Interest | Fashion

Thrifting: Antara Tren Gaya dan Jebakan Ekonomi Global?

Senin, 04 Aug 2025 18:30 WIB
Thrifting: Antara Tren Gaya dan Jebakan Ekonomi Global?
Ilustrasi thrifting baju. Foto: Shutterstock
Jakarta -

Di linimasa media sosial, tagar #ootdthrift dan #thriftfinds rajin membanjiri feed anak muda Indonesia hampir setiap hari. Sebuah jaket vintage Jepang atau kemeja flanel Korea hasil berburu barang bekas seolah jadi simbol status baru: cerdas bergaya, ramah lingkungan, dan ekonomis. Ini adalah tren yang tidak hanya menciptakan gaya unik, tetapi juga membuka peluang ekonomi dan tantangan regulasi yang perlu kita cermati bersama.

Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah tren ini benar-benar sepenuhnya positif, atau ada lapisan lain yang perlu kita bongkar?

Lebih dari sekadar mencari harta karun mode, fenomena thrifting impor di Indonesia menyiratkan sebuah dinamika ekonomi global yang kompleks, bahkan bisa disebut sebagai "perdagangan pasca-kolonial." Apa yang dibuang di negara maju, kini kita kenakan dengan bangga.

Ini bukan hanya tentang gaya, tapi juga tentang bagaimana kita, sebagai generasi muda yang inovatif, bisa melihat tantangan ini sebagai peluang emas untuk membangun ekonomi sirkular lokal dan industri fesyen berkelanjutan yang lebih berdaulat. Mari kita selami lebih dalam, dan temukan bagaimana kita bisa menjadi game-changer dalam narasi ini.

Limbah Global, Gaya Baru, dan Potensi Bisnis yang Terlewat

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara Eropa memiliki sistem pengumpulan pakaian bekas yang masif. Apa yang tak laku di toko atau tak terpakai di lemari akan dikemas, dipadatkan, lalu diekspor ke negara-negara berkembang dalam bentuk "donasi kemanusiaan" atau "barang secondhand." Indonesia adalah salah satu pasar terbesar untuk ini.

Menurut data dari BPS, nilai impor pakaian bekas ilegal ke Indonesia mencapai angka yang signifikan, dengan tren peningkatan sebelum pelarangan ketat dilakukan pemerintah. Angka ini menggambarkan seberapa besar pasar barang bekas di Indonesia, yang sebenarnya juga berarti potensi pasar yang luar biasa besar untuk produk lokal jika dikelola dengan benar.

Fenomena ini, secara halus, bisa disebut sebagai bentuk "kolonialisme gaya baru." Dulu, kolonialisme datang dalam bentuk ekspansi fisik dan eksploitasi sumber daya. Hari ini, ia bisa menjelma dalam bentuk perdagangan barang bekas, di mana negara maju mengekspor surplus konsumsi mereka, dan negara berkembang menyerapnya sebagai gaya hidup baru. Kita mengadopsi identitas visual yang mereka buang, menciptakan sebuah mimikri budaya yang tidak disadari.

Lebih jauh, fenomena ini juga menciptakan "greenwashing struktural." Negara-negara maju seolah-olah bertanggung jawab terhadap lingkungan dengan "mendaur ulang" atau "mendonasikan" pakaian bekas mereka, padahal sebenarnya hanya mengalihkan limbah tekstil yang sulit terurai ke negara lain dengan dalih perdagangan bebas.

Tantangannya adalah, bagaimana kita mengubah limbah ini menjadi sumber daya baru di tangan anak bangsa?

Lapak thrifting di tepi Jalan Pasar Senen.Lapak thrifting di tepi Jalan Pasar Senen./ Foto: CXO Media/Riz Afrialldi

Ancaman Regulasi Kita dan Peluang Inovasi

Permasalahan ini diperparah dengan regulasi Indonesia yang belum memiliki definisi tegas antara barang bekas, produk daur ulang, dan limbah tekstil. Ketimpangan definisi "waste" antarnegara menyebabkan negara berkembang rentan menjadi terminal barang-barang sisa global. Apa yang dilarang masuk di Jepang, bisa jadi masuk legal di Indonesia.

Tanpa pembenahan sistem klasifikasi dan pengawasan yang lebih ketat, Indonesia akan terus menjadi wilayah pembuangan konsumsi global yang dibungkus dalam narasi mode dan gaya hidup. Ini bukan hanya soal sampah, tapi juga soal mematikan potensi industri tekstil dan fesyen lokal yang berjuang keras untuk bertahan dan berkembang. Bayangkan berapa banyak penjahit, desainer, dan UMKM fesyen lokal yang tergerus persaingan tidak sehat dengan produk impor murah ini.

Thrifting tidak harus dihapus. Justru ketika dilakukan secara lokal dan bertanggung jawab, ia bisa menjadi kekuatan fashion sirkular dan ekonomi kerakyatan yang luar biasa. Ini adalah peluang besar bagi generasi muda untuk berinovasi dan mengambil peran kepemimpinan:

  1. Penguatan Industri Lokal: Alih-alih bergantung pada impor, dorong lahirnya lebih banyak brand fesyen lokal yang mengedepankan kualitas, desain unik, dan praktik produksi yang etis. Ini bisa berarti membeli bahan baku lokal, memberdayakan penjahit lokal, dan menciptakan rantai pasok yang transparan.

  2. Inovasi Upcycling dan Daur Ulang: Ini adalah area emas untuk entrepreneur muda. Bagaimana mengubah pakaian bekas yang sudah tidak layak jual menjadi produk fesyen baru dengan nilai tambah tinggi? Contohnya, mendesain ulang jaket denim bekas menjadi tas trendi, atau sisa kain menjadi aksesori unik. Ini bukan hanya tentang lingkungan, tapi juga menciptakan lapangan kerja dan kreativitas.

  3. Edukasi Konsumen Aktif: Dorong kesadaran konsumen untuk lebih memilih produk lokal yang berkelanjutan, memahami dampak lingkungan dari fast fashion dan thrifting impor, serta bagaimana mereka bisa menjadi bagian dari solusi. Platform digital CXO Media bisa menjadi corong utama untuk menyebarkan edukasi ini.

  4. Kolaborasi dengan Pemerintah: Gen Z dan Milenial harus aktif menyuarakan pentingnya regulasi yang jelas dan tegas terkait impor pakaian bekas. Pemerintah perlu didorong untuk mengeluarkan kebijakan yang pro-industri lokal dan sirkular, serta menyediakan insentif bagi pelaku usaha yang bergerak di bidang sustainable fashion.

Thrifting bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk beralih dari sekadar penerima limbah konsumsi global menjadi pemimpin dalam ekonomi fesyen sirkular yang berdaulat. Bukan lewat rempah atau tanah, tapi lewat inovasi, kreativitas, dan keberanian kita untuk memakai apa yang kita ciptakan sendiri. Sebab jika tidak, kita hanya akan terus mengulang sejarah kolonial: hanya memakai apa yang mereka buang, dan kehilangan potensi besar untuk masa depan.


Penulis: Andy Wijaya


*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS