Interest | Fashion

Ironi di Balik Tema Met Gala "The Garden of Time"

Rabu, 08 May 2024 17:35 WIB
Ironi di Balik Tema Met Gala
Ironi di Balik Tema Met Gala “The Garden of Time”/Foto: Getty Images
Jakarta -

Met Gala, ajang fesyen paling eksklusif sekaligus paling dinanti-nanti oleh para fashion enthusiast, kembali diadakan pada Selasa (7/5/24) di The Metropolitan Museum of Art, New York. Seperti tahun-tahun sebelumnya, panitia Met Gala yang diketuai oleh Anna Wintour memberi arahan dress code untuk para tamu undangan yang terdiri dari nama-nama besar dunia fesyen, miliarder, serta pesohor papan atas. Tema dress code tahun ini adalah "The Garden of Time" yang terinspirasi dari cerita pendek fiksi ilmiah karangan J.G. Ballard tahun 1962.

Karpet merah Met Gala—barangkali karpet merah terpenting dari semua acara bergengsi—telah didekorasi menyerupai musim semi di negeri dongeng, para pesohor pun datang dengan balutan busana couture yang menyerupai karya seni. Di saat yang bersamaan, aksi protes pro-Palestina juga terjadi di sekitar lokasi acara. Gelombang aksi protes di Amerika Serikat memang meningkat selama beberapa terakhir. Terlebih lagi, di saat Met Gala diselenggarakan, Israel memulai serangan mereka di wilayah Rafah—wilayah yang seharusnya menjadi zona aman bagi jutaan pengungsi Palestina.

Dua peristiwa yang saling bertolak belakang ini membuat Met Gala ramai diperbincangkan oleh publik, terutama karena karya J.G. Ballard yang menjadi inspirasi utama tema "The Garden of Time" menceritakan soal runtuhnya aristokrasi dan kesenjangan kelas.

Runtuhnya Aristokrasi dalam "The Garden of Time"

The Garden of Time bercerita tentang aristokrat bernama Count Axel dan istrinya yang tinggal di sebuah villa megah dengan taman yang indah. Hari-hari Count Axel dihabiskan dengan melihat bunga-bunga yang ada di tamannya, atau dengan mendengarkan alunan musik klasik yang dimainkan oleh istrinya. Tapi kehidupan yang damai dan tenang ini terancam ketika Axel melihat segerombolan massa—yang terdiri dari kelas pekerja dan tentara—datang dari kejauhan.

Beruntung, Count Axel memiliki bunga berbentuk kristal di tamannya, yang jika dipetik, bisa memutar balik waktu. Setelah bunga pertama dipetik, gerombolan massa yang tadinya berjalan menuju villa pun tidak terlihat kembali. Matahari kembali bersinar di ujung cakrawala dan udara kembali terasa hangat. Tapi setelah beberapa hari, gerombolan massa itu kembali terlihat, dan kali ini menjadi lebih dekat dari sebelumnya. Satu per satu bunga kristal itu pun dipetik, dengan harapan Count Axel bisa menghentikan apa yang sedang terjadi. Namun pada akhirnya, taman itu pun juga mati, dan tidak ada yang bisa menyelamatkan Count Axel dan istrinya.

Ironi Met Gala dan Realitas Distopia
Sulit untuk mengabaikan persamaan antara kisah yang ada di "The Garden of Time" dengan Met Gala dan segala konteks sosial politik yang terjadi ketika acara ini berlangsung. Seperti Count Axel dan istrinya, para tamu undangan adalah bagian dari kalangan menengah ke atas yang menghargai karya seni dan budaya tinggi. Kemudian, sama seperti yang terjadi di cerita tersebut, kedamaian dan keindahan Met Gala juga "terganggu" dengan kekacauan yang terjadi di dunia luar.

Selama ini, selalu ada tembok pembatas antara dunia high fashion dengan masyarakat umum. Sebagian dari publik pun menilai Met Gala sebagai simbol kemewahan di mana segelintir elit bisa mempertontonkan kemewahan. Sebagai informasi, satu tiket Met Gala bernilai $75.000 dan satu meja bernilai $350.000. Hal ini wajar belaka, sebab nilai jual utama Met Gala adalah eksklusivitas—yang esensinya bertujuan untuk mengumpulkan dana demi melestarikan koleksi Costume Institute. Tahun ini, misalnya, tema "Sleeping Beauties: Reawakening Fashion" diusung untuk memperlihatkan koleksi museum yang kini sudah terlalu rapuh untuk dipakai. Di balik gemerlapnya event ini, sesungguhnya upaya konservasi fashion yang dilakukan oleh Costume Institute merupakan hal yang jauh dari kata glamor.

Terlepas dari pelestarian produk kebudayaan yang merupakan tujuan utama acara ini, Met Gala memang telah menjadi spectacle, terlebih dengan kehadiran media sosial. Bahkan, tak sedikit orang yang hanya mengetahui gemerlapnya Met Gala semata, tanpa memahami tujuan di baliknya. Dengan semua yang sedang terjadi, baik serangan Israel di Rafah maupun aksi protes yang terjadi di sekitar lokasi acara, kemewahan yang dipertontonkan di Met Gala membuat distopia yang ada di "The Garden of Time" terasa amat nyata. Bahkan, beberapa warganet membandingkan Met Gala tahun ini dengan The Hunger Games, yaitu cerita fiksi distopia karya Suzanne Collins yang diangkat menjadi film dan bercerita tentang pemberontakan akibat kesenjangan kelas.

Mengkritik Met Gala mungkin tidak tepat sasaran, sebab para pihak yang bekerja untuk upaya pelestarian koleksi museum memang perlu mendapat sokongan dana. Tak bisa disangkal juga bahwa untuk penggalangan dana, kadang spectacle besar seperti Met Gala memang dibutuhkan. Tapi, perlu diakui, sebagian besar tamu undangan yang datang ke Met Gala adalah orang-orang yang memiliki platform untuk bersuara namun memilih untuk bungkam selama genosida di Palestina berlangsung. Kemudian, media tampaknya juga lebih sibuk meliput busana mereka ketimbang memberitakan yang terjadi di Rafah. Sehingga, wajar saja bila ada sentimen negatif yang muncul terhadap ajang bergengsi ini.

Entah ada kesengajaan dari pihak penyelenggara atau tidak, tapi tema yang dipilih oleh pihak penyelenggara sangat relevan dalam menggambarkan kondisi yang sedang terjadi. Meskipun ironis, tapi setidaknya ada kesadaran diri yang muncul melalui tema tersebut, dan pada akhirnya menghidupkan wacana mengenai Met Gala itu sendiri. Dan mungkin, hal ini diperlukan agar dunia fashion tidak lagi terasa berjarak dan acara seperti Met Gala tidak lagi hanya menjadi spectacle belaka.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS