Insight | General Knowledge

Mengapa Twitter adalah Tempat Terbaik dan Terburuk di Dunia?

Sabtu, 05 Mar 2022 18:00 WIB
Mengapa Twitter adalah Tempat Terbaik dan Terburuk di Dunia?
Twitter Foto: Alexander Shatov/Unsplash
Jakarta -

Terkadang bila sedang stres bekerja, saya beristirahat sejenak dengan scrolling Twitter. Mengapa? Karena lewat Twitter saya bisa menemukan info mengenai film-film terbaru atau melihat foto-foto kucing. Menjelajahi Twitter bagai menjelajahi alam rimba-kamu tidak akan pernah bisa menebak apa yang akan muncul di Timeline-mu setiap harinya.

Kemarin, kamu bisa saja menemukan komentar-komentar mengenai episode terbaru Euphoria. Hari ini, kamu bisa saja melihat penggalan-penggalan peristiwa perang yang terjadi di Ukraina. Tak hanya dari segi variasi topik, bentuk interaksi antara pengguna juga sangat khas. Beberapa kali, netizen menggunakan Twitter untuk meminta bantuan, dari yang sederhana seperti melariskan dagangan hingga yang lebih susah seperti mencari orang hilang.

.Ilustrasi Twitter/ Foto: Solen Feyissa/Pexels

Masuk ke Twitter seperti masuk ke dunia yang berbeda. Suasana di Twitter dengan mudah naik-turun. Salah satu contohnya adalah ketika aktivis sekaligus pembuat film dokumenter Dandhy Laksono mengunggah poster pendaftaran menjadi sukarelawan di Ekspedisi Indonesia Baru. Dalam waktu sekejap, poster ini mendapat berbagai respons.

Banyak yang menuduh Dandhy melakukan eksploitasi, sebab relawan akan bekerja selama satu tahun tanpa gaji dan tanpa jaminan keselamatan. Sedangkan, di sini mereka masih harus mengikuti proses seleksi. Ada juga yang membelanya karena keterlibatan di ekspedisi ini bersifat sukarela, dan toh produk-produk Watchdoc membantu kerja-kerja kemanusiaan.

Perdebatan berlanjut ke Space   fitur Twitter yang menyediakan ruang diskusi. Di Space, muncul masalah baru yaitu pelecehan seksual yang dilakukan di ruang publik oleh teman sekaligus pembela dari Dandhy, yaitu Hasan Yahya. Tak hanya itu, Farid Gaban yang juga merupakan anggota Watchdoc ikut terseret dalam kasus pelecehan seksual yang menimpa seorang jurnalis 6 tahun silam. Dalam waktu kurang dari 24 jam, sebuah poster telah membuka kotak pandora mengenai berbagai isu; mulai dari kritik terhadap volunteerism hingga pelecehan seksual.

Konflik ini mencerminkan Twitter sebagai ruang publik digital yang sangat dinamis; eskalasi konflik bisa terjadi begitu cepat, dan berakhir dengan cepat juga. Hal ini salah satunya bisa terjadi karena karakteristik dari aplikasi Twitter sendiri. Twitter memiliki karakteristik khusus yang membuatnya berbeda dari media sosial lainnya  yaitu konten berbasis teks.

.Ilustrasi mengetik Tweet/ Foto: Ketut Subiyanto/Pexels

Instagram dan YouTube, misalnya, sangat bergantung pada konten visual. Sedangkan Twitter mengakomodasi orang-orang untuk membagikan apa yang mereka sedang pikirkan atau rasakan melalui kata-kata. Fitur-fitur Twitter sebenarnya sangat sederhana, kamu bisa memperbarui status dalam bentuk tulisan pendek 160 kata. Lalu orang lain bisa me-retweet-nya, memberi komentar, atau memberi like terhadap unggahanmu. Begitu juga sebaliknya.

Desain Twitter yang sederhana inilah yang menjadi kekuatan utama aplikasi ini, kamu tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk menggunakannya. Kamu bisa dengan mudah berinteraksi dengan sesama pengguna lain, bahkan pengguna yang tidak kamu kenal sekalipun. Karena itulah, mengekspresikan emosi baik itu rasa gembira, rasa kecewa, atau kemarahan, menjadi sangat effortless apabila dilakukan di Twitter.

Hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan, misalnya, Instagram. Instagram bekerja melalui logika semiotika; kamu akan melakukan kalkulasi dulu di otakmu untuk memilih gambar apa yang akan kamu unggah, dan pesan apa yang ingin kamu sampaikan melalui visual tersebut. Semua di Instagram berhubungan dengan image. Sedangkan di Twitter, image menjadi tidak terlalu penting. Faktor ini membuat banyak orang lebih frontal di Twitter, dan tidak merasa harus berhati-hati ketika membuat sebuah cuitan.

.Ilustrasi Twitter/ Foto: Cristian Dina/Pexels

Selain karakteristik aplikasi, ada satu lagi faktor yang membuat Twitter menjadi sangat dinamis, yaitu bagaimana mob mentality tumbuh kuat di ruang digital. Mob mentality membuat kita menjadi reaksioner. Bagaikan kawanan lebah, massa di ruang digital akan langsung mengerubungi apabila ada sebuah kasus baru yang mencuat di Timeline.

Melansir Thought Catalog, ketika kita sedang berada di kerumunan pikiran kita cenderung kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis. Tindakan kita justru ditentukan oleh tindakan kelompok, kita mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekeliling kita. Di media sosial, kita cenderung bergerak mengikuti orang-orang yang sepemikiran dengan kita.

Media sosial juga telah menciptakan echo-chambers; ruang kedap suara di mana masing-masing pengguna terus-menerus berada di dalam gelembung kelompoknya sendiri, tanpa terekspose kepada opini-opini lain yang berbeda dengannya. Ruang gema seperti ini bisa memperbesar intensitas mob mentality; kerumunan akan semakin membesar ketika orang-orang yang sependapat bertemu dan mendukung opini satu sama lain. Apabila massa di dunia nyata bisa dibubarkan oleh polisi, massa di ruang digital bisa bergerak bebas. Semuanya bisa menjadi provokator, hakim, dan jaksa.

Di hari-hari tertentu, Twitter bisa menjadi tempat terbaik untuk melepas stres. Kamu bisa menjelajahi topik-topik yang kamu sukai, mencari komedi melalui konten-konten shitposting, atau melihat tingkah-tingkah lucu netizen. Tapi di hari-hari lain, Twitter bisa menjadi ruang publik yang liar dan melelahkan; ketika massa di Twitter menjadi tidak terkontrol dan semua orang berdebat satu sama lain.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS