Insight | General Knowledge

Food Vlogger, Profesi Lama yang Lahir Kembali di Era Digital

Senin, 03 Apr 2023 19:43 WIB
Food Vlogger, Profesi Lama yang Lahir Kembali di Era Digital
Foto: Istimewa
Jakarta -

Era digital membawa dampak positif tersendiri karena berhasil melahirkan berbagai profesi baru, termasuk food vlogger. Pasti kamu sudah sering mendengar tentang profesi ini, yang tugasnya lebih fokus kepada mencicipi berbagai makanan di beragam restoran atau penjual kaki lima, lalu membuat review dalam format video.

Dewasa ini, semakin banyak food vlogger yang hadir via YouTube, TikTok, ataupun Instagram. Mereka berlomba-lomba menyajikan konten makanan yang seru dan berbeda. Belum lagi ditambah dengan gimmick tertentu sebagai persona dari masing-masing food vlogger. Namun apakah kamu sadar sebenarnya format profesi food vlogger sudah ada sejak dulu? Bahkan jauh sebelum era digital ini ada? Kemudian, bagaimana seorang food vlogger bisa bersikap dengan positif di tengah semakin banyaknya pesaing? Lalu, apakah ada etika yang harus dilakukan oleh food vlogger? Semua pertanyaan itu dijawab secara lengkap di bawah ini.

Food Vlogger, Profesi Lama di Era Digital

Semua orang pasti senang makan. Hanya segelintir orang yang memandang makanan sebagai asupan gizi demi untuk bertahan hidup saja-lebih banyak lagi orang yang menonton review makanan karena merupakan keseruan sendiri. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh food vlogger terlihat sederhana. Hanya menyantap makanan, menggambarkan deskripsi rasa, lalu selesai sudah pekerjaannya. Eits, tapi itu lebih menggambarkan food vlogger masa kini.

Iya, food vlogger terlihat menjadi pekerjaan mudah karena mereka yang melakukannya saat ini tidak melakukan analisa yang jauh lebih deep seperti food vlogger lama. Pada dasarnya, profesi ini sudah ada sejak kurang lebih 20 tahun lalu. Sebut saja sosok Bondan Winarno dengan tagline "Maknyuss" atau Benu Buloe yang juga memiliki tagline "Lazizzz". Mereka sudah menjadi so-called food vlogger sejak pertengahan dekade 2000-an lewat program di Trans TV dengan cara analisa yang memang terbukti deep.

Bayangkan saja, dari sebuah makanan yang sederhana, Bondan Winarno bisa menjelaskan cita rasa, bumbu yang sekiranya digunakan, sejarah makanan tersebut, hingga menyambungkannya ke beberapa makanan lainnya. Cara analisa inilah yang membuat sosok Bondan Winarno tidak hanya dikenal dengan "kelihaiannya" berbicara di depan kamera tentang cita rasa makanan, tetapi juga dihormati berkat pengetahuan yang luas sekaligus mendalam.

Perubahan pola gaya bekerja food vlogger yang dimulai dari TV lalu pindah ke media digital seperti YouTube, telah terbukti mengubah gaya mereka menggambarkan rasa makanan yang dicicipi. Seperti yang tadi sempat dijelaskan di awal, kebanyakan food vlogger sekarang menyantap makanan, menggambarkan deskripsi rasa, lalu selesai. Sayangnya, lebih banyak food vlogger yang hanya menggunakan kata "enak", "rasanya kuat", dan penggambaran terlalu sederhana tentang makanan tersebut. Akhirnya apa yang terjadi? Pekerjaan mereka pun tidak lagi dipandang sebagai sosok yang punya deep knowledge tentang kuliner, tapi hanya tukang rekomendasi yang memiliki followers banyak saja. Itu pun belum tentu rekomendasi mereka terbukti enak.

Food Vlogger yang Hanya Menjual Gimmick

Food vlogger masa kini memang jauh lebih banyak. Mereka menawarkan perbedaan karakter dan cara me-review untuk memberikan keunikan tersendiri. Tapi harus diakui, food vlogger masa kini lebih banyak yang menjual gimmick.

Contoh gimmick yang digunakan pun cenderung sama, seperti porsi makanan yang sangat banyak. Kemudian ada juga yang memiliki menggunakan sambal dengan jumlah banyak-bahkan terlampau banyak-untuk setiap makanan yang dicoba. Gimmick seperti ini memang harus diakui sangat laku di masyarakat.

Beberapa kolom komentar food vlogger yang pernah saya tonton menyatakan bahwa ketika sosok itu makan dalam jumlah banyak, maka membuat orang itu bisa nafsu makan lagi. Kalau banyak makan sambal, juga bisa membuat selera makan mereka bertambah. Tapi kalau sudah begini, apa yang bisa mereka tawarkan untuk kita sebagai penonton? Ya cuma gimmick yang hanya dinikmati segelintir orang saja. Sedangkan secara perbandingan dengan food vlogger era awal, tentu saja berbeda 180 derajat.

Di luar persoalan gimmick, banyak pula food vlogger yang secara kemampuan penilaian terhitung tidak kritis. Bayangkan saja, semua makanan bisa dibilang enak. Tidak ada kekurangannya sama sekali. Kalau sudah begini, mana yang harus kita percaya? Apakah memang makanannya semuanya enak, atau itu hanya gimmick kembali hanya demi memberikan kesenangan dari pemilik restoran/warung tersebut?

Jadi, apa yang bisa dilihat dari persoalan food vlogger yang sedang banyak dibicarakan karena ingin menukar makanan dengan exposure? Etika food vlogger harus diperhatikan lagi. Mereka harus tahu bahwa tidak semua pemilik rumah makan paham dengan cara marketing saat ini yang menjual exposure. Mereka tetap menggunakan cara old school yang terbukti tetap relevan.

Tidak semua restoran membutuhkan sosok food vlogger untuk mempromosikan makanan mereka. Kenyataan ini harus disadari oleh food vlogger dan jangan sampai mereka jumawa dengan segala bentuk angka followers dan total views yang sudah mereka capai. Toh, walau tanpa "bantuan" food vlogger, restoran/warung tersebut tetap bisa berdiri kokoh dan menjual makanan setiap hari, bukan?

[Gambas:Audio CXO]

(tim/alm)

Author

Timotius P

NEW RELEASE
CXO SPECIALS