahwa ia dibentak saat menutupi tubuh bagian atas, dan dianggap tidak bangga dengan tubuhnya sendiri. "Saya di situ merasa agak tertekan, tapi saya juga tidak bisa berbuat apa-apa karena takut itu sebagai salah satu penilaian," ucapnya dikutip dari CNN Indonesia. Kuasa hukum Jelita, Melissa Anggraini, mengatakan bahwa ada relasi kuasa antara panitia dan kontestan yang membuat mereka tidak bisa menolak, apalagi para panitia menekan mereka dengan dalih "di ajang internasional bakal lebih keras".

Setelah para finalis melaporkan kejadian ini ke kepolisian, fotografer Rio Motret selaku Visual Director MUID dan Eldwen Wang selaku CEO MUID mundur dari posisi masing-masing. Keduanya mengaku tidak mengetahui ada sesi body checking dan tidak berada di lokasi saat kejadian berlangsung. Keduanya pun telah meminta kepada panitia yang terlibat untuk menghapus foto-foto saat body checking.

Meski Sudah Woke, Akarnya Tetap Problematik

Selain di Indonesia, hal serupa pernah terjadi di Filipina pada 2018 ketika beberapa kontestan Miss Earth mengaku dilecehkan oleh salah satu sponsor. Oleh seorang sponsor, mereka dihubungi dan diminta untuk memberikan nomor kamar hotel dengan iming-iming akan dibantu untuk menjadi pemenang. Memang, ajang kontes kecantikan sudah lama dikritik sebagai ajang objektifikasi yang melanggengkan standar kecantikan yang tidak realistis. Di luar itu, mereka yang berkompetisi di dalamnya   baik perempuan atau laki-laki   juga rentan menjadi objek seksual.

Kontes kecantikan bermula sebagai ajang yang seksis dan rasis. Pada 1921, kontes kecantikan pertama kali diadakan di Atlantic City, Amerika Serikat, di mana perempuan muda berkulit putih berkompetisi menggunakan pakaian renang-sementara itu perempuan berkulit hitam tidak diperbolehkan mengikuti kompetisi ini. Tujuan utama dari ajang ini, tidak lain tidak bukan, adalah untuk menarik pengunjung agar menghabiskan liburan di Atlantic City. Kontes inilah yang menjadi cikal bakal Miss America, yang sekarang mengusung tagline "Empowering Women to Lead".

Di era yang lebih "woke", kontes kecantikan mengalami rebranding. Mereka tidak lagi menjadi kompetisi kecantikan, tapi sebuah ajang untuk memberdayakan perempuan untuk menjadi sosok pemimpin yang membawa perubahan positif. Para kontestan tidak lagi dinilai hanya berdasarkan kecantikan mereka, mereka juga dituntut untuk memiliki intelektualitas dan ketertarikan terhadap isu-isu sosial.

Misalnya saja, dalam babak final Miss Universe 2015, Pia Wurtzbach mengatakan bahwa apabila terpilih ia akan melakukan kampanye untuk meningkatkan awareness mengenai virus HIV. Ketika diwawancarai oleh CNN Philippines, Wurtzbach mengatakan bahwa kontes kecantikan tidak memasarkan perempuan sebagai objek. "Kami berpakaian seperti ini, menggunakan make-up, dan berpenampilan menarik, agar menarik perhatian orang-orang," ucapnya. Dengan kata lain, menurutnya cara-cara ini adalah strategi agar publik mau mendengar isu yang mereka suarakan.

Meski demikian, banyak aktivis perempuan yang merasa bahwa kontes kecantikan tetap akan menjadi arena objektifikasi, salah satunya yaitu Siti Aminah dari LBH APIK. Menurutnya, sekalipun sekarang sudah banyak beauty pageant yang merangkul perbedaan kecantikan, tapi definisi kecantikan itu sendiri tetap dikonstruksi oleh pasar.

Pada akhirnya, meski dibumbui komponen "pemberdayaan", kecantikan tetap menjadi pilar utama dalam ajang ini. Ketika masyarakat sedikit demi sedikit mulai menyadari bahaya objektifikasi, mampukah ajang kontes kecantikan tetap menjadi relevan?

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS