Interest | Fashion

Bagaimana Fungsi Fashion Berubah Jadi Bahasa Politik dan Sarana Aktivisme?

Selasa, 30 Sep 2025 14:24 WIB
Bagaimana Fungsi Fashion Berubah Jadi Bahasa Politik dan Sarana Aktivisme?
Keffiyeh, salah satu item fashion yang jadi simbol mendukung kebebasan Palestina. Foto: Reuters
Jakarta -

Di mata sebagian orang, fashion hanyalah perkara selera, estetika, atau sekadar mengikuti tren. Namun, dalam rumpun pengetahuan ilmu sosial-sosiologi dan ilmu politik-memahami lebih dari itu.

Fashion dianggap sebagai bahasa sosial atau juga sebuah medium yang berbicara lantang meski tanpa kata. Ia merekam identitas, membentuk perbedaan kelas, sekaligus menyelipkan pesan politik. Dalam sejarah panjang masyarakat modern, pakaian kerap menjadi simbol perlawanan, tanda solidaritas, bahkan strategi aktivisme.

.Umbrella Movement yang terjadi di Hongkong pada 2019 lalu./ Foto: Reuters

Fashion Sebagai Bahasa Politik

Fashion sebagai bahasa politik bukanlah gagasan baru. Sejak abad ke-18, warna dan kostum dipakai untuk menandai afiliasi politik. Di Prancis, misalnya, topi merah Phrygian cap menjadi lambang revolusi. Di Asia, batik sempat dipakai Soekarno untuk menyuarakan identitas nasional di hadapan dunia, melawan hegemoni busana Barat.

Di era kontemporer, keffiyeh (selendang kotak-kotak khas Palestina) telah menjadi ikon solidaritas global terhadap penindasan Israel. Semua ini menegaskan bahwa pakaian bukan sekadar kain, melainkan bahasa politik yang dapat dimengerti lintas batas.

Dalam konteks gerakan sosial, fashion mengambil peran sebagai sarana aktivisme. Bukan kebetulan, jika para demonstran sering hadir dengan warna seragam. Di Hong Kong misalnya ada "Umbrella Movement" yang kemudian melahirkan citra jas hujan hitam dan payung kuning sebagai identitas kolektif.
Di Thailand, "kaos merah" dan "kaos kuning" menjadi lambang rivalitas politik. Di Indonesia, warna juga punya makna jika dikaitkan dengan identitas politik bahwa merah identik dengan keberanian politik tertentu, sementara kuning lekat dengan partai bersejarah, dan hitam selalu digunakan dalam aksi massa seperti Aksi Kamisan.

Seragam aksi bukan sekadar pilihan estetika, tetapi sarana membangun kohesi dan menyampaikan pesan tanpa harus berteriak. Gen Z dan milenial membawa dimensi baru dalam fenomena ini. Mereka tumbuh bersama media sosial, di mana visual menjadi bahasa utama.

Kaos bertuliskan slogan seperti "There Is No Planet B" dalam kampanye iklim atau totebag dengan ilustrasi kritis bukan hanya produk konsumsi, melainkan pernyataan sikap yang bisa difoto, dibagikan, dan viral. Di sini, fashion menjadi jembatan antara dunia nyata dan ruang digital. Aktivisme tidak lagi terbatas pada jalanan, melainkan juga berlanjut di Instagram, TikTok, dan X (Twitter).

Fashion Lebih dari Sekadar Penanda Kelas Sosial

Perspektif sosiologis memberi kita alat analisis untuk memahami ini lebih dalam. Pierre Bourdieu menegaskan bahwa fashion berfungsi sebagai distinction, penanda kelas dan habitus. Namun, dalam konteks politik, fashion melampaui fungsi kelas. Ia menjadi simbol resistensi. Subkultur punk, misalnya, dengan jaket kulit penuh pin dan celana robek, bukan sekadar gaya, melainkan kritik atas kapitalisme dan tatanan sosial mapan.

Begitu pula jilbab syar'i atau cadar di ruang publik, ia tidak hanya bicara soal iman, tetapi juga bisa dimaknai sebagai sikap politik terhadap wacana mayoritas-minoritas atau isu berkembang lainnya. Namun, persoalannya tidak berhenti di sana.

Fashion yang lahir sebagai simbol perlawanan yang kerap direduksi menjadi komoditas. Keffiyeh, misalnya, kini banyak dijual di butik mode Eropa tanpa kaitan politik. Slogan-slogan radikal di kaos sering kali hanya menjadi tren fashion jalanan, terlepas dari pesan awalnya. Inilah paradoks fashion sebagai sarana aktivisme, di satu sisi ia memperkuat pesan politik, di sisi lain ia mudah dikooptasi oleh pasar.

Di Indonesia sendiri, dinamika ini kian terlihat. Gerakan mahasiswa kerap memanfaatkan kaos dengan logo, gambar, atau tulisan kritis. Komunitas literasi mencetak merchandise untuk membiayai kegiatan. Bahkan dalam dunia hiburan, sejumlah figur publik menggunakan busana tertentu untuk menyuarakan sikap politik. Dari jas putih hingga kain tradisional, semuanya dapat dipakai untuk mempertegas posisi ideologis.

Misalnya, Pandji Pragiwaksono dalam Stand Up Comedy Shownya bertajuk "Mens Rea", Pandji meluncurkan kaos warna hitam dengan tulisan "Atasan Presiden Republik Indonesia" yang memiliki makna bahwa rakyat sejatinya lebih tinggi dari presiden karena dipilih oleh rakyat sehingga harus bekerja dengan baik untuk rakyat. Di titik ini, fashion menjadi bahasa yang dipahami baik oleh rakyat maupun elit.

Lalu, bagaimana kita membaca fenomena ini di era digital?

.Statement politik yang digunakan catwalk model dalam sebuah fashion show. / Foto: Reuters

Fashion Memudahkan Sarana Aktivisme

Media sosial mempercepat transformasi fashion dari sekadar simbol lokal menjadi bahasa global. Satu unggahan foto bisa mengubah sebuah benda sederhana menjadi ikon politik lintas negara. Hashtag yang disertai gambar pakaian tertentu menjadikan fashion bagian integral dari kampanye global. Dengan demikian, fashion tidak lagi berdiri sendiri, melainkan beroperasi dalam ekosistem digital yang memperluas resonansinya.

Namun, pertanyaan reflektif terhadap fenomena ini muncul, yaitu apakah dengan menjadikan fashion sebagai sarana aktivisme, kita sedang memperkuat gerakan sosial atau justru menipiskannya? Di satu sisi, fashion membuat politik lebih mudah diakses, lebih visual, dan lebih viral. Namun, di sisi lain ada risiko bahwa politik hanya berhenti di permukaan kaos, totebag, atau feed Instagram tanpa berlanjut pada aksi nyata.

Di tengah ambiguitas ini, satu hal menjadi jelas bahwa fashion adalah bahasa politik yang tidak bisa diabaikan. Ia berbicara dalam diam, menyatukan orang tanpa harus sepakat kata, dan melintasi batas negara maupun budaya. Lalu, barangkali di era ketika kata-kata mudah dibungkam, justru pakaianlah yang bisa berteriak paling keras.

Kalau kamu, apa atribut fashion favorit yang menunjukkan sikap politikmu?

Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS