Insight | Business & Career

Pemerintah Larang Fashion Impor Bekas, Kok Bisnis Thrifting Masih Marak?

Jumat, 03 Mar 2023 19:00 WIB
Pemerintah Larang Fashion Impor Bekas, Kok Bisnis Thrifting Masih Marak?
Ilustrasi bisnis thrifting Foto: Pixabay
Jakarta -

Beberapa waktu lalu, Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop dan UKM) mengusulkan adanya aturan untuk melarang bisnis thrifting atau jual-beli baju impor bekas. Hal ini bertujuan untuk mendukung penggunaan produk lokal dan usaha kecil dan menengah milik masyarakat Indonesia.

Deputi Bidang UKM, Hanung Harimba mengatakan, usulan ini tercetus karena kekhawatiran jika masyarakat Indonesia justru lebih menyukai produk luar negeri dengan harga miring ketimbang memajukan produk UMKM dalam negeri. Beberapa bulan sebelumnya, wacana pelarangan jual-beli baju impor telah diutarakan oleh Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan (Zulhas).

Ia mengatakan, sebenarnya pemerintah tidak melarang menjual barang bekas, tetapi yang dilarang dalam mengimpor pakaian bekas ke Indonesia. "Memang kalau impornya itu enggak boleh. Kalau kita memang boleh jual barang bekas. Misalnya saya jual barang bekas, ya boleh. Yang enggak boleh itu impor barang bekas," kata Zulhas, dikutip CNBC Indonesia

Regulasinya pun jelas tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permenag) No. 18 Tahun 2021, tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Dalam pasal 2 ayat 3 tertulis bahwa barang dilarang impor salah satunya adalah berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.

Adapun sanksi yang akan diterima bagi para pedagang atau pengusaha yang menjual baju bekas impor adalah pemusnahan barang, akan menghentikan usaha perdagangan yang sedang dijalani, dan tentu saja pencabutan izin di bidang perdagangan.

Meskipun telah tegas melarang dan mengancam akan mencabut izin usaha, namun tren bisnis thrifting ini tak pernah surut. Lantas, apa yang menyebabkan bisnis ini semakin marak di tengah masyarakat kita ya?

.Ilustrasi baju-baju bekas impor/ Foto: Pixabay

Indonesia Jadi 'Tempat Pembuangan' Tekstil Dunia, Benarkah?

Pernahkah kamu bayangkan menemukan baju-baru atau barang fashion mewah pada tumpukan pakaian di pasar loak dan dijual dengan harga yang sangat murah? Bagi kamu yang menyukai fashion tapi berkantong 'tipis', hal ini mungkin bak menemukan harta karun. Namun di balik kesenanganmu yang menemukan barang fashion mewah di pedagang baju impor, ada fakta yang mencenangkan.

Tidak bisa dimungkiri bahwa faktanya, baju-baju impor tersebut adalah bekas pakai dan dianggap limbah oleh negara asalnya. Masuknya berton-ton ball pakaian impor tersebut secara tidak langsung membuat Indonesia seakan seperti 'tempat pembuangan' limbah tekstil.

Apalagi butuh waktu lama untuk kain dapat terurai dengan benar. Semua tergantung dari bahannya, proses dekomposisi kain butuh waktu bertahun-tahun. Apalagi jika bahannya terbuat dari polyester atau lycra yang membutuhkan setidaknya 20-200 tahun untuk terurai.

Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2021 mencatat bahwa sampah kain di Indonesia mencapai 2.633 ton dari 29 juta ton sampah. Ditambah lagi ada banyak masalah kesehatan yang mengintai orang Indonesia yang gemar pakai pakaian bekas tanpa disaring terlebih dulu.

Fakta ini semakin terbukti setelah seorang wartawan Reuters membuktikan perihal impor produk fashion ilegal yang terjadi di Indonesia. Pada Juli 2022 lalu, Reuters memberikan sepasang sepatu merek ternama ke program daur ulang yang dipelopori pemerintah Singapura dan raksasa petrokimia AS, Dow Inc. Mereka berjanji untuk mendaur ulang sepatu tidak terpakai tersebut untuk dijadikan bahan membangun taman bermain baru dan lintasan lair di Singapura.

Diam-diam Reuters meletakkan alat pelacak di salah satu solnya, dan beberapa bulan setelahnya, Reuters menemukan bahwa sepatu tersebut berada di sebuah toko pasar loak Pulau Batam, Indonesia. Percobaan itu pun dilakukan Reuters kedua kalinya dengan meletakkan alat 10 alat pelacak di sepatu tambahan yang akan disumbahkan.

Hasilnya tetap sama, sepatu bekas tersebut tidak berakhir di tempat daur ulang, tetapi kepada perusahaan eksportir barang bekas di Singapura, bahkan beberapa di antaranya berada di Jakarta. Pihak pemerintah Indonesia lewat Very Anggrijono, Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Pengawasan Perdagangan Kementerian Perdagangan, memaparkan bahwa sulitnya pemberantasan impor pakaian bekas ke Indonesia karena lihainya para pedagang untuk menghindar dari razia.

Ia pun mengakui bahwa satu-satunya tindakan yang bisa dilakukan pemerintah adalah mencabut izin impor, menyita dan menghancurkan pakaian bekas tersebut. Sayangnya, hanya dengan tindakan seperti itu, para pengusaha baju-baju impor bekas tak menjadi jera dan malah justru makin menjamur.

.Ilustrasi baju bekas/ Foto: Pixabay

Bisnis Penghasil Cuan

Seperti yang kita ketahui, thrifting merupakan salah satu bisnis yang sampai saat ini masih digandrungi oleh anak-anak muda. Dengan modal yang tidak terlalu banyak, namun omzet yang dihasilkan dari penjualan baju bekas impor ini bisa sampai puluhan juta rupiah.

Ditambah secara regulasi, pemerintah hanya mencabut izin usaha saja. Namun mereka masih bisa berbisnis dengan orang lainnya untuk melakukan bisnis serupa. Tapi sebenarnya berapa modal dan pendapatan yang didapat oleh pedagang barang bekas ini?

CXO Media mencoba untuk meriset mulai dari harga satu bal pakaian bekas dan prakiraan yang didapatkan oleh penjual sesuai harga jual yang telah ditentukan oleh pedagang.

Biasanya para distributor menjualnya dalam bentuk ball atau tumpukan besar yang berisi baju-baju impor bekas dengan kategori tertentu, misalnya baju anak, baju perempuan, baju pria, dan lain-lain. Dalam tumpukan ball tersebut, bisa berisikan ratusan hingga ribuan baju bekas pakai, dan rata-rata mereka menjualnya dengan harga mulai dari Rp1 juta-5 juta per ball-nya.

Setelah dijual, penjual kemudian harus memilah kembali baju-baju yang akan dijual. Mana yang masih layak untuk dijual, dan mana yang sudah tidak layak. Kemudian, para penjual mulai menjajakan baju-baju tersebut di lapak dagang mereka, toko-toko baju, atau dijual secara online.

Adapun harga jual yang diterapkan oleh mereka cukup bervariasi. Bila si penjual merupakan orang yang memahami merek-merek dagang mewah, tentunya harganya akan jauh lebih tinggi dibanding baju impor dengan merek kurang terkenal. Sepengalaman saya membeli baju di thrifting shop, baju-baju dengan merek ternama dijual mulai dari Rp70 ribu hingga ratusan ribu rupiah. Sementara untuk baju yang biasa-biasa saja bisa dijual dengan harga mulai dari Rp20 ribu saja.

Misalnya kamu memiliki modal Rp1 juta saja dan setelah memilahnya kamu mendapat sekitar 100 potong baju bekas yang masih layak pakai. Bila 50 potong baju di antaranya adalah brand mewah, dan kamu menjual sekitar Rp100 ribu. Sementara sisanya kamu jual dengan harga Rp20 ribu saja.

50 x Rp100.000 = Rp5.000.000
50 x Rp20.000 = Rp1.000.000

Rp5.000.000 + Rp1.000.000 = Rp6.000.000

Jadi, dari modal Rp1 juta saja, kamu bisa mendapatkan untung Rp6 juta dari penjualan baju-baju bekas impor tersebut. Melihat fakta tersebut, tidak heran pemerintah Indonesia ketar-ketir karena ini membuat negara merugi. Apalagi barang-barang impor tersebut tidak membayar bea dan cukai.

Itu baru prakiraan untuk satu toko baju impor, bayangkan bisnis thrifting macam ini tersebar di seluruh Indonesia. Tak heran, pemerintah mengklaim bahwa negara merugi hingga miliaran rupiah. Meski begitu, tak bisa dimungkiri bahwa bisnis ini menjadi cara paling cepat meraih pundi-pundi cuan. Ditambah tren fashion dunia yang silih berganti, membuat bisnis ini sepertinya masih 'seksi' dan tak bisa diabaikan begitu saja karena dapat menaikkan perekonomian masyarakat secara tidak langsung.

[Gambas:Audio CXO]

(DIR/ari)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS