Insight | General Knowledge

Bahaya Mitos "The Perfect Victim"

Senin, 31 Jul 2023 18:03 WIB
Bahaya Mitos
Foto: Istimewa
Jakarta -

Pada 2008, Marie Adler yang berumur 18 tahun diserang oleh seorang penyusup di kediamannya di Washington. Ia kemudian diikat, dibekap, diperkosa, dan difoto oleh pelaku. Adler kemudian melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Dalam kondisi sedang terguncang, Adler diminta untuk menceritakan kronologi kejadian kepada petugas. Ketika bertemu dua detektif yang menangani kasusnya, Marie lagi-lagi diminta untuk menceritakan kronologi kejadian-tanpa adanya pertimbangan terhadap kondisi psikis Adler yang masih trauma.

Kondisi Adler saat itu, ditambah penanganan polisi yang tidak sensitif, membuat adanya ketidaksesuaian dalam keterangan Adler. Keterangan Adler yang tidak konsisten membuat polisi tidak mempercayainya, hingga ia kemudian dipaksa mengaku bahwa ia mengarang-ngarang cerita. Di bawah tekanan, Adler akhirnya terpaksa mengatakan bahwa dirinya membuat laporan palsu. Adler kemudian dikucilkan oleh teman-temannya dan dicap sebagai pembohong.

Tiga tahun kemudian, muncul beberapa laporan di kota yang berbeda mengenai modus dan ciri-ciri pelaku yang sama seperti keterangan Adler. Ketika diselidiki, akhirnya terungkap bahwa Adler merupakan salah satu korban dari serial rapist. Apa yang dialami oleh Marie Adler disebabkan oleh mitos yang disebut the perfect victim atau korban yang ideal.

Melansir The Conversation, kriminolog Nils Christie mendefinisikan "perfect victim" sebagai kategori individu yang akan dengan mudah dipercayai sebagai korban pelecehan. Individu yang masuk ke dalam kategori ini harus memenuhi beberapa kriteria yaitu "suci", lemah, dan tanpa cela. Bila mana kriteria ini tidak dipenuhi, mereka akan disalahkan dan bahkan tidak dipercayai. Tiga kriteria ini kemudian dinilai berdasarkan bagaimana korban berpakaian dan berperilaku. Berikut adalah beberapa contohnya.

Tidak mabuk dan tidak mengkonsumsi narkoba

Salah satu victim blaming yang sering terjadi adalah ketika korban diketahui berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan ketika pelecehan terjadi. Selain dianggap sebagai "bukan orang baik-baik", perilaku ini dinilai sebagai "kesalahan" dari pihak korban karena tidak berhati-hati. Terlebih lagi, ketika korban tidak berada dalam kondisi sadar ketika kejadian berlangsung, testimoninya akan dipertanyakan karena korban tidak bisa mengingat jelas kronologi kejadian.

Korban dikenal sebagai orang yang lugu dan tidak pernah membuat kesalahan

Ketika persidangan Amber Heard dan Johnny Depp berlangsung, banyak orang mencaci maki Heard sebagai pembohong. Meski Johnny Depp terbukti melakukan beberapa kekerasan yang dituduhkan oleh Heard, kredibilitas Heard tetap dipertanyakan. Hal ini menunjukkan adanya imajinasi bahwa korban yang ideal adalah korban yang polos, stabil secara mental, dan tidak pernah melakukan kekerasan-sekalipun ia berada dalam kondisi yang terancam. Intinya, korban seakan-akan harus memiliki track record yang mulus dan tidak neko-neko.

Korban tidak berkomunikasi lagi dengan pelaku

Ada banyak kasus di mana korban tidak dipercayai karena ia masih mempertahankan hubungan dengan pelaku dan masih menjalin komunikasi dengan pelaku. Padahal, banyak di antara pelaku pelecehan merupakan orang-orang yang dekat dengan korban. Sehingga, terkadang sulit bagi korban untuk menjauh dari pelaku tanpa dikucilkan dari lingkungannya. Sementara itu, apabila mereka masih menjalin relasi dengan pelaku, mereka akan dicurigai membuat cerita palsu.

Berpakaian "sewajarnya"

Pakaian tidak relevan dan tidak akan pernah relevan dalam kasus pelecehan. Tapi lagi-lagi, penampilan menjadi faktor penentu apakah korban termasuk ke dalam kategori korban ideal yang "suci", lemah, dan tanpa cela. Korban yang pakaiannya dianggap "tidak senonoh" akan lebih sulit untuk dipercayai, dibanding korban yang berpakaian tertutup. Padahal, pelecehan bisa terjadi ke siapa saja, terlepas apapun pakaian yang mereka kenakan.

Semua kriteria di atas mustahil untuk dipenuhi, sebab memang seharusnya tidak ada kriteria dalam menilai kredibilitas korban. Berkaca dari kasus Adler, mitos "the perfect victim" sangat berbahaya karena kepercayaan adanya korban yang ideal membuat korban mudah untuk didiskreditkan, baik oleh publik maupun ketika berhadapan dengan hukum. Lagipula, tidak ada yang namanya "the perfect victim". Sebab semua orang, bagaimanapun penampilannya ataupun perilakunya, bisa menjadi korban pelecehan.

(ANL/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS