Insight | Business & Career

Pink Tax: Bias Gender di Balik Mahalnya Produk untuk Perempuan

Jumat, 04 Nov 2022 19:00 WIB
Pink Tax: Bias Gender di Balik Mahalnya Produk untuk Perempuan
Foto: adweek.com
Jakarta -

Pernahkah kalian mendengar argumen bahwa perempuan lebih boros dibandingkan laki-laki? Kalau iya, pasti salah satu pembelaan terhadap argumen tersebut adalah karena laki-laki lebih low maintenance dibandingkan perempuan yang lebih ribet dalam merawat diri. Padahal pandangan ini selain seksis, juga misleading alias salah kaprah. Faktanya, perempuan memang dipaksa untuk membayar lebih mahal demi berbagai produk dan jasa yang dipasarkan untuk mereka. Fenomena ini disebut dengan istilah pink tax, atau pajak gender.

Pink tax bukanlah biaya pajak sungguhan, melainkan sebuah fenomena di mana ada ketimpangan harga antara produk atau jasa yang dipasarkan untuk laki-laki dengan produk atau jasa yang dipasarkan untuk perempuan. Sebutan pink tax sendiri berangkat dari banyaknya produk perempuan yang berwarna merah muda—kebalikan dari produk laki-laki yang biasanya berwarna biru, hitam, atau abu-abu.

Contoh pink tax yang paling sering ditemui adalah perbedaan harga produk perawatan diri. Misalnya, Gillette mengeluarkan varian produk Gillette Venus berwarna pink yang dipasarkan khusus untuk perempuan. Harga sebuah pisau cukur Gillette Venus bisa mencapai Rp100 ribu, sementara itu Gillette Blue-dengan spesifikasi yang sama-dibanderol dengan harga Rp20 ribu hingga Rp50 ribu.

[Gambas:Instagram]

Selain produk, berbagai layanan yang dikhususkan untuk perempuan juga dipatok dengan harga lebih mahal. Misalnya, sadarkah kalian kalau biaya potong rambut untuk perempuan biasanya lebih mahal dibandingkan biaya potong rambut untuk laki-laki? Sekilas perbedaan harga ini terlihat masuk akal, karena rambut perempuan lebih panjang dan memerlukan styling yang lebih rumit. Padahal, ada banyak perempuan berambut pendek dan sebaliknya ada banyak juga laki-laki yang berambut gondrong. Dan bukankah pada akhirnya rambut laki-laki juga perlu di-styling?

Pink tax terjadi di seluruh belahan dunia dan sudah banyak dibuktikan melalui penelitian. Salah satunya, sebuah studi di Inggris menemukan bahwa pelembab wajah perempuan lebih mahal 32.8%, deodoran perempuan lebih mahal 8.9%, dan alat cukur perempuan lebih mahal 6.28%. Selain itu, sebuah studi yang dilakukan di New York menemukan bahwa rata-rata produk kecantikan yang dipasarkan untuk perempuan harganya 13% lebih mahal dari produk sejenis yang dipasarkan untuk laki-laki.

Ketimpangan harga ini sudah banyak diprotes karena dianggap sebagai bentuk diskriminasi berdasarkan gender. Pasalnya, tidak ada alasan logis yang bisa menjustifikasi perbedaan harga ini. Banyak brand berdalih perbedaan harga ini disebabkan oleh perbedaan komposisi, fungsi, dan efektivitas produk yang disesuaikan dengan kebutuhan perempuan. Padahal, kebutuhan untuk merawat diri seharusnya bersifat universal. Terkait perbedaan produk skincare, misalnya, para ahli sudah mengatakan bahwa secara ilmiah tidak ada perbedaan signifikan yang mengharuskan adanya diferensiasi antara produk laki-laki dan perempuan. Sehingga, pink tax dinilai sebagai strategi pemasaran alias akal-akalan perusahaan untuk meraup keuntungan yang lebih banyak dari konsumen perempuan.

Saking konyolnya pink tax, Cards Against Humanity bahkan pernah memparodikan fenomena ini dengan mengeluarkan produk Cards Against Humanity for Her. Produk ini sama persis seperti permainan kartu yang biasanya mereka jual, hanya saja kemasannya berwarna pink dan harganya lebih tinggi. Dengan copywriting serta visual yang 'menyentil' dan penuh sindiran, Cards Against Humanity secara gamblang menunjukkan bahwa pink tax memang tak masuk akal.

Cards Against Humanity for HerCards Against Humanity for Her/ Foto: Cards Against Humanity

Pink tax adalah puncak gunung es dari diskriminasi gender yang bersifat sistemik dan berlapis. Kapitalisme dan standar kecantikan yang tidak realistis menempatkan perempuan dalam posisi yang rentan sebagai konsumen. Demi memenuhi standar kecantikan, konsumen perempuan akhirnya rela menghabiskan biaya yang tak sedikit untuk produk perawatan diri yang sebenarnya bersifat esensial. Padahal, kesenjangan upah berdasarkan gender masih marak terjadi. Maka dari itu, sudah saatnya brand dan pelaku usaha berhenti memasarkan produk dan jasa berdasarkan gender.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS