Insight | General Knowledge

Halte Kapal Pesiar Mewah Berlabuh di Jakarta, buat Apa?

Rabu, 30 Nov 2022 18:30 WIB
Halte Kapal Pesiar Mewah Berlabuh di Jakarta, buat Apa?
Foto: Twitter: @DKIJakarta
Jakarta -

Jakarta yang lebih kejam daripada Ibu tiri, adalah anggapan jamak yang sudah bernilai relatif di masa ini. Sebab, sebagai Ibu Kota, Jakarta sudah punya satu sifat baru yang lebih giat diperjuangkan belakangan; kemauan untuk tampil penuh estetik, sebagaimana Ibu-ibu cantik lain di seluruh belahan dunia. Hal ini pun bisa kita lihat pada dandanan Jakarta yang terbaru: dua halte bus serupa kapal pesiar mewah, yang baru saja berlabuh di jantung kota.

Setelah diresmikan Gubernur (menjabat saat itu), Anies Baswedan pada 15 Oktober lalu, halte busway Bundaran HI dan Tosari yang direvitalisasi menyerupai moncong kapal pesiar megah akhirnya rampung seratus persen pada 27 November kemarin. Warga kota pun sudah bisa menikmati keindahan Jakarta dari bagian halte yang dibuat dua tingkat tersebut, baik untuk bersantai atau sekadar berfoto ria.

Walau demikian, kehadiran dua "halte pesiar" megah tersebut justru menimbulkan banyak polemik dan kritik dari masyarakat. Perkara yang utama adalah posisi dan dimensi kedua halte tersebut yang cukup menghalangi Patung Selamat Datang, yang berdiri tepat di atas bundaran air mancur HI. Sudah tentu, hal ini menjadi perdebatan yang alot. Pasalnya, sebelum dibuat serupa kapal pesiar dua tingkat, Anies Baswedan sendiri pernah merobohkan jembatan penyeberangan orang di halte Bundaran HI dan Tosari, dengan dalih: menutupi patung dan air mancur di bundaran, yang dikategorikan sebagai cagar budaya.

Selain itu, tidak sedikit pula kritik yang menyebut kalau revitalisasi halte mewah ini tidak tepat guna bagi para pengguna Transjakarta. Sebab setelah beroperasi secara normal, bagian bawah halte yang berfungsi sebagai tempat mengantre bus justru menyempit dan menyebabkan tersendatnya mobilitas penumpang, yang menjadi padat pada jam-jam sibuk. Kemudian, sisi kenyamanan bagi pengguna juga berkurang, karena model pesiar yang diterapkan pada halte ini justru menyebabkan tampias ke bagian dalam halte di saat hujan. Pada pangkalnya, kehadiran halte berbentuk kapal pesiar yang menuai polemik menimbulkan wacana evaluatif dari DPRD DKI Jakarta, yang hendak membentuk panitia khusus untuk membahas kehadiran bangunan halte yang menghalangi patung selamat datang.

Megah dan Mewah, untuk Apa?
Jakarta tampak berupaya keras untuk tampil secara estetik nan instagrammable sejak beberapa waktu ke belakang. Terutama pada beberapa fasilitas umum yang bercokol di pusat jalanan protokol, seperti Halte Transjakarta berbentuk Kapal Pesiar yang megah dan mewah. Perubahan-perubahan serupa juga bisa dilihat dari revitalisasi kawasan di sekitarnya, seperti bilangan dukuh atas yang sempat ramai dengan tren Citayam Fashion Week; pembenahan jalur hijau sepeda di tepian jalan kota; hingga beberapa bangunan halte Transjakarta menjulang, yang dilengkapi sajian pemandangan jalanan dan gedung yang cocok dijadikan latar berfoto.

Dalam sekilas pandang, hal-hal tersebut memang patut diapresiasi. Sebab pada satu sisi, segenap pembangunan tersebut ditujukan untuk kepentingan publik, dalam rangka meningkatkan kenyamanan bagi para pengguna transportasi umum. Akan tetapi, pembangunan jor-joran yang tampak sangat memperhatikan estetika ini mesti dipertanyakan lagi substansinya. Karena pada dasarnya, estetika tidak lebih penting daripada ketepatgunaan pembangunan itu sendiri.

Bahkan akan lebih bijak lagi, jika pembangunan fasilitas publik yang semakin hari semakin dibuat cantik turut memperhatikan aspek-aspek lainnya. Seperti tidak menjadi antitesis bagi cagar budaya sekelas Patung Selamat Datang di Bundaran HI, yang dibuat Henk Ngantung atas perintah Bung Karno, sebagai penanda kebebasan Jakarta dari Pemerintah Kolonial. Atau setidaknya, pembangunan halte pesiar bisa lebih berfokus pada eksplorasi fungsi halte yang maksimal, dan bukan menindihnya sebagai halte untuk berfoto-foto, padahal sejatinya merupakan tempat menunggu bus kota.

Di samping itu, titik fokus pembangunan artifisial yang hanya berkisar di pusat kota saja juga wajib diredam oleh para pemangku jawatan. Karena pada kenyataannya, penerapan fasilitas publik yang memadai belum merata di penjuru-penjuru kota Jakarta. Apalagi sejauh ini, tidak semua fasilitas atau ruang publik hal yang dibangun dengan tujuan estetik berhasil tampil eksotik; dan tidak seluruh pembangunan infrastruktur kota bersifat inklusif.

Pada posisi ini, lagi-lagi, ketepatgunaan pembangunan harus menjadi prioritas pemerintah kota, dan bukan semata-mata mendahulukan aspek kecantikan. Hal ini pun bisa diantisipasi secara bijak, salah satunya dengan memperdalam riset kebutuhan publik, dan rajin melakukan interaksi dan sosialisasi kepada masyarakat sebelum akhirnya menciptakan fasilitas umum teranyar. Dan, yang lebih penting, anggaran sebesar Rp600 miliar untuk membangun 46 halte bus di Jakarta—termasuk halte berbentuk pesiar—tidak melayang dengan tuaian kritik, tetapi kepuasan warga.

Terakhir, perihal "halte kapal pesiar" yang digadang megah dan mewah ini memang cukup membingungkan publik. Sejak awal ingin dibangun dengan bentuk kapal pesiar, alasan filosofis dua halte transjakarta tersebut sebenarnya sudah patut dipertanyakan. Maksudnya, kenapa harus kapal pesiar? Apakah karena mewah dan terkesan futuristik? Ataukah karena nenek moyang kita adalah pelaut? Atau, jangan-jangan, dua halte ini akan dijadikan menjadi monumen di wilayah sekitaran HI, yang kerap direndam banjir saat musim hujan melanda?

[Gambas:Audio CXO]

(RIA/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS