Insight | General Knowledge

Perguruan Tinggi UK Dilanda Krisis Akibat Mogok Kerja

Senin, 19 Jun 2023 15:30 WIB
Perguruan Tinggi UK Dilanda Krisis Akibat Mogok Kerja
Foto: BBC
Jakarta -

Mahasiswa di Britania Raya terancam tidak mendapatkan nilai akhir semester, lantaran para staff dan pengajar di 145 universitas melakukan mogok dan menolak untuk menilai seluruh tugas maupun ujian. Imbasnya, ujian akhir di banyak universitas dibatalkan dan wisuda pun terancam ditunda atau dibatalkan. Mogok ini dimulai sejak 20 April 2023, ketika University and College Union (UCU) gagal meraih kesepakatan dengan universitas terkait peningkatan gaji dan perbaikan kondisi kerja.

Melansir BBC, UCU memiliki 2 tuntutan; pertama agar perguruan tinggi meningkatkan gaji staf dan pengajar setara dengan nilai inflasi, dan kedua agar perguruan tinggi serta menghapus kesepakatan kerja berjenis zero-contract. Zero-contract sendiri adalah kontrak di mana pekerja tidak diharuskan untuk memenuhi jam kerja minimum, tapi hal ini justru berimbas pada ketidakpastian jam kerja dan upah yang rendah.

Sebagai informasi, gaji rata-rata pengajar di universitas   mulai dari research assistant hingga profesor-berkisar antara £31,900/tahun sampai dengan £80,000/tahun. Namun menurut UCU, sepertiga staff dan pengajar terikat oleh kontrak kerja sementara yang membuat mereka dibayar per jam.

Dalam artikel The Guardian, mahasiswa Durham University, Kimi Chaddah, menulis bahwa krisis yang terjadi merupakan imbas dari eksploitasi dan kondisi kerja tidak layak yang telah terjadi selama bertahun-tahun di sektor pendidikan Britania Raya. Sejak 2009, staf akademik menghadapi pemotongan gaji sebesar 20%. Sementara itu, para petinggi universitas seperti rektor dan wakil rektor menerima upah sebesar £300,000, berkali-kali lipat dari upah para staf dan pengajar.

Masing-masing universitas mengambil langkah yang berbeda untuk merespons kondisi ini. Beberapa universitas, salah satunya University of Cambridge, tidak akan meluluskan mahasiswa sampai semua tugas dan ujian mereka dinilai oleh pengajar. Sementara itu mahasiswa Queen's Belfast University terancam lulus tanpa mendapatkan gelar, mereka akan memperoleh "sertifikat partisipasi" sebagai gantinya.

Bagi mahasiswa tingkat akhir, kondisi ini menimbulkan ketidakpastian mengenai kelulusan dan gelar yang akan mereka terima. Peristiwa ini menyebabkan risiko yang lebih besar bagi mahasiswa mancanegara. Sebab ketidakpastian kelulusan membuat mereka terancam tidak bisa memperpanjang visa, apalagi banyak di antara mereka mengandalkan beasiswa yang penilaiannya terikat dengan nilai akhir.

Masalahnya, perguruan tinggi justru mengandalkan strategi untuk menghadapi mogok kerja, seperti mengubah sistem penilaian  alih-alih mencoba meraih kesepakatan dengan para staf dan pengajar yang tergabung dalam serikat. Tanpa adanya intervensi pemerintah, Britania Raya mungkin akan menghadapi krisis pendidikan yang jauh lebih besar lagi.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS